#3: Terima Kasih Berkelip

12 4 0
                                    

    Langkahku terhenti. Kepada siapa lagi dia bicara? Dengan ragu aku berbalik badan dan melihat ibu itu menatapku. Iya, yang dia tatap adalah aku karena tidak ada siapa-siapa lagi di sini kecuali kendaraan yang lalu-lalang. Aku mematung, ibu itu juga diam dalam posisi. Aku tidak tahu harus merespon apa, terutama karena kalimat tadi sangat tidak biasa keluar dari mulut orang asing. Kenapa dia bilang begitu? Haruskah aku lanjut berjalan? Haruskah aku pura-pura tidak mendengar? Tapi aku sudah terlanjur balik badan.

    Seolah bisa membaca isi kepalaku, ibu itu berkata dengan datar, "iya, saya ngomongin kamu. Kamu tadi mau lompat, 'kan?"

    "Iya, Ibu benar. Tadi saya mau lompat tapi Ibu panggil saya," jawabku spontan dalam hati. Biasanya aku berusaha mati-matian menghindari situasi seperti ini, tetapi malam ini memang berbeda. Ribuan hari kuhabiskan untuk menunggu sesuatu yang berbeda datang, apakah akhirnya tiba?

    Aku berjalan balik dan berhenti beberapa langkah darinya. "Memang kenapa kalau saya lompat?" Aku yakin nadaku barusan terdengar ketus, pun tidak tahu apakah aku sengaja atau tidak. Ibu itu mengangkat kedua alisnya dan tidak menjawab, malah berfokus lagi ke barang-barangnya. Membongkar isi salah satu kantong plastik, mengeluarkan sebungkus bolu kukus, dan melahapnya. Tangan satunya meraih botol air mineral dan meminumnya.

    "Nanti lebih banyak orang gak becus daripada yang becus." Ibu itu kembali menggigit bolunya. Sebenarnya apa tujuan dia berbicara seperti ini? Apa dia mencoba menghiburku? Kalau benar begitu, aku justru merasa kesal sekarang.

    "Memang saya orang becus?" tanyaku berusaha tenang. Aneh, aku seolah bertanya ke suatu entitas yang lebih agung dari manusia. Sosok yang mungkin selama ini mengawasiku, yang mungkin paham seluruh isi kepala dan hatiku tanpa aku perlu kesulitan merajut kalimat yang tepat.

    Ibu itu mengangkat kepala. Kali ini aku bisa melihat matanya dari dekat. Kami berdua tidak melepas tatapan masing-masing sampai dia melemparkan pandangannya ke beton pembatas jalan yang retak. "Di sini banyak yang meninggal karena kecelakaan. Minggu lalu ada mobil tabrak pembatas jalan. Bulan lalu truk tabrak mobil. Ya, pokoknya banyak, deh, orang yang meninggal di sini. Sebenarnya gak cuma karena kecelakaan," ucapnya dengan nada yang selalu datar, membuatku kebingungan.

    "Kenapa begitu?"

    "Kata orang-orang, di jembatan sama danau ini ada yang jagain. Kemarin-kemarin baru aja ada perayaannya. Tapi yang dijagain cuma orang baik katanya..." Ibu itu mengambil jeda. "Tadi kamu gak ditarik berarti si penjaga anggap kamu baik."

    Sontak aku menoleh. Wah, sepertinya ibu ini memang hobi mengeluarkan kalimat tidak biasa ke orang asing. Tetapi rasa canggung yang ada di awal sudah agak menguap. Sepertinya saraf sensorku yang bertugas merespon rasa terima kasih berkelip mendengar kata-kata tadi, walaupun hanya sekejap.

Air Ini MengajakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang