insiden brush pen.

1K 168 66
                                    

siapapun tentu tahu hubungan istimewa yang melibatkan pitcher kebangaan ekskul baseball; karunasankara, serta si mageran namun nilai tetap sempurna, senandika.

sudah menjadi rahasia umum kalau mereka selalu mengumpat pada satu sama lain. bahkan sampai memberi bogeman mentah. disebut rival, iya. jelasnya, sih, musuh abadi. runa sendiri yang mendeklarasikan. mana sudi dia melakukan perdamaian.

yang sering menyerang duluan adalah dika. mengganggu runa hingga si pemuda bertubuh mungil mengamuk. waktu tulang keringnya ditendang, ia malah tergelak. senang melihat wajah garang sang lawan.

dibilang suka? amit-amit jabang bayi, jawabnya.

"karun-chan!"

bangsat. runa menggeram. melanjutkan kegiatan yang sedari tadi ia lakukan. tak menghiraukan sosok jangkung di hadapan sedang mengerucutkan bibir sebal.

"karun-chan gak bisa denger, ya? masa dika-chan dicuekㅡANJING!" seru cowok yang lebih tinggi. mengaduh sakit setelah runa memukul dahinya menggunakan stabilo. perih. "jidat gue dilecehin! tanggung jawab lo, karun!"

"GUE RUNA, BAJINGAN!" dika mendecih. mendudukkan pantat dikursi samping musuhnya. mengambil brush pen warna ungu yang bisa dibilang favorit runa sebab selalu ia pakai saat menulis catatan estetok ala-ala.

"jangan dimainin. ntar rusak, bodoh."

dika mendecih. "gue ngerti cara pakenya, tau!" ia berteriak. runa mengendikkan bahu. kembali berkutat dengan buku jurnal. menulis asal-asal, berusaha mengacuhkan laki-laki sinting di sebelah.

enam menit berselang. bel pun berbunyi. runa memasukkan alat-alat tulis ke dalam tempat pensil. pelajaran pertama... ah. ia tersenyum kecut menyadarinya. "hoi. sana. sok kenal sok dekat banget lo sama guㅡ"

"r-run. ini emang udah gini, kan, spidolnya?"

mengajar hampir selama tiga puluh tahun sama sekali tak menguras ilmu yang dimiliki. namun, emosi terus terpacu. apalagi angkatan kelas dua sekarang hampir semua kurang ajar.

pak botak (bernama asli setya santoso) berjalan santai di koridor. sesekali menyenandungkan lagu era delapan puluh. pelajaran pertama... mendidik bocah-bocah tak ada akhlak di kelas xi ips 4. mereka meresahkan. apalagi si senandika dan karunasankara. ribut terus. bisanya cuma membuat pening.

“ayo, ganteng. kamu bisa. semangat,” monolognya saat berdiri di depan ruangan bak neraka itu. andai saja makan gaji buta diperbolehkan. enak sekali membayangkan berlibur bersama istri muda waktu hari sekolah. hm.

punten, barudak. samlekㅡASTAGFIRULLAH!”

keadaan kacau. kira-kira, nyaris seluruh siswa di sana menyoraki adegan baku hantam yang tersaji. pak setya (supaya terbaca lebih sopan) mendorong remaja-remaja yang benar-benar tak punya adab.

teman bertengkar malah diprovokasi.

“SUDAH KUDUGONG! PASTI YANG GELUT KALIAN LAGI, HADUH!” ia berseru marah. terdengar alay, sih. “kenapa, hah? sini, sini. curhat sama aku,” ucapnya sambil menarik kerah kemeja dua orang yang menjadi peserta wrestling dadakan tadi.

dika, wajahnya lumayan babak belur. sedangkan runa... nampak oke. masih ganteng walaupun habis pukul-pukul manusia jangkung yang ia selalu bilang mirip setan.

“NIH, PAK! SI KARUN MASA NONJOKKIN AKU?!” kata dika sedikit playing victim. runa tersulut emosi. menjambak surai hitam cowok gila itu sampai si empu berteriak kesakitan. “SETAN, YA, LO! GUE POKOKNYA MINTA GANTI RUGI!”

pak setya menghela napas panjang. “udah, udah. runa, santai dulu, ya? coba ceritain kronologi huru-hara yang kalian buat ini. understand, coy?” titahnya sembari berusaha menenangkan.

runa menatap dika nyalang. duduk dikursi yang pak setya sediakan untuknya. “gini, pak. saya, kan, sebelum masuk lagi nulis-nulis gitu. gabut. terus manusia ini gangguin. diaㅡ”

“gue pinjem doang, elah! suer!” bela dika yang malah berakibat pinggulnya dicubit kencang. untung pak setya menjewer telinga runa saat ia berancang-ancang ingin menendang.

“bapak simpulkan duluan, yo. jadi, barang adi kamu rusakin, dik?”

“h-hm... betul. tapi, yang kayak begitu murah kali! gue beli sama pabriknya juga bisa!”

wah. sombong amat kamu, dik.

“murah lo bilang?!” dika berlari ke belakang tubuh pak setya. berusaha berlindung sebab runa kelihatan murka. on the way jadi thanos dia. “lo gak tau segimana usaha gue buat dapetin brush pen itu!”

“alah. paling lo mohon-mohon ke nyokap.”

runa memerah. super duper emosi. pak setya yang sadar situasi makin runyam memilih untuk meninggalkan kelas. “dah, lah. aku capek. mau ngadem.”

dika menelan ludah gugup. menoleh, mendapati runa yang memperhatikannya dengan ekspresi bak psikopat. sudah. menyesal berlaga sebagai korban karena ia pikir pak setya akan memberikan defensi.

“bangsat. habis lo sama gue.”

m-mama... tolongin dika...












“aduh, pak! buset, kok, malah pergi? gak mau dilerai?”

“ah, bodoamat. pusing aku. hari ini jamkos aja. mau ke perpus, wifi an. bye.

to be continue.








hai, semua! terimakasih karena kalian mau baca! dan terimakasih banyak buat yang kasih nemesis vote serta komen di chap sebelumnya! itu berarti banget buatku, serius! ♡

chapter ini... gaje banget. beneran. selain itu, aku insecure buat publishnya t____t aku harap kalian suka dan masih mau baca nemesis, ya! <3

stay safe terus, kkay?! jangan keluar rumah kalau gak penting :( cororong makin ningkat, serem! jaga kesehatan terus!

buat yang daring, ayo semangat!! aku doain semoga tugasnya gak banyak banyak deeeeh~

warm heart,
lovely-jake

Nemesis. [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang