1

29 6 18
                                    

Aku sudah menduga hari ini akan tiba. Hari di mana eksistensiku sebagai keturunan klan kesatria kerajaan akan menjadi penyebab atas tamatnya riwayatku. Kupikir karena sudah mengiranya jauh-jauh hari rasa takut itu tidak akan hinggap, namun ternyata tidak. Aku tetap tidak siap.

“Na.”

Sebenci apapun aku pada dua huruf yang menjadi awal namaku, aku tidak pernah sanggup melayangkan protes pada Putri Salju. Dia orang baik. Kebaikannya tercurah kepada seluruh penduduk kota yang didominasi orang-orang munafik ini, pada burung parkit peliharaannya, pada kumbang yang kadang terbalik, pada tanaman kaktus yang pernah melukainya satu bulan lalu, semuanya. Dengan aku yang masuk di kata ‘semua’, di mana kebanyakan ‘semua’ milik penduduk kota ini tidak ada aku.

“Maaf.” Mata Putri Salju menatap lantai yang dilapisi karpet berwarna kuning. “Aku tidak bisa melawan kehendak warga kota yang ingin mengirim mu, Na,” katanya.

Seulas senyum kuberikan. Berharap lengkung bibir yang tak lebar-lebar amat ini mampu mengurangi rasa bersalahnya. Putri Salju adalah pemimpin kota. Aku paham. Dia harus menempatkan kepentingan penduduk wilayahnya sebagai prioritas, walau aku pun sebenarnya juga adalah penduduk. Lagipula mengejar bandit yang kabur sampai ke negeri orang adalah tugasku.

“Tidak apa-apa, Tuan Putri.” Dia mendongak dan mata kami bertemu. Keraguan terpancar dari kedua maniknya. “Sungguh,” ucapku, mencoba meyakinkan. Walau sejatinya yang butuh untuk diyakinkan lebih banyak adalah diriku sendiri. Apa aku akan selamat?

“Ini adalah kewajibanku. Aku pasti akan membawa batu Oven kembali.”

Putri Salju terdiam. Genggaman tangannya pada selimut tebal yang membungkus tubuhnya mengerat. Sejak batu yang menjadi inti dari Oven semalam hilang dibawa orang tak bertanggungjawab, Oven kontan kehilangan kemampuannya. Suhu di Kota Kue Kering turun drastis, temperatur menjadi normal, dan itu bukan hal yang baik bagi Kota Kue Kering yang seharusnya panas. Oven merupakan matahari kedua bagi kota ini. Sumber kehidupan yang sama pentingnya seperti matahari di langit. Ketika malam tiba, Oven yang memiliki kemampuan adaptif membantu warga kota untuk tetap hidup.

“Kau percaya padaku, ‘kan?”

Tanpa menjawab, Putri Salju langsung berhambur dan memelukku. Dalam dekapnya yang hangat aku hampir saja menangis. Dia adalah satu-satunya orang paling berharga bagiku yang masih tersisa. Aku tidak ingin berpisah dengannya, tidak ingin membuatnya sedih, tidak ingin membuatnya dipandang buruk, dan tidak ingin membuatnya kecewa. Dia adalah orang hebat yang mampu memimpin kota dengan baik. Aku percaya. Sayang orang-orang yang dipimpinnya itu tidak.

Masih terngiang di telingaku cemooh warga kota tentang Putri Salju yang naik takhta kala itu. Katanya dia masih terlalu kecil. Katanya dia tidak tahu apa-apa. Katanya dia tidak layak. Bahkan ketika Putri Salju mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi sistem yang lebih demokratis guna lebih dekat dengan rakyatnya pun, mulut-mulut penuh dosa itu tetap melayangkan kata-kata kurang bijak. Jemariku gatal dengan hasrat melempar sesuatu untuk membungkamnya, namun Putri Salju mencegahku.

“Mereka tidak akan diam hanya karena kau lempar batu, kursi, atau meja, Na.”

Aku tidak mengerti.

“Lalu bagaimana? Mereka tidak berhenti mengolok-olok dirimu di belakang, juga tidak berhenti menyindirmu di hadapan. Dengan cara apa kau akan bertahan jika terus seperti itu?”

“Dengan cara yang sama seperti dirimu.” Dia tersenyum. “Menutup telinga dan menutup mata.”

Aku sangat ingin berteriak di muka cantiknya itu. Bahwa kami berbada. Bahwa kami tak sama. Dia adalah sinar, sedang aku adalah bayang. Dia adalah inti, sedang aku adalah tepi. Dia bintang yang sebenarnya, sedang aku Bintang yang sejatinya pecundang. Bagaimana bisa dia mau menggunakan cara hidup orang yang dikucilkan padahal dia jelas-jelas selalu dikelilingi orang?

“Tidak, Tuan Putri. Kau tidak bisa hidup seperti itu.”

“Aku bisa---maksudku, kita bisa,” ralatnya.

“Kau melamun.”

Eh?

“Maaf, Tuan Putri.”

Wajahnya berubah sendu. “Andai aku bisa mengirim para penjaga alih-alih mengirimmu. Atau ... setidaknya bisa membuat mereka bersedia untuk menemanimu.”

Kuhela napas agak dalam. Tentu aku juga berharap demikian. Tapi, hah! Tentu tidak mungkin. Hanya klan kesatria kerajaan yang memiliki ‘modal’ untuk keluar dari Kota Kue Kering dengan selamat. Penjaga-penjaga itu akan mati bahkan sebelum penjahatnya ditangkap. Yah, sebenarnya, besar kemungkinan aku juga akan mati. Bedanya hanya terletak pada alasan di balik kematian kami: mereka tak bisa bertahan karena suhu dan aku tak bisa bertahan karena … tidak bisa saja.

Memangnya apa yang bisa diharapkan dari seorang pecundang sepertiku? Melihat bayangan sendiri pun kadang aku masih suka terkejut.

“Sudah kubilang, aku pasti akan membawa batu Oven kembali.”

“Tapi Na---”

“Kau tidak perlu khawatir, Tuan Putri. Aku adalah Nabintang. Keturunan klan kesatria kerajaan yang gagah dan pemberani. Akan kubawa pulang batu itu bagaimanapun caranya. Aku bisa.”

Butuh waktu dua detik untuk Putri Salju menjawab, “Baiklah.”

Lalu dia berdiri. Menyisakan aku yang sedang duduk melipat syal di tepi ranjang. Setelah keputusan bahwa mencari dan mengambil kembali batu Oven akan menjadi misi perdanaku sebagai seorang kesatria, aku langsung pulang ke rumah untuk bersiap menyongsong kematian. Kukemasi barang-barang, menjejalkannya ke dalam sebuah tas ransel cokelat besar yang kudapat dari gudang. Aku akan berangkat siang ini juga.

Putri Salju mengulurkan sebuah gulungan kertas tua. Seolah tahu apa yang akan kutanyakan, dia berucap, “Ini peta. Kemungkinan besar Mata Bayangan pergi ke Negeri Kamar Kakak. Markas mereka ada di sana.”

Mata Bayangan. Bandit kelas kakap yang diduga menjadi dalang sekaligus pelaku pencurian Batu Oven---berdasarkan kesaksian Lidah Kucing. Aku pernah mendengar tentangnya dari selentingan pedagang di daerah pinggir kota. Katanya dia seseram dan semisterius namanya. Bulu romaku meremang.

“Oke.” Peta berpindah ke dalam ransel.

“Dan ini.” Kali ini Putri Salju menyerahkan sebuah pedang yang tampak familiar di mataku. “Pedangmu.”

Aku tertegun. Itu pedang legendaris. Pedang khusus yang hanya boleh digunakan oleh orang yang menjabat sebagai ketua kesatria. Pedang Pineapple. Kuterima benda itu dengan hati-hati, kemudian meletakkannya di atas kasur.

“Bisa tinggalkan aku sendiri?” pintaku pada Putri Salju.

Dia mengangguk. Lalu keluar dari kamarku dan menutup pintunya rapat. Meninggalkan aku yang menangisi pedang, ransel penuh barang, dan nasib yang kelewat malang.

---------Bersambung

A/n:

Hawlo, hehe. Jadi gais, cerita ini adalah cerita pertama aku di genre fantasi. Jadi plis jangan berekspektasi banyak ya wkwk. Mohon dimaklumi kalau masih banyak cacatnya. Btw, aku saranin kalian bayanginnya cerita ini dalam bentuk animasi 2D barat ketimbang anime jepang atau animasi 3D. Biar lebih enak aja. Soalnya aku begitu. Tau kartun Adventure Time? Nah, kira-kira model gambarnya seperti itu. Mirip-miriplah. Cuman ini mix lokalan aja hehe.

Dan karena tema yang aku angkat adalah petualangan di dalam dunia Rumah, cerita ini bakal punya karakter-karakter yang sangat ‘rumahan’ sekali. Jangan heran kalo nanti ada banyak benda-benda di rumah kamu yang eksis di cerita ini hahahahahahahaa.

Gitu aja si. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

OKI, 11 Januari 2020

Ttd,
Agaraeld

Matahari KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang