Surat Singkat

5 1 0
                                    

Oleh: Ksatria Pena

Hari ini adalah hari kebebasanku. Setelah cukup lama mendekam di penjara, melakukan segala rutinitas yang sangat membosankan, akhirnya aku menghirup udara bebas. Kasus pencurian sebuah ponsel membuatku harus terpenjara selama sepuluh tahun. Hukum memang tak adil. Namun, karena berkelakuan baik, aku mendapat remisi dan bisa keluar lebih cepat.

Pertama, aku akan pulang ke rumah untuk berjumpa dengan istri dan anakku. Lama tidak bertemu, membuatku sangat merindukan mereka. Terutama Yanuar, anak semata wayangku yang sekarang mungkin sudah berusia 15 tahun.

"Assalamualaikum," ucapku di depan pintu.

"Waalaikumsa–" Seseorang keluar dari dalam rumah dan kaget melihatku berada di depan pintu, "eh, kamu," ucapnya. Raut wajah istriku tampak berubah, dari yang semula ceria menjadi cemberut dan malas.

"Waalaikumsalam, siapa Sur, yang datang?" Ibu mertuaku keluar dari dalam rumah, menyusul Surti—istriku.

"Assalamualaikum, Bu," sapaku dengan ramah.

Selama di dalam penjara, aku banyak belajar mengenai tata krama, meski membosankan, setidaknya ada hal positif yang bisa aku ambil dari balik jeruji besi. Aku menjadi sedikit lebih penyabar dan mulai taat beragama. Perbedaan sifat hampir 180° berubah lebih baik, dibandingkan sebelum aku masuk ke dalam penjara.

"Ngapain kamu ke sini?" jawab mertuaku dengan sinis.

"Aku, sudah bebas, Bu."

"Terus?"

"Aku pulang. Ini kan, rumahku."

"Pulang? Ini bukan lagi tempatmu pulang! Aku tidak sudi punya menantu pencuri kayak kamu! Pergi sana!" Mertuaku langsung memaki dan mengusirku dengan kejam.

"Sudah, Mah. Mas Arfan itu masih menjadi suami sahku, Mah." Surti berusaha membelaku. Aku hanya bisa diam menunduk tidak berani berkata. Kalau dulu, mungkin aku sudah naik pitam dan memukul mertuaku. Namun, sekarang posisi sudah berbeda. Arfan yang terkenal keras sudah berubah menjadi Arfan yang baik hati.

"Baiklah, aku akan pergi dari sini. Maaf sebelumnya, perlu Ibu ketahui, bahwa seorang narapidana dipenjara bukan untuk diubah menjadi jahat. Akan tetapi, dididik agar menjadi warga negara yang lebih baik setelah bebas. Permisi." Aku lalu pergi meninggalkan rumah mertuaku.

Setelah terusir dari rumah sendiri, aku bingung harus pulang ke mana lagi. Ayah dan ibuku meninggal jauh sebelum aku menikah. Hanya Surti satu-satunya orang yang bisa mengerti aku. Bahkan, saat aku dalam kondisi terburuk pun dia tetap percaya padaku. Namun, sekarang kondisinya berbeda. Ibu Mertuaku sudah menganggapku penjahat dan tidak mau mengakuiku. Aku hanya berharap agar bisa bertemu dengan anakku, Yanuar, dan memberi banyak sekali pengalaman. Agar kelak Ia dewasa tidak terjerumus dalam lubang yang sama denganku.

Aku lalu pergi ke pasar. Mencoba berkeliling mencari pekerjaan untukku menyambung hidup. Sebenarnya, di kantong ada uang lima ratus ribu rupiah yang kudapatkan dari Lapas—lembaga permasyarakatan. Setiap napi yang melakukan pelatihan akan dibayar sebagai upah usaha melakukan sesuatu di sana.

"Bang, mau beli HP?" Seseorang tiba-tiba menghampiriku dan menawarkan sebuah telepon pintar kepadaku.

"Enggak Mas, aku enggak butuh gituan," jawabku singkat.

"Tolong, Bang. Aku butuh uang buat makan. Ini HP mau aku jual buat bayar sekolah anak." Pria itu kemudian memelas kepadaku.

"Tapi aku enggak punya uang, Mas. Aku baru keluar penjara dan belum bekerja," jawabku.

"Tolonglah, Bang. Berapa pun Abang mau." Dia masih berusaha untuk membujukku. Hatiku merasa semakin tersentuh. Dari sisi lain aku membutuhkan uang yang kupunya, tetapi aku pun tidak tega melihat dia memelas. Mendengar kata anak, aku teringat Yanuar yang sedang sekolah juga.

"Tapi, aku cuma punya lima ratus ribu. Buat aku makan sampai mendapat pekerjaan baru. Dua ratus ribu mau?" Aku tidak tega dan mulai menawarkan sebuah harga.

"Yaudah, enggak apa-apa, Bang. Berapa pun," ucapnya dengan senyum.

Singkat cerita, aku pun menerima ponsel itu. Aku tidak tahu untuk apa aku memiliki. Aku berniat menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi di pasar. Kondisi ponsel yang masih bagus sangat memungkinkan untuk dijual 3 hingga 5 kali lipat lebih mahal dari harga aku beli.

Kring ... kring ... kring ....

Tiba-tiba ponsel itu berbunyi. Sontak aku kaget dan bingung. Aku lupa mencabut simcard di dalamnya. Kekhawatiran pun muncul. Jangan-jangan ini jebakan. Jangan-jangan ini ponsel curian. Otakku berputar-putar memikirkan banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi kepadaku.

"Ha-lo," ucapku grogi.

"Arfan Setyoko, mantan narapidana kasus pencurian ponsel genggam sepuluh tahun lalu." Jantungku seketika berhenti berdetak untuk per sekian detik. Nomor asing yang menelepon di ponsel baruku mengetahui identitasku.

"Siapa kamu?" jawabku gemetar.

"Tidak penting siapa aku. Sekarang kau telah masuk ke dalam perangkapku," ucap pria misterius itu.

"Siapa kamu? Jangan macam-macam sama saya! Saya tidak takut dengan ancaman-ancamanmu! Tut ...." Segera kututup telepon itu dan bersiap menjualnya.

Sebuah pesan masuk ke ponsel. Ancaman demi ancaman ia kirimkan kepadaku. Aku tidak tahu siapa orang itu dan apa motifnya mengincarku. Segala bentuk ancaman aku abaikan. Sampai sebuah pesan ancaman terakhir membuatku terdiam membisu.

"Kamu pasti akan menjual ponsel itu. Silakan, kamu tidak akan bisa lepas dariku. Yanuar Ananta tidak akan tenang hidupnya." Pesan itu membuatku sangat ketakutan. Aku begitu menyayangi Yanuar, tidak akan kubiarkan siapa pun menyakitinya.

"Apa maumu?!" Aku mencoba untuk membalas pesannya. Untungnya masih ada pulsa untuk mengirim pesan.

"Datanglah ke belakang SIOMart malam ini," balasnya.

"SIOMart?" tanyaku kebingungan.

"Pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Tempat sekarang kamu berada." Aku baru sadar bahwa pasar tradisional yang sering aku datangi ini berubah menjadi mal yang mewah.
Malam pun tiba, aku sudah berada di tempat yang pria misterius itu sebutkan. Mataku mengarah ke seluruh penjuru halaman belakang SIOMart. Tak menemukan satu pun tanda-tanda ada orang.

Kriing ....

"Halo." Aku segera mengangkat telepon dari nomor yang telah menghubungiku siang tadi.

"Bagus, ternyata dugaanku benar. Kau tidak akan bisa mengelak dari ancamanku," ucap pria di dalam telepon.

"Kembalikan anakku!" hardikku.

"Tenang, anakmu tidak akan aku apa-apakan. Asal kau mau menurutiku. Hahaha." Ia tertawa lepas mendengar ucapanku yang sudah terperangkap.

"Apa maumu?" tanyaku akhirnya.

"Sabar ... sabar, hahaha. Kau berjalanlah ke utara mendekati sebuah tempat sampah besar di ujung sana. Di sana kamu akan menemukan apa yang aku mau. Tut ...." Telepon pun mati setelah ia memberi tahu sebuah lokasi.

Aku segera menuju lokasi tersebut. Di dalam tong sampah, aku menemukan sebuah koper besar yang sangat berat. Setelah aku buka, aku mendapati beberapa senjata api dan senjata tajam yang cukup banyak. Di bawahnya terdapat secarik kertas petunjuk bertuliskan 'Untuk Arfan'. Aku lalu membuka dan membaca isi surat tersebut yang mengarahkan aku untuk merampok mal.

"Kamu punya waktu seminggu untuk mempersiapkan semuanya."

Hidupku di ambang batas antara berbuat baik atau menuruti pria misterius itu demi Yanuar.

13.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang