PO. SINAR PANTURA

10 1 0
                                    

SELAMAT MEMBACA
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YA

Ketika aku merogoh sakuku untuk mengambil buku nadloman alfiyah yang berada disakuku, aku tidak menemukan buku nadloman miniku itu melainkan aku menemukan karcis bus yang sudah lusuh, yang masih berada disaku bajuku yang memang belum pernah aku cuci semenjak aku masuk ke pesantren ini.


Baru sebulan aku menginjak pesantren yang besar ini, sebuah pondok pesantren salafi yang bertempat dipesisir pantai utara, dan pengasuhnya sangatlah alim dan masyhur.

Saat aku melihat karcis lusuhku itu, aku jadi teringat dengan rumah dan keluargaku, sehingga aku pun sempat meneteskan air mata yang tak bisa aku bendung.

Hal seperti itu sudah sangat lumrah dikalangan santri-santri baru dimana saja, karena rasa haru masih menyelimutiku sebagai orang yang baru pertama kali meninggalkan rumah dan keluarga demi menuntut ilmu agama.

Dikarenakan kebiasaanku dirumah yang dimanja, serba ada, dan selalu kumpul dengan keluarga dan teman-teman yang telah aku kenal sejak kecil.

Lain halnya dipesantren aku harus bisa betul-betul merawat diri dengan uang saku pas-pasan dari rumah dan di tuntut hidup super mandiri,

hidup dipesantren bagaikan mengawali hidup baru, dengan lingkungan yang baru, teman baru dan situasi baru, jadi itu semua itulah yang menjadikanku tidak betah dan ingin kembali kerumah.

****

Ketika aku membuang karcis lusuh itu ke lantai pojok kamar, yang memang menurutku karcis itu memang sudah tidak berguna lagi, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan besar dengan memakai songkok hitam sambil membawa beberapa kitab kuning yang ia rangkul, ia mendekatiku dan menyodorkan tangan kanannya kepadaku,

“santri baru ya?” tanyanya.

“iya kang, aku santri baru, baru sebulan yang lalu aku tiba disni.” Jawabku sambil tersenyum dan menjabat tangannya yang ia sodorkan kepada diriku.

“Ooo, ya aku maklumi, besok lagi kalau kamu mau membuang sampah, sekecil apapun itu buanglah pada tempatnya jangan dibuang sembarangan seperti ini, nanti kamu bisa terkena hukuman membuang sampah sembarangan lho.” Tuturnya sambil mengambil karcis lusuh yang telah aku buang kelantai tadi.

Setelah ia mengambil karcis yang aku buang kelantai tadi, ia pun membacanya, dan setelah ia agak lama terpanah melihat karcis yang aku buang tadi,

lalu ia memandangku dengan cukup lama, seolah-olah ia memendam banyak pertanyaan dan rasa penasaran.

Aku pun mencoba menyapanya tapi ia seakan-akan tidak mendengarkanku dan terus memandangiku dengan histeris, setelah ia sadar lalu ia melipat karcis lusuhku itu dan ia masukan ke kantongnya,

tiba-tiba saja ia pergi tanpa ada kata perpisahan atau kata-kata lain, ia seperti halnya orang yang habis melihat sesuatu yang mengerihkan dan ketakutan.

****

Aku pun cuek aja, mungkin saja ia kaget kalau aku berasal dari daerah yang cukup jauh dari sini, pikirku saat itu, aku pun melanjutkan kegiatanku seperti biasa.

Setelah aku tanya keteaman-teman sekamarku tentang siapa orang itu, ternyata dia adalah pengurus kebersihan dipondok ini, dan ia merupakan santri terlama dipesantren ini.

Keesokan harinya setelah aku menjemur pakaianku yang telah aku cuci, tiba-tiba orang yang menegurku kemarin mendekatiku dengan membawa dua orang temanya yang sebaya dengan dirinya.

CERPEN HOROR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang