1. pembunuh

9 6 3
                                    

Happy reading🖤

Senja mulai pergi dengan datangnya langit malam, bintang-bintang berkilauan menemani sang rembulan menghiasi langit. Sungguh, salah satu ciptaan tuhan yang mampu menenangkan jiwa sekaligus teman dalam kehampaan.

  Alisha namanya atau sering disapa Ica, gadis berkulit putih pucat, bernetra hitam pekat, berambut hitam lurus kini duduk di kursi roda menatap langit dengan senyum tipisnya.

   Ia berkhayal jika ia jadi burung pasti sangat bahagia yang terbang bebas dengan senangnya, menatap pemandangan dibawah sana dengan kagumnya dan bernyanyi dengan riangnya. Tapi harapan itu hanya semu yang tak akan pernah terjadi, melihat dirinya duduk di kursi roda dengan kaki yang tak bisa berjalan dengan bebasnya.

    Ia tersenyum miris, baginya ini semua tak adil! Ia iri dengan saudari kembarnya, dia punya segalanya menurut Ica. Sedangkan dirinya? Bersekolah pun ia tidak, ia pernah bersekolah tapi hanya sampai jenjang SMP berbeda dengan saudarinya Elicia atau sering disapa Cia yang bahkan masih bisa bersekolah sampai sekarang.

   Kini Cia duduk di bangku kelas 3 SMA, masa dimana seharusnya Ica pun sedang disana menikmati indahnya masa remaja bersama teman sebayanya. Kini ia hanya berdiam diri di rumah, mengurung diri jika orang rumah sedang di rumah.

Tok tok tok
 
Ceklek

"Non?" hening, tak ada sahutan. Namun tak sampai disitu saja, Bi Mirna memasuki kamar itu lebih dalam. "Non, ini Bibi." panggilnya lagi.

"Disini!" Bi Mirna langsung menengok kearah balkon yang pintunya terbuka, dimana asal sumber Ica tadi bersuara. "Makan malam sudah siap, non. Mari Bibi bantu," Bi Mirna tersenyum dengan tulusnya, ia memegang pegangan untuk mendorong kursi roda, " Non Cia sama ibu sudah menunggu di meja makan." sambungnya.

"Berhenti," mendengar itu Bi Mirna langsung menurutinya. "Kenapa, Non?" tanyanya.

"Aku mau makan disini, Bi."
"Emangnya kenapa,Non?" Tanya Bi Mirna lagi. Tapi Ica hanya diam dan menatap lurus kedepan.

"Anu, Non. Maaf ... tapi Ibu sudah menunggu. kalo Bibi kesana ga sama, Non Ica, Bibi bilang apa?" Wanita paruh baya itu mengucapkannya dengan hati-hati.

"Bilang, aku mau makan disini." Bi Mirna menurutinya pergi dari kamar Ica. Wanita paruh baya itu tau bahwa anak majikannya yang satu ini tak bisa dipaksa. Ia sudah lama bekerja disini, jadi ia sudah paham betul karakter orang-orang di rumah ini.

Bi Mirna datang ke dapur menghampiri Ibu sikembar Ica dan Cia. Melihat Bi Mirna datang tak bersama Ica, pertanyaan keluar dari bibir sang Ibu--Nilam.

"Ica, kemana? Kok sendiri?"
"Maaf, Bu. Katanya mau makan di kamar aja, Non Ica, teh." Jawab Bi Mirna Sopan.

Nilam adalah ibu yang rangkap menjadi seorang ayah bagi putri-putrinya semenjak kepergian mendiang suami. Ia bekerja keras dari pagi hingga malam untuk memehuni kebutuhan keluarganya.

   Suaminya telah pergi karna insiden 3 tahun lalu. Kepergian sang Suami adalah luka terdalam baginya dan si kembar. Namun Nilam berusaha bangkit demi anak-anaknya.

"Kenapa ga makan di sini?" tanyanya lagi karna belum puas dengan jawaban yang Bi Morna lontarkan.

"Kurang tau, Bu." Nilam mengangguk, "ya sudah kalo gitu tolong ya bi antarkan makanan ke kamar Ica."

"Cia aja, mahh" tawar Cia
"Boleh, tapi kamu selesaikan makanmu dulu." mendengar penuturan Sang Mama, Cia mulai menyendokan nasi serta lauk pauknya dan makan dengan tergesa. Entah setan apa yang memasuki tubuh Cia hingga terlihat semangat ingin mengantarkan makanan pada si Kakak. Sedangkan Bi mirna kini terlihat cemas karna niatan Cia.

Setelah dirasa cukup, Cia menuju ke kamar Ica dengan nampan berisi makanan dan air minum di tangannya.

Ceklek

Cia membuka kamar Ica, terlihat lah Ica dengan raut wajah kesal dan menatapnya tajam. Cia nampak tak peduli, ia tetap masuk dan mendekati Ica seolah tak terjadi apa-apa.

"Malam, twins." Ica memalingkan wajah membuat Cia mendengus, "Nih gue bawain makan malam buat lo. Baik kan gue?"

"Gue ga minta!" ujar Ica ketus.

"Ya memang. Tapi apa salahnya perhatian sama kembaran sendiri?"

"Gue ga sudi punya kembaran kaya lo!" mendengar itu Cia memejamkan matanya berusaha sabar.

Ica menyodorkan nampan yang dipegangnya tapi Ica menepisnya membuat semuanya jatuh berserakan di lantai. Cia menatap nanar makanan yang berserakan itu.

"Lo bisa ga sih hargain usaha orang sedikit saja?! Pantesan dari dulu lo slalu di musuhin teman-teman lo di sekolah!" ucap Cia meledak-ledak. Dadanya kembang kempis, tangannya mengepal erat dan kulit putihnya nampak memerah. Jika di dunia kartun mungkin sudah ada asap di kepala Cia.

"Diam!" bentak Ica.

"Apa?! Memang bener kan kalo lo itu egois, maunya menang sendiri!"

"Memang ... memang gue egois, tapi seenggaknya gue bukan pembunuh!" Ucap Ica tenang namun menusuk tajam.

Sejenak Cia tak bisa bernafas, ia memejamkan matanya kembali dan menatap Ica dengan pandangan kosong.
"Gue pembunuh ya?" Ica tersenyum miring.

"Ya! Lo ... pembunuh. Lo ... pembawa sial! Harusnya lo aja yang mati. Pergi!" sarkasnya.

Bi Mirna datang dengan terkejutannya. "Ya allah, Non. Ini Kenapa?!" Bi Mirna langsung berjongkok untuk membereskan makanan yang berserakan.

Kini kamar kembali hening. Lantai pun sudah bersih seperti sedia kala. Kini Ica berbaring di ranjangnya dengan memegang foto mendiang papanya atas bantuan Bi Mirna yang mengangkatnya dari kursi roda sebelumnya.

Ia mengelusnya dengan hati-hati seperti takut melukai Sang Papa. "Aku kangen, Pah."gumamnya lirih, Air matanya pun mengalir tanpa di minta.

"Andai Papa disini ... pasti aku ga bakal kaya gini deh." Ia terus bercerita seolah Papanya ada di depannya.

"Aku kesepian, pahh." bibirnya bergetar dengan air mata yang berlomba-lomba mengalir, "Aku kangen, papahh." badannya bergetar hebat dan langsung dipeluknya foto Sang papa. Matanya terpejam erat, bibir bawahnya iya gigit agar tak menimbulkan isak tangis.
"Jemput Ica, pahh. Ica ga kuat Hiks."

   Lain dengan Cia yang kini duduk di kursi balkon kamarnya dengan memetik senar gitar. Tatapannya kosong, pikirannya melalang buana entah kemana.

"Memang ... memang gue egois, tapi seenggaknya gue bukan pembunuh!" Ucap Ica tenang,namun menusuk tajam.

Cia menutup mata, mencoba menghilangkan perkataan Ica yang terus berulang-ulang muncul di pikirannya bagai kaset rusak.

"Ya! Lo ... pembunuh. Lo ... pembawa sial! Harusnya lo aja yang mati. Pergi!" sarkasnya.

Namun tak bisa, semakin ia berusaha melupakan semakin muncul dalam ingatan.

'Aku pembunuh ya, Pa? Cia harus apa untuk nebus kesalahan itu, Pa....'  batinnya.

"Tolong Cia, pahh." gumamnya lirih.




#salamjabo_writingmarathon
#challengemenulis3bulan

@redaksisalam_ped



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kenapa Aku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang