Diskon Petaka

0 1 0
                                    

Oleh: Devita


Beginilah kalau sedang ada diskon besar-besaran di SIOMart. Belum apa-apa, aku sudah disuguhi kertas besar bergelantungan di atap bertuliskan diskon di atas 50% semua. Kalau orang matanya hijau saat melihat uang, maka mataku akan hijau saat melihat kertas diskon seperti itu.

Beruntung bagian pakaian ada di lantai G. Jadi, aku tidak perlu repot-repot naik ke lantai atas.
Kalau boleh, aku ingin sekali membeli semua pakaian yang ada di sini. Berlebihan memang, tapi memang itulah kenyataannya. Baju bagus dengan harga miring lebih menggoda.

Sepanjang jalan, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sesekali tersenyum. Tenang saja, tidak akan ada yang mengataiku gila karena aku memakai masker.

Kemeja, rok, gamis, jaket dan seperangkatnya, aku ingin membeli semuanya.

Aku menyentuh gamis berwarna pastel, rasanya halus sekali. Tanpa pikir panjang aku langsung memberikannya pada pelayan yang menjaga stan untuk diurus karena setiap stan dijaga oleh orang yang berbeda.

Puas mendapatkan dua gamis, aku beralih menuju bagian kemeja dan bawahan. Memilah-milah model pakaian dan warna yang benar-benar aku sukai. Karena kalau tidak, aku tidak mau memakainya, meskipun di awal adalah pilihanku sendiri. Ya, aku memang seperti ini orangnya. Bar bar sekali.

Lelah berkeliling, aku pergi ke lantai satu untuk membeli makanan.
Seperti biasa, aku pergi ke paviliun Bakso Gratis. Aku ke sana bukan mau mencari yang gratis. Namanya memang Bakso Gratis, tetapi kalau mau makan ya, harus bayar. Apalagi di depannya terdapat spanduk besar bertuliskan diskon 50%. Aku tak perlu berpikir dua kali lagi kalau begitu.

Setelah kenyang, aku kembali. Pergi ke kasir untuk mengambil belanjaanku. Namun, pada radius 50 meter, aku melihat antrean di kasir sampai tiga gelombang.
Butuh satu jam sampai giliranku, tetapi yang membuatku terdiam adalah belanjaanku hanya lima ratus ribu dengan dua gamis, empat kemeja dan tiga rok. Tidak sia-sia aku menunggu sampai selama itu. Worth it sekali.

Setelah membayar di kasir, aku bergegas keluar. Saking semangatnya, aku tidak menyadari alarm berbunyi saat aku melewati body scanner.

"Hei! Mbak, tunggu!" seru Pak Satpam yang menjaga di dekat sana.

Sontak aku berhenti dan berbalik.

"Mohon kerja samanya. Tas belanjaan Mbak harus kami periksa," katanya.
Aku baru sadar ternyata bunyi itu terjadi saat aku melewati body scanner.

"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya sudah membayar belanjaan saya. Ini buktinya," kataku sembari mengulurkan setruk belanja.

Rasanya malu sekali saat perhatian semua orang tertuju padaku. Apalagi tatapan mereka yang seolah merendahkan itu.

Pak Satpam menerima dan mengembalikannya padaku. "Mohon maaf, Mbak. Tas Mbak harus tetap kami periksa."

Aku menatap satpam itu tajam. Meskipun begitu, aku tetap menyerahkan tas belanjaanku kepadanya. Dan aku semakin kesal saat satpam itu diam saja meskipun sudah memeriksa tas belanjaanku sesuai dengan setruk pembelian.

"Mbak tolong mendekat ke-"

"Maaf sebelumnya, Pak!" kataku, "Bapak sudah mengecek tas saya dan tidak menemukan apa-apa selain barang yang saya beli dan sudah saya bayar! Ada buktinya! Lalu untuk apa ini diperpanjang lagi? Saya bisa menuntut Bapak dengan pencemaran nama baik kalau mau mencari-cari kesalahan saya!"

"Kami hanya menjalankan tugas, Mbak. Mohon kerja samanya."

Aku tersenyum hambar, benci diperhatikan banyak orang seperti ini. Meskipun aku tidak melakukan kesalahan, tetapi tetap saja rasanya tidak enak. Apalagi alarm itu berbunyi lagi saat aku mendekat.
Sialnya, Pak Satpam tadi malah melihat tubuhku. Seolah aku menyembunyikan sesuatu. Aku anak psikologi, aku tahu arti tatapan matanya itu.

"Bapak jangan kurang ajar sama saya, ya! Panggil manajer di sini!" kataku lantang.

"Jangan memperkeruh suasana, Mbak! Kami hanya menjalankan tugas. Mari ikut kami ke kantor," katanya seolah-olah tidak ingin membentak. Akan tetapi, malah aku yang naik pitam saat mendengar perkataannya.

"Saya bilang panggilkan manajer di sini! Saya tidak terima atas perlakuan yang Bapak lakukan pada saya!"

"Kalau manajer ke sini, Mbak mau apa?"

"Saya minta untuk memecat Bapak!" kataku kesal. Aku tahu kalau perkataanku keterlaluan, tetapi mau bagaimana lagi. Aku terlanjur kesal.

"Sudah cukup-"

"Cukup apanya?!" tanyaku, " Panggil manajer di sini! Suruh tim keamanan keluar semua! Ada CCTV kok tidak dimanfaatkan!"

Setelah aku mengatakan itu, Pak Satpam langsung menghubungi seseorang lewat telepon genggam. Beberapa saat kemudian, bagian keamanan datang membawa monitor.

"Silakan, Pak!" kataku sinis pada Pak Satpam yang sedari tadi keras kepala itu.

Kami mendekat, untuk melihat layar monitor. Orang-orang juga ikut berkerumun, penasaran dengan kejadian yang sebenarnya.
Aku mengernyit heran-ralat, semua orang mengernyit heran saat melihat seseorang menyelipkan sesuatu di rambutku. Sontak Pak Satpam melirikku dan aku langsung mengecek rambutku. Ternyata ada penjepit rambut kecil di sana. Entah kapan benda itu menyangkut di sana.

Aku tertawa meremehkan ke arah Pak Satpam, "Jelas-jelas ada orang iseng yang mengerjai saya. Lain kali selidiki dulu, Pak! Untung saya-"

"Diam di tempat!"

"Aaaa!" Semua orang berteriak histeris saat mendengar letusan senjata api yang terjadi tiba-tiba. Bukannya diam seperti yang diperintahkan kami malah bergerak ke sana ke mari. Aku bahkan merasa kalau SIOMart akan roboh.

Di depanku, ada orang berpakaian serba hitam, menggenggam pistol dan mengarahkannya padaku dan satpam.

Kabur adalah hal yang pertama kali muncul dalam otakku. Mengambil paksa tas belanjaan, aku berbalik ingin keluar gedung. Namun, aku refleks mundur saat dari pintu masuk muncul orang berpakaian serba hitam dengan pistol juga di tangannya.

"Mundur semua!" teriaknya lantang.
Semua orang beringsut, mencoba sembunyi dari lautan manusia yang ada di sana, termasuk aku. Berusaha mencari celah untuk berlindung.
Belum mendapat tempat yang aman, terdengar letusan lagi dari lantai atas. Suara jeritan, pekikan, tangisan, sungguh aku takut sekarang.

"Merapat ke pagar! CEPAT!"

Semua orang menurut, bergerak ke pinggir pagar. Hening tiba-tiba melanda. Hanya terdengar suara tangisan tertahan. Tiba-tiba aku melihat gadis kecil merangkak sendirian di antara baju yang dipajang.

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengendap-endap untuk menggendong anak kecil itu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, semua orang masih di kepung. Jantungku semakin berdebar kencang saat anak kecil itu hampir kugapai.

Aku berhasil merengkuhnya. Beruntung anak kecil itu tidak menangis. Dia seolah mengerti kalau ini bukan saat yang tepat untuk menangis. Aku berpikir untuk bersembunyi di antara baju-baju itu juga.

Akan tetapi, inilah masalahnya. Saat aku berbalik, aku hampir terjatuh karena melihat orang berpakaian serba hitam tadi tepat di depanku.
Demi apa pun aku takut sekali. Dengan mata berkaca-kaca, aku memohon kepadanya, "Jangan sakiti anak kecil ini!"

Namun anak kecil itu malah diambil paksa dan aku diseret untuk berkumpul bersama yang lain di pinggir pagar.

13.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang