marah?

729 154 40
                                    

sehari setelah insiden brush pen. sebenarnya, runa terlihat masih biasa saja disisa hari kemarin. penuh emosi, tatapan nyalang, dan kalimat umpatan terus ia lontarkan untuk dika.

namun, sekarang berbeda. sejak datang ke sekolah sampai istirahat ini, dia diam saja. diajak bicara oleh orang lain, lancar, kok. tapi, kenapa waktu dika menyapa atau membuatnya terkejut, malah tak bergeming?

"ohayou lagi, karun-chan! sibuk banget. lagi apㅡ"

"mi, gue pengen pipis. anter ke kamar mandi," runa berdiri dari tempat duduknya. sama sekali tak menghiraukan dika yang melempar tatapan keheranan. hilmi menangkap raut wajah si jangkung. ia menyeringai.

serius. dika benar-benar bingung. runa seperti super duper kemusuhan dengannya. meminta maaf? sudah, walaupun agak terpaksa. siapa coba yang bersedia melakukan hal tersebut pada seorang musuh? ia kirim chat panjang lebar berisi kata hampura pada cowok bertubuh kecil itu. sayang, cuma dibaca.

masa harus berlutut? mana sudi dia. lagipula, barang yang rusak hanya spidol murah. dika yakin runa mampu membelinya lagi.

"buset. galau lu?!"

dika berdecak malas. laki-laki menyebalkan yang menghampiri bernama aresal. dia itu provokator kelas! waktu dipukuli runa, kan, cowok itu terus memanas-manasi. tak punya akhlak.

"diem, ah. gue lagi gak pengen diganggu," ujar dika merasa dirinya adalah korban dalam sebuah sinetron. aresal mendecih. menepuk bahu sang kawan. "sabar, bro. gue tau perasaan dimusuhin orang gara-gara brush pen."

dimusuhin...

dika pikir, tanpa insiden brush pen pun runa dan ia tetap bermusuhan. tapi, karena benda sialan itu, pemuda mungil yang biasa mengamuk saat diganggu malah enggan bersuara padanya. sakit.

"mending lo gantiin. gue gak tega liat lo kek gak ada semangat jadi setan gini."

jujur saja, dika terlalu pelit buat mengganti brush pen runa. kemarin ia cek harga satuannya di online shop. enam puluh lima ribu. bahkan lebih mahal dibanding uang jajan perharinya, tahu. buat malas bertanggung jawab.

“ah, liat ntar. gue masih mau bernegosiasi dulu. do'ain isi dompet gue, ye, met.”

“apaan, sih? gak usah sokap.”

dika menatap lurus punggung runa yang berjalan menjauh. mau diajak bicara, malah sinis. bilang kalau nilai ulangan harian sosiologinya lebih besar, cuma ditilik tajam, lalu pergi. serius. sedih.

terbayang hari-harinya yang tak akan diisi oleh umpatan cowok adipati itu. bukan bermaksud apa-apa. hanya saja... ia sudah terbiasa. jangan bilang suka! jelas tidak! dika enggan sekali nanti menggandeng tangan runa ke sekolah. ew!

agaknya... dia memang marah. pundung. runa yang pendiam nampak seribu kali lipat kian menyeramkan dari biasanya. “masa gue ganti, sih?” dika bermonolog. melalui dialog tersebut, diketahui bahwa dika adalah orang yang bertanggung jawab. peace.

“ah, elah. inget dia holkay. gak usah diganti juga mandiri beli sendiri.”

diucapan begitu. namun, dika mendapati dirinya memandang berbagai merek brush pen yang tersaji disalah satu rak sebuah toko buku. banyak warna. mereka memanjakan mata.

Nemesis. [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang