Zahwa merengut. Ia mengetuk-ngetuk meja mengiringi detik demi detik jam dinding berbunyi. Tangan kirinya menopang dagu. Menyemburkan napas kesal sebelum berteriak.
"ABAAANGG!!"
Tak ada sahutan. Membuat Zahwa mengacak-acak tatatan rambutnya.
"ABAAAANGG!! CEPETAAAAAN!!"
"IYAAA!! TUNGGU!!" Terdengar teriakan Putra dari lantai atas. Membuat Zahwa merasakan lega dan sebal di saat bersamaan. Jam enam pagi adalah waktunya Putra memberi makan Huhu dan Ruru. Dua makhluk yang ia sayangi melebihi Zahwa dan jaket almamater OSIS-nya.
Zahwa memandang tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua. Dari anak tangga yang jumlahnya tak seberapa itu, muncul Putra yang telah siap dengan setelan training-nya yang bergaris hitam putih. Putra menyisir rambut coklatnya dengan tangan. Membuat Zahwa menggelengkan kepalanya.
"Berangkat sekarang?" tanya Putra yang kini berdiri sebelah Zahwa. Tinggi mereka hanya berselisih 20 cm, dengan Zahwa 155 dan Putra 175. Kakak laki-laki Zahwa itu memandang adiknya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seketika merasa heran. "Kenapa enggak pakai celana training?"
Ekspresi Putra kini berbalik pada Zahwa. "Lho? Memangnya salah, ya, kalau Zahwa pakai celana olahraga sekolah?"
"Enggak, sih, tapi--"
"Jadi jogging, enggak, nih?" Zahwa memotong ucapan Putra. Tak sabar ingin melakukan sebuah kegiatan yang sebenarnya sudah biasa dilakukan di hari Minggu.
"Jadi," ujar Putra singkat. Jengkel dengan adiknya yang terkadang suka memotong pembicaraan orang.
***
Di hari libur internasional ini, Zahwa disuguhkan pemandangan senam bersama yang diikuti oleh ibu-ibu tetangga Zahwa. Jalan besar yang ada di tengah-tengah perumahan itu pun menjadi berbeda dengan terbentangnya karpet merah. Tepat di depan rumah Zahwa.
Zahwa melanjutkan pemanasan. Ia mengangkat kaki kirinya. Mencoba bertahan pada posisi itu selama beberapa detik, kemudian melakukan hal yang sama pada kaki kanannya.
"Dek," panggil Putra yang sudah selesai melakukan pemanasan. "Rute hari ini enaknya darimana kemana, ya?"
Zahwa menyudahi pemanasannya. Memandang Putra kesal. "Zahwa kira abang sudah ada rencana mau kemana." Ia berkacak pinggang. Bukan sekali ini abangnya seperti ini.
"Jangan marah, dek. Kamu bantu mikir juga, dong."
Keduanya sama-sama terdiam. Larut dalam pikirannya masing-masing.
"Bang!" Zahwa menepuk pundak kakak kandungnya. "Gimana kalau kita ke rumah yang abang cerita itu?"
"Kamu yakin?" Putra mengangkat alis. "Kalau kamu kayak dulu lagi, abang enggak mau tanggung jawab, ya." Ia mengangkat kedua tangan. Membuat gestur pasrah.
Zahwa cemberut. "Yakin."
Putra terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Membuat Zahwa bersorak kegirangan. "Start-nya di sini aja, bang." Ia memutar badan. Matanya bertemu pandang dengan gapura perumahan. Dicondongkannya badan ke depan lalu meletakkan kaki kanannya sebagai tumpuan. Seperti yang sudah diajarkan Pak Septa, ia melemaskan kedua lengan, membengkokkan siku sedikit, dan meletakkannya di dekat badan. Pandangannya fokus ke depan. Matanya berapi-api. Antusias dengan rute mereka hari ini.
Disebelahnya, Putra hanya bisa menghela napas pasrah.
Bukan tanpa alasan Putra tidak mau mengajak Zahwa pergi ke rumah putih itu. Selain tidak mau mendengar omelan Bunda karena main ke tempat yang cukup jauh itu, kejadian lima bulan lalu juga merupakan alasan Putra seperti itu. Yaa, meskipun akhirnya ia mengalah juga.
