Twelve

14 3 0
                                    

Putih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Putih.

Itu yang Zahwa lihat sekarang.

Kedua kakinya berpijak di ruangan kosong serba putih begitu ia membuka mata. Tangannya meraba-raba sekujur tubuh, kemudian menunduk. Mendapati dirinya dengan pakaian serba putih, dan ... mulut yang diam membisu.

"WAA!!"

Zahwa melihat ke belakang. Dua anak kecil, dengan jenis kelamin berbeda, berlari-lari di sana. Anak laki-laki tertawa riang, dengan mengenggam sesuatu yang Zahwa rasa itu kalung.

"Ayiiiiz! Alung aku siniin!" Anak perempuan berambut panjang itu memasang ekspresi hampir menangis.

Anak laki-laki menjulurkan lidah. "Kejar aku, wee." Ia terus berlari, hingga akhirnya jatuh. "Duh!" Kalung yang ada di genggamannya pun terlempar.

Tepat di dekat kaki Zahwa.

Zahwa berjongkok. Memandang benda itu lamat. Miniatur bintang putih menarik perhatiannya. Simbol utama kalung itu. Tangannya terulur, berusaha meraba benda itu.

Namun yang terjadi, semuanya gelap.

***

"Masih pusing, enggak?" Putra menyempatkan diri untuk menoleh pada adiknya yang baru saja keluar kamar ditengah kesibukannya berjongkok, memberi makan Huhu dan Ruru, si kelinci peliharaannya. "Kalau masih pusing, mending kamu izin aja, Dek."

Zahwa menggeleng. "Udah enggak, kok, Bang. Tenang aja." Ia berujar santai sembari kemudian menaruh sepasang sepatu di lantai, lalu duduk di atas kursi. Memasukkan kedua kakinya secara bergantian. "Abang hari ini ada urusan, enggak?"

Putra mengangguk. "Ada. Abang sama Rian mau pergi ke SMA Pradana sama Pak Kadir." Ditutupnya pintu kandang Huhu dan Ruru secara perlahan. Tak lupa menguncinya agar kedua kelinci itu tidak kabur dan membuat Bunda kerepotan lagi. Ia menengadah. Memandang ke arah anak tangga. Lega melihat sang kepala keluarga muncul bersama istrinya. "Baru aja abang mau manggil ayah."

Ayah terkekeh. Ia beralih menatap Zahwa. "Adek masih pusing? Obat yang kemarin udah diminum, kan?"

Mengangguk, Zahwa menyunggingkan senyum. Kedua sepatunya telah terpasang dengan rapi. Tepat dengan kemunculan Alfa yang tiba-tiba saja berada di depannya. Refleks, Zahwa terkejut. Ingin mengutarakan kekesalan, namun masih ada keluarganya di sini.

"Kamu kenapa?"

Zahwa menggeleng pelan. "Enggak apa-apa, kok, Bang. Tadi aku lagi ngelamun. Hehehe." Gadis itu meringis. Mengundang tatapan tak terdefinisi dari Putra.

"Kamu pusing karena siluman ular itu." Alfa berujar ketika Putra beralih untuk berbicara pada Ayah dan Bunda. "Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin saja itu benar. Dia makhluk terkuat dari yang pernah saya temui."

"Siluman ular?" Zahwa berbisik.

Alfa mengangguk. "Dia hantu wanita tua yang hampir menyerang kamu. Kamu harus berhati-hati dengannya. Dia sangat licik." Ia menghela napas. Tatapan intens dan penuh rasa ingin tahu Zahwa membuatnya mengalihkan pandangan ke arah langit-langit. "Kamu bisa saja menemuinya dalam bentuk ular putih. Hati-hati."

GAFFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang