“Aku akan merindukanmu.” Pelukan Putri Salju mengerat. Tetes-tetes air matanya seperti hujan di Kota Kue Basah: deras dan lama. Tampak sekali dia yang paling merasa kehilangan atas perginya aku.
Oh, dan satu-satunya juga. Seluruh warga kota jelas hanya merasa iba.
“Cepatlah kembali, Bintang,” kata Rosemary. Wajahnya selesu bunga-bunga dagangannya yang kini kekurangan panas. Lihatlah apa yang ada di tangan itu. Dua pot bunga sekarat. Entah apa maksudnya dia bawa dalam gendongan.
“Bawalah Jenny dan Jackie ini. Mereka kesayanganku. Kalau kau sudah menemukan batu Oven, tolong langsung kau dekatkan saja. Aku tak sanggup melihat mereka mati di sini.” Keduanya sekonyong-konyong disodorkan padaku setelah aku bebas dari pelukan.
Ternyata itu maksudnya. Sulit untukku merasa terharu.
Bagai ujung kepala kartu domino yang direbahkan, warga kota yang lain melakukan hal yang sama. Mereka berbondong-bondong menyerahkan benda kesayangan yang sekiranya tak sanggup mereka jaga di tengah kesulitan ini. Seolah aku terlihat mampu membawa semua beban dan harapan itu hingga mereka harus melemparkannya padaku. Padahal tidak, aku tidak mampu. Apa mereka ini buta?
Penjaga mulai membuka gerbang barat, gerbang besar yang menjadi salah satu jalan keluar masuk kota. Perlahan kulihat apa-apa yang ada di luar sana. Asing. Asing sekali. Aku terbiasa melihat rumah-rumah penduduk yang berbentuk tabung, berbahan kaca, dan warna-warni yang semarak khas Kota Kue Kering. Menyaksikan dunia lain di luar kotaku yang dominan warna kayu dan beralaskan tanah---alih-alih batu---membuatku merasa … aneh.
Warga kota saling lirik. Aku tahu mereka menantikan langkahku.
Baik. Baiklah. Aku keluar.
Mereka membantu membawa barang-barang yang mereka berikan hingga ke batas wilayah. Meletakkannya di sisi bagian tanah. Lalu mundur, menarik diri, meninggalkan aku. Hanya Putri Salju yang maju hingga ujung kakinya hampir menyentuh batu terakhir. Air matanya sudah dilap.
“Boleh aku bertanya, Tuan Putri?”
Dia mengangguk.
“Bagaimana caranya kau dan warga kota bertahan malam nanti?”
Ini pertanyaan yang tidak terlalu penting---tidak sepenting ‘bagaimana caranya aku bertahan hidup satu jam ke depan di tempat aneh ini?’. Namun, aku tetap saja ingin memastikan bahwa mereka bisa bertahan hidup. Setidaknya lebih lama daripada aku. Malam itu gelap. Tidak ada matahari, tidak ada Oven, tidak ada sumber panas. Sama sekali. Mereka bisa mati karena membeku ....
“Kau tidak perlu khawatir. Ingat alat profesor yang bisa menghasilkan api dan panas menggunakan bahan-bahan kimia? Itu yang akan kami gunakan sementara waktu selama mengunggumu kembali.”
Tidak lebih dari dua minggu. Aku tahu persediaan bahan kimia profesor sedikit, sulit didapat, dan sulit dibuat. Aku pernah membantu penelitiannya. Dan itu berarti paling lama waktuku hanya tujuh hari untuk bisa mendapatkan batu Oven kembali---tujuh hari sisanya untuk perjalanan pulang.
Pertanyaannya; mampukah?
Tiba-tiba saja Putri Salju mengambil sebelah tanganku. Kemudian meletakkan sebuah benda di atasnya. Kalung berliontin bintang dan bulan. Tanda persahaban kami yang merupakan hadiah dariku untuknya bertahun-tahun lalu.
“Indah sekali,” katanya sewaktu melihat kalung itu melilit di pergelangan tangan seorang nenek tua di Pasar Temu. Pasar Temu adalah pasar yang merupakan titik temu para pedagang dari berbagai negeri. Letaknya tak begitu jauh dari pintu gerbang kota sebelah utara dan hanya ada setiap bulan Agustus. Kami pergi di tengah hari supaya Putri Salju tidak perlu mengenakan banyak jubah.
“Berapa harganya?”
“Yang ini tidak untuk dijual.”
“Meski untuk seratus keping emas?”
“Meski untuk semua emas di negerimu.”
“Sayang sekali.”
Putri Salju sangat kecewa. Terlihat sangat jelas di wajahnya. Sebagai seorang sahabat tentu aku tidak menyukai hal itu. Diam-diam aku kembali ke sana keesokan harinya dan memohon pada si nenek tua untuk mau menjualnya padaku. Kukatakan padanya aku siap menjadi pesuruh sampai pasar berakhir di akhir bulan, mengingat aku hanya memiliki tujuh keping emas di kantung. Akan tetapi setelah mendengarnya nenek tua itu justru memberikannya padaku secara cuma-cuma dan berpesan, “Tetaplah menjadi dirimu.”
Sungguh pesan yang aneh.
“Kutitipkan kalung kesayanganku yang merupakan hadiah darimu ini. Sekarang kau punya dua alasan kuat untuk kembali dengan selamat, Na. Jadi kau harus benar-benar kembali. Harus.”
Air mataku meleleh.
“Kau dengar itu? Kau harus benar-benar kembali!”
Tanganku mengepal. Menenggelamkan liontin kalung dalam lima jari jemari.
Lalu mengangguk dengan mantap.
Ya. Aku akan kembali. Demi hidup warga Kota Kue Kering, demi persahabatan kami, dan demi diriku sendiri. Aku adalah Nabintang, keturunan kesatria yang gagah dan berani. Akan kujelajahi dunia untuk menemukan Mata Bayangan! Akan kukalahkan si pencuri tak tahu malu itu! Akan kubawa batu Oven pulang! Aku tidak ta---
KREP!
---kut.
Pintu gerbang sudah tertutup rapat.
Aku takut.
Aku akan tewas.
Aaaaaaaaaaaaaaaaa!!!
---------Bersambung
Jadi ceritanya aku mau bikin ilustresyen, tp tenyata nggak bisa di chapter ini. Maf pembaca yg budiman. Mungkin chapter depan, atau chapter depanannya lagi, atau chapter depan depannya lagi. Hehe.
Halah!
(Kuputuskan untuk tidak menulis tgl karena malas)
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Kedua
Fantasy[Update Setiap Senin] Misiku adalah untuk membawa pulang batu Oven yang telah dicuri oleh Mata Bayangan. Bagaimanapun caranya. Terdengar sangat menantang memang, apalagi aku adalah keturunan kesatria kerajaan yang memiliki bakat mengonfrontasi maut...