Dalam seumur hidupnya, baru sekali adik dari waketos SMA Nusantara itu melihat yang namanya makhluk astral. Masih membekas di ingatan Putra bagaimana kerasnya teriakan Zahwa saat melihat "sesuatu" yang menurut perkataan Zahwa adalah seorang anak kecil berkulit hijau, hanya memakai popok, menari-nari di pinggir kolam ikan. Lihatnya seharian, sakitnya semingguan. Bertemu dengan salah satu makhluk tak kasat mata itu ternyata berefek sangar dahsyat sehingga membuat Zahwa terserang demam.
Setelah Zahwa sembuh, keadaan kembali normal. Namun tetap saja Bunda masih khawatir. Putra mendapat amanah dari Bunda untuk menjaga gadis itu dimana pun dan kapan pun semampunya. Bunda juga melarang Zahwa pergi ke rumah hantu, atau tempat-tempat yang diduga memiliki nuansa mistis. Takut Zahwa sakit lagi.
Padahal tanpa sepengetahuan Bunda, pengalaman di kolam ikan itu justru membuat Zahwa tertarik pada hal-hal yang berbau mistis. Aneh tapi nyata memang. Ia selalu tertarik pada cerita-cerita orang lain mengenai penampakan. Tak hanya itu. Zahwa bahkan memfollow akun-akun khusus yang membahas tentang hal-hal gaib. Koleksi novelnya pun didominasi oleh horor dan misteri. Setertarik itu Zahwa pada dunia horor. Meski begitu, Zahwa masih takut untuk bertemu makhluk itu secara langsung.
Menurut Putra, Zahwa adalah salah satu dari golongan orang yang takut-hantu-tapi-suka-horor. Aneh. Sungguh aneh.
***
Rumah besar itu terlihat menonjol dibandingkan rumah-rumah lainnya yang berjejer di pinggir jalan raya. Warna krimnya terlihat kontras dengan bangunan sekitarnya yang rata-rata berwarna putih. Pagar warna hitam menjulang tinggi. Berbeda satu meter dengan pagar sekolah menurut perkiraan Zahwa.
(Rumah yang dimaksud Putra)
"Waktu itu abang manjat lewat sana." Putra bercerita tanpa diminta. Menunjuk area samping kanan yang dihuni oleh tembok putih yang tingginya kira-kira sekitar dua meter dibawah pagar utama. "Nyesel abang sama bos nggak bawa tangga. Kami kira temboknya itu sama tingginya dengan abang," cerocosnya. "Oh, iya, kamu masih yakin mau masuk kedalam?"
Zahwa mengangguk. Tanpa aba-aba ia berjalan ke arah samping. Diikuti sang kakak dari belakang. Kini matanya bertemu pandang dengan tembok putih polos itu. Penasaran.
"Jangan terlalu berharap. Ini masih pagi."
"Pagi atau malam, mereka tetap ada, kan?" Zahwa tetap bersikeras.
Putra mendengus pasrah. "Ya, terserah.. Tapi--"
"Bang, hantu yang bikin abang hampir ngompol itu ... wujudnya kayak gimana?" Zahwa bertanya dengan nada antusias. Kedua matanya memandang Putra intens. Nyaris mirip dengan polisi yang sedang menginterogasi.
Putra mengernyit. Mengingat-ingat bagaimana wujud makhluk yang membuatnya nyaris melakukan hal konyol lima hari lalu. "Dia pakai jas warna coklat sama celana warna hitam ... terus juga, seingat abang, dia--"
"Ayo kita lihat!" Zahwa mengguncang-guncang tubuh kakaknya. Antusias. Mukanya gimana, ya?
Putra menyingkirkan tangan adiknya. Melambaikan tangan sejenak. "Mending enggak usah."
"Yaa... " Zahwa memberengut. "Tapi aku kepo!" ia tetap memelas.
Putra menyerah. Seribu kata pun tidak akan membuat Zahwa patuh. Berjongkok menjadi pilihan. "Naik."
***
TO BE CONTINUE...Suka? Vote dan add to library
Yang dobel update hari ini
💚Athaya Sholeha💚
KAMU SEDANG MEMBACA
GAFFE
HorrorZahwa, Seorang gadis biasa saja, namun memiliki paras cantik yang membuatnya dibully kakak kelas. Rutinitas sehari-harinya selalu sama: sekolah, belajar, dibully, dan pulang. Tak ada yang perlu diharapkan. Hidupnya monoton, dan ia pikir akan terus...