Taeyong terbangun dengan rasa sakit dikepalanya dan sesak pada paru-parunya. Ia mengerahkan tenaga yang tersisi demi meraih butiran obat yang terpajang cantik diatas meja tepat disebelahnya. Ketukan pintu terdengar, tatapan nanar ia layangkan dan itu pelayan pribadinya masuk dengan nampan dikedua tangannya.
"Maaf menganggu tidurmu Tuan, sekarang sudah waktunya makan siang."
Ah- dia terlalu lama memejamkan mata hingga tak tahu matahari sudah menyinari bumi dengan teriknya. Perlahan taeyong menyingkap selimutnya, ia memberi tanda kepada pelayannya untuk meletakkan nampan itu disebelah kasurnya.
"Tuan, anda kelihatan tidak sehat."
"Kenapa kau menanyakan hal yang sudah pasti? Apa kau tidak sabar untuk menghadiri pemakamanku?."
"Maafkan saya, Tuan."
Ucapan sinis itu terlontar begitu saja dari bibir Taeyong. Ia tahu kalau pelayannya ini hanya basa basi atau mungkin memang memperhatikan kesehatannya. Pria paruh baya ini sudah bekerja dengannya semenjak masa kejayaannya. Ia sudah berulang kali memintanya untuk mencari perkejaan lain tapi ia selalu berdalih dengan alasan sudah nyaman bekerja disini.
Klise sekali, seharusnya ia tidak bersikap seperti itu mengingat kondisi tuannya yang kapan saja bisa memburuk.
"Aku bermimpi..." Taeyong bergumam, genggamannya pada garpu yang pisau terasa mengeras.
"Ya tuan?."
"Aku bermimpi malaikat maut datang menjemputku, kurasa waktuku tidak lama lagi." Ujar Taeyong yang sudah memotong kecil-kecil steak dan menusuk sayuran dengan ujung garpunya.
"Saya rasa itu hanya bunga tidur anda Tuan."
Taeyong segera menggeleng menyalahkan pendapat pelayannya itu.
"Tidak, ini terasa nyata. Warna matanya yang merah seperti batu ruby lalu sentuhan tangannya yang dingin, kurasa dia malaikat mautku."
Pelayan itu tertunduk tidak mampu menatap wajah Tuannya. Mendengar cerita itu dadanya terasa sesak, seolah Tuannya akan benar-benar pergi meninggalkannya.
"Kurasa kau memang harus mencari pekerjaan lain, tidak ada harapan untuk terus bersamaku." Suaranya mengecil diujung kalimat, ia hanya mengacak-ngacak makan siangnya tanpa ada niatan untuk menyelesaikannya.
Sang pelayan tersentak, ia melihat raut wajah Taeyong yang begitu putus asa. Ia mengepalkan kedua tangannya lalu menegakkan kepalanya untuk kembali menjawab pertanyaan yang berulang kali dilontarkan oleh Taeyong.
"Saya akan tetap disini sampai waktu itu tiba, Tuan."
Taeyong menatap wajah pelayan itu lalu tersenyum sinis, betapa menggelikannya setiap kali ia mendengar jawaban itu.
"Kau tidak menyesal? Bahkan yang lain sudah meninggalkan kediaman ini."
"Tidak menyesal karena disinilah tempat saya."
Taeyong tertawa mendengarnya lalu menyerahkan nampan makan siangnya kepada pelayannya.
"Aku akan berada diruang musik untuk menenangkan diri, panggil aku jika waktunya minum obat." Jelas Taeyong berjalan gontai menuju kamar mandi dengan tawa masih menemaninya.
"Dan terima kasih untuk kesetiaanmu." Ujarnya dengan seulas senyuman diujung bibirnya. Pelayan itu hanya membungkuk sopan, setelah sekian lama akhirnya Taeyong menerima kesetiaannya.
•
Ia berdiri ditepi pagar atas rooftop milik Taeyong, sinar mentari perlahan ditelan oleh malam. Angin kencang menyapu wajah dan rambutnya, Jisoo merenungi hal yanh dialaminya tadi malam.
Situasi ketika Taeyong bisa melihatnya menjadi tanda tanya begitu besar untuknya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, seharusnya kaum manusia hanya bisa mendengar bisikan mereka bukannya melihat.
Giginya gemeretak, jemari kukunya yang panjang saling bergesekan. Ia butuh jawaban atas situasi yang dialaminya.
"Ten keluarlah, aku tahu kau selalu berada didekatku." Ujar Jisoo yang seperti sudah bisa mendeteksi kehadiran Ten.
"Tidak heran untuk seorang-"
"Cukup, ada yang ingin kutanyakan padamu." Potong Jisoo yang segera menyampingkan basa basi Ten.
Ten mendekat tepat disisi Jisoo, tatapan mereka menuju arah yang sama, matahari terbenam. Ten merasakan kegelisahan yang dialami Jisoo, apakah nasehatnya untuk memasuki alam bawah sadar Taeyong berbuah kegagalan.
"Jadi Jisoo-"
"Dia bisa melihatku."
"Hah?." Ten belum bisa mencerna maksud perkataan Jisoo.
"Lee Taeyong bisa melihatku, apa kau tahu alasannya?." Tanya Jisoo dan kini sudah sibuk menggigiti jemarinya.
Ten mengerjapkan matanya mencoba mencerna informasi yang diberikan oleh Jisoo. Ia menopang dagunya dengan dahi yang mengerut, semoga otak cerdasnya bisa menemukan jawaban yang diinginkan Jisoo.
"Kau tahu atau tidak?." Jisoo bertanya tidak sabar, ia seperti sosok yang ketakutan.
"Pertama, kau harus tenang dulu. Aku ini bukan mesin pencari otomatis, biarkan aku berpikir."
"Waktumu lima menit untuk menjawabnya."
"Kau gila!"
"Kau ingin kubakar?." Ujung jari Jisoo sudah mengeluarkan kobaran api yang siap melahap Ten.
"Oke oke, mungkin ini efek samping karena kau terlalu lama bersamanya."
"Maksudmu?." Jisoo memadamkan kobaran apinya, Ten bisa bernapas lega.
"Sudah berapa lama kau mengamati Lee Taeyong?."
"Hampir dua bulan."
"Karena kau terlalu sering bersamanya membuat hawa keberadaanmu menjadi begitu kental saat bersamanya. Biasanya klan kita hanya membutuhkan waktu singkat untuk membawa jiwa-jiwa itu. Tapi, kau? Kau terjebak disisinya selama hampir dua bulan." Jelas Ten sebisa mungkin agar Jisoo tidak mengamuk lagi.
Jisoo kembali merenung, ia berjalan ditepi pagar rooftop dengan hal-hal bercampur dipikirannya.
"Kau harus segera mengakhirinya Jisoo." Pinta Ten yang tidak ingin Jisoo berada dalam bahaya.
"Kenapa begitu, apa pernah ada kejadian serupa?." Jisoo menoleh menatap lurus Ten yang tampak bingung.
"Aku tidak yakin, kau bisa musnah jika manusia melihat sosok aslimu." Ujar Ten dengan tatapan mengintimidasi Jisoo.
"Cih, kau bercanda?." Jisoo hampir saja tertawa melihat sikap Ten, musnah katanya? Taeyong saja manusia lemah, bagaimana bisa pria itu memusnahkan dirinya?
"Jisoo-"
"Cukup, aku akan kembali bertugas." Jisoo mengepakkan sayapnya siap kembali untuk menemui Taeyong.
Ten menghela napas berat, ada satu hal yang belum ia sampaikan kepada gadis itu, semoga hal tersebut tidak menjadi penyesalannya.
•
Air hangat itu perlahan turun membasahi tubuhnya, sensasi yang diberikan membuat Taeyong merasa tenang. Semalam itu ia yakin bukan mimpi, sepasang bola mata ruby itu sangat mengusiknya. Tidak ada wanita dikediaman ini selama beberapa tahun lalu bagaimana bisa gadis itu masuk kedalam kamarnya?.
Taeyong bertanya-tanya dengan dahi yang mengkerut, bahkan sentuhan itu terasa nyaman hingga ia bisa tertidur pulas tadi malam. Sekeras apapun ia mencoba tetap tidak bisa mengingat wajah gadis itu.
"Siapa kau sebenarnya."
☆☆☆☆☆
YOU ARE READING
Devil's Cry - Taeyong ft Jisoo ☆
FanficTakdir menolak mempersatukan mereka, dipertemukan untuk kembali berpisah, apa sebuah tekad mampu untuk mengubah semuanya? ©Pandraxion 2020