4

1.8K 181 24
                                    

Chapter 4

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 4


Lima belas ribu tahun yang lalu ketika para dewa masih menguasai bumi, di sebuah negara yang bernama Thegonia hidup seorang raja bernama Neomadrus, negeri yang dipimpin oleh Neomadrus sangat makmur