Tak Seperti Dulu

0 1 0
                                    

Oleh: Kukuh Budhi Darma


“Assalamu'alaikum, Kak Kafka.”

"Waalaikumussalam, Dek Desti, Sayang. Apa kabar kamu? Wah, makin tinggi dan cantik, ya, sekarang." Tanganku mengelus kepala Desti yang bukan gadis kecil lagi. Sebab usia kami terpaut tiga tahun, aku sudah dua puluh tujuh tahun. Namun, masih menganggap Desti adik kecil, sama seperti pertama kali aku pergi ke Nederland, studi di universitas Amsterdam. Tidak terasa sudah tujuh tahun kami tidak bertemu.

Setelah Desti menjemputku di Bandara Internasional Juanda Surabaya Desti memutuskan untuk mencari tempat makan sebelum pulang ke rumah. Desti menyarankan makan di mal saja. Sebab, selain bisa makan kami bisa mencari barang yang kami inginkan. Adikku Desti memang hobi shopping, tidak pernah ketinggalan fashion, model pakaian yang sedang tren. Dan aku hobi mengoleksi buku.

Kebetulan saat itu ada obral buku di sana.

"Kak, lihat ke sana dulu, yuk." tanpa menghiraukan persetujuanku, tangan Desti langsung menarik tanganku. Aku hanya tersenyum, mengikuti ajakan Desti. Meskipun Desti manja dan sedikit comel. Sebenarnya dia cukup peka dengan orang di sekitar. Seperti halnya Desti mengajak ke stan buku.

"Kak, lihat dech!"

“Aku menemukan novel bagus, karya Mayla Syarifah. Baca cover aja udah ngena banget, diksinya itu loh bisa buat aku hanyut dalam rasa penulis ini,” tambah Desti.

"Keseluruhan tempat yang aku kunjungi. Sebagai pengingat. Tulisan di sampul belakang lebih bagus lagi, Kak.”

Bagiku, mengenalmu bukan kenangan. Tapi keadaan yang memang tidak bisa terlewatkan. Membagi kebahagiaan yang sedari dulu aku simpan.

Mas ....
Aku bersamamu di setiap doa yang kupanjatkan. Aku akan mendampingimu di setiap perjalanan, dengan caraku.
Aku sudah memutuskan untuk tidak membuka hati untuk orang lain sampai waktu yang tidak bisa kutentukan.
Mencoba mengenalmu dengan doaku di setiap tempat yang ku kunjungi.
Aku selalu berdoa suatu saat, aku melihatmu tersenyum di tempat yang pernah engkau menyapaku dalam mimpi.
Satu kebanggaan
Ketika aku melihat postingan instagram
Terima kasih sudah menyebut namaku sebagai pengiring waktumu.
Begitu juga denganku. Aku akan sebut namamu di setiap hal penting yang ku lalui "Mayla Syarifah" "Mayla EmKa"
Dua nama yang terukir darimu, karenamu, dan doa-doa indah itu.

"Iya, bagus itu, Dek. Kamu mau beli? Tumben suka buku? Biasanya shopping pakaian gitu."

“Enggak, lah.”

“Hari ini aku tobat, Kak. Pingin beli novel, tapi buat Kakak. Biar Kakak cepat punya pacar, masak dari dulu bacaannya buku serius terus. Hidup jadi tegang kan, biar hidup Kakak lebih manis, kayak aku. Kakak harus baca novel ini, terus ceritain isinya ke aku. Hihihi"

"Ya sudah beli saja. Beneran kamu enggak pingin beli baju hari ini?"

“Entar deh, Kak. Kemarin aku lihat IG SIOMart mau ada diskon 50-70%. Sekalian aja kalau aku mau borong. Hihihi.”

"Entar temani ya, Kak." Desti berusaha merayuku dengan bermanja-manja, agar mau mengantarnya pekan depan. Aku memang selalu nyaman jika keluar dengannya.

Begitulah aku kalau sedang bersama Desti.

Padahal aku termasuk trainer dan pebisnis furniture yang handal. Dalam seminar aku sangat di segani, impac menyampaikan yang lugas, efisien, dan runtut. Menurut para audiens. Aku memang sudah menekuni dunia Furniture sejak lama, berbekal pengetahuan dari ayah kami, yang memang sudah merintis usaha ini sejak kami belum punya apa-apa.

Setelah cukup beristirahat. Aku dan Desti pulang ke rumah, mengendarai Kijang Innova putih dengan Cak Han, panggilan Burhan. Supir pribadi, keluarga kami. Cak Han ikut keluarga kami sejak masih bujang, hingga sekarang sudah punya tiga anak. Yang paling besar sudah kelas enam SD.

"Assalamu'alaikum.” Suara Kakak disambut gembira, oleh ayah-ibu yang sedang bersantai di taman depan rumah. Aku sangat bahagia, seraya mencium tangan ayah-ibu. Desti hanya memandang dari arah belakang, seolah-olah tidak ingin mengganggu sebab kami sedang melepaskan rindu.

"Ayo, masuk Nak. Mandi terus kita makan sama-sama. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu."

"Iya, Bu." jawabku.

"Yeye ... sudah sampek rumah" Desti ikut mengecup tangan ayah dan ibu setelah aku masuk rumah.
Seminggu kemudian, waktunya Desti pergi shopping di SIOMart, bersamaku tentunya. Pagi-pagi sekali Desti sudah membangunkanku, agar tidak lupa dengan janji seminggu sebelumnya. Iya, saat itu aku sudah janji menemani Desti, lebih tepatnya ditodong untuk pergi.

Setelah mandi dan sarapan, aku dan Desti  pergi menuju Jl. Panglima Polis, lokasi SIOMart yang tidak terlalu jauh dari rumah, sekitar 15 menit. Kami berdua pergi menggunakan motor Vario putih, milik Desti. Agar lebih leluasa di perjalanan dan tidak terjebak macet.

SIOMart memang sudah menjadi tempat jujukan setiap kali ada diskon. Tidak heran hari itu pengunjungnya sudah cukup ramai. Yah, beginilah kehidupan di kota. Kemewahan sudah menjadi life style. Membeli pakaian di mal memang lebih kelihatan wow, ketimbang di pasar tradisional. Padahal di pasar semuanya bisa leluasa tawar-menawar. Entah sejak kapan, belanja di mal dengan harga pas lebih keren? Apa lagi ada diskon, seperti hari ini.

Aku memarkir motor di luar lokasi SIOMart, agar keluarnya lebih cepat dan enggak ribet. Dari pada parkir di belakang pasti sudah penuh, nanti keluar pun pasti susah.

Aku dan Desti di lantai G lokasi pakaian dan aksesori. Aku mengikuti Desti dari samping, bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Kami berjalan menaiki eskalator, dari lantai G menuju lantai satu.

Namun, sesampainya di sana kami berdua terkejut, disambut dengan insiden yang tidak terbayangkan sebelumnya. Para pengunjung sudah tiarap di lantai, tangan di atas kepala. Beberapa orang berbaju hitam berkeliling membawa senjata. Seketika Desti memeluku erat. Aku pun berusaha melindunginya. Ada yang aneh, seorang pria sedang menatap ke arah kami berdua. Matanya terlihat merah seolah-olah menahan amarah.

“Pram? Dia di sini?” bisik Desti sembari merenggangkan pelukannya.

“Pram? Siapa, Pram?” tanyaku tak kalah lirih agar tak menarik perhatian para perampok.

“Pacarku. Dia tidak tahu tentang Kakak.”

“Sepertinya dia cemburu.” Desti tak menjawab hanya balas menatap pria itu.

Dari matanya aku tahu adik manisku ini ingin menjelaskan kesalahpahaman itu. Akan tetapi, suasana sedang tidak aman. Tanpa peduli masalah mereka, aku kembali memeluk adikku. Selama aku hidup, dia tetap tanggung jawabku.

13.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang