5

1.6K 187 16
                                    

Holla

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holla....
Selamat membaca
Jangan lupa untuk tinggalkan komentar dan RATE di pojok kiri bawah layar ponsel kalian.

Chapter 5

"Angkat wajahmu dan berdirilah," ujar Aurora setelah Neomadrus pergi.

Apostalius mengejawantahkan perintah Aurora, ia memberanikan diri menatap wajah Sang Dewi yang terlindung di balik cadarnya.

"Apa kau sedang berpikir aku akan memakanmu?"

Apostalius tersenyum. "Aku tidak berpikir begitu."

Mata biru Aurora menyorot wajah tampan Apostalius. "Kalau begitu kendurkan rahangmu, bersikaplah santai. Kita akan pergi dari sini."

Sang Dewi menggerakkan jarinya dengan gerakan memutar kemudian dalam hitungan kurang dari satu detik mereka telah berpindah tempat seolah melintasi lorong waktu, mereka berada di sebuah tempat yang sangat indah.

Bangunan itu seolah berdiri di garis langit, di antara awan, dan dindingnya terbuat dari kaca. Tirai berwarna hijau lembut terpasang di setiap sudut ruangan tampak bergerak-gerak terkena embusan angin.

"Ini adalah Delarus, tempat tinggalku," ucap Aurora. "Dan akan menjadi tempat tinggalmu."

Apostalius masih tidak mengerti dengan apa yang sedang dialaminya. Ia mengerutkan keningnya tanpa mengatakan apa pun.

"Kau masih mengira jika aku kan menyantapmu?" Aurora tersenyum. "Kami para Dewa tidak memangsa makhluk fana."

Cadar yang menutupi wajah Aurora tiba-tiba menghilang, gaun yang ia kenakan juga berubah. Rambut merahnya tergerai melalui bahunya yang terlihat lembut. Wanita itu menyentuh rambutnya, mengelusnya beberapa kali dengan perlahan.

"Apa kau tahu untuk apa aku membawamu?"

"Kau menginginkanku sebagai persembahan, bukankah itu sudah jelas?"

"Dengar." Aurora menatap Apostalius dengan tatapan serius. "Aku seorang Dewi, setiap ucapanku adalah mutlak." Bibirnya mengulas senyum yang indah, tetapi matanya yang berwarna biru itu tampak berbahaya. "Aku Aurora de Choris, menjadikan engkau, Apostalius Calmada sebagai milikku."

Apostalius mengernyit. "Milikmu?"

Aurora mengedikkan bahunya. "Milikku, pengawal pribadiku. Bukan yang lain."

"Apa seorang Dewi yang agung memerlukan pengawalan dari manusia?" Apostalius terdengar sinis mengucapkan kalimatnya.

"Aku menginginkanmu," ujar Aurora seraya tersenyum.

Ia menempelkan kuku jari telunjuknya yang runcing di pangkal lengannya kemudian dengan gerakan yang sangat lembut dan halus digerakkan menuju ke telapak tangannya dan entah dari mana datangnya di ujung jemarinya terdapat sebuah benda yang menyerupai buah berwarna emas.

Aurora menatap buah sebesar bola tenis meja di ujung jemarinya dan tersenyum. "Kau adalah makhluk fana, tubuhmu tidak diciptakan untuk tinggal di sini."

"Apa yang akan kau lakukan padaku?" Apostalius sedikit membesarkan kedua matanya.

"Menjadikanmu bagian dari diriku," ujar Aurora dengan seringai puas di wajahnya. "Buka mulutmu."

Apostalius menatap Aurora dengan tatapan curiga. "Aku harus tahu apa yang akan kau lakukan padaku."

Aurora tampak tidak senang. "Apa kau lupa jika raja telah memberikanmu padaku?"

Apostalius menelan ludah, ia menyipitkan sebelah matanya seraya menatap wajah cantik Aurora yang di luar bayangannya, juga wajah yang berbeda dengan yang tampak di patung. Aurora jauh lebih cantik. Tetapi, ia tidak sedang mengagumi kecantikan Sang Dewi, ia sedang mengamati dan mencoba menelaah apa sebenarnya keinginan Sang Dewi.

"Aku mengerti ketakutanmu, Apostalius. " Aurora tersenyum kemudian bergerak melayang-layang mengelilingi Apostalius. "Jika aku ingin membunuhmu, aku tidak perlu menggunakan racun. Aku hisa membunuhmu tanpa menyentuhmu. Ini adalah bagian dari diriku." Ia berhenti di depan Apostalius. "Kau adalah seorang prajurit, kau pasti mengerti jika perintah tuanmu adalah mutlak, bukan?"

Tidak ada celah bagi Apostalius, meskipun ragu-ragu Apostalius membuka mulutnya.

"Pejamkan matamu," ucap Aurora pelan di dekat bibir Apostalius.

Sang Dewi menjepitkan buah di antara kedua bibirnya, ia memberikan buah itu kepada Apostalius melalui mulutnya, mendorongnya pelan lalu menahan bibir Apostalius menggunakan bibirnya.

Apostalius menggeram, ia merasakan sekujur tubuhnya panas, darahnya seakan dipanggang di atas tungku hingga menggelegak. Tubuhnya bergetar, ia hendak mendorong Aurora, tetapi alih-alih mendorong Aurora, Apostalius justru mendekap erat Sang Dewi.

***

Laura menjerit. Ia membuka matanya seraya mengatur napasnya. "Thomas!"

"Kau bermimpi buruk?" Thomas duduk di tepi tempat tidur mengerutkan keningnya.

Laura menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. "Di mana kita?"

"Kita di Arizona."

"Berapa lama aku tidur?"

Thomas tersenyum. "Lima jam, sepertinya. Apa kau lapar?"

Laura membesarkan matanya. "Kau tidak membangunkan aku saat pesawat mendarat, kau membiarkan aku tidur? Apa kau tahu? Aku telah kehilangan momen indah menyaksikan pemandangan indah, tebing-tebing, dan ngarai dari atas pesawat!"

"Kau...."

"Ya, aku tertidur lelap, kau tidak tega membangunkan aku! Aku tahu jawabanmu." Laura melotot galak ke arah Thomas. Tetapi, kemudian ia mengerutkan keningnya. "Thomas, aku melihatmu di dalam mimpiku tadi dan...."

Thomas menaikkan sebelah alisnya. "Apa mimpimu? Apa kau memimpikan aku bersama gadis yang kau cemburui di Las Vegas?"

Laura mengernyit jijik. "Dia tidak pantas kucemburui!"

"Lalu?"

Laura merangkak, ia mendekati Thomas dan mengamati wajah pria itu. "Kau berpenampilan sangat kuno di dalam mimpiku."

Bersambung....

Jangan lupa komentarnya dan rate.

Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.

🍒

AURORA : RETURN OF THE GODDESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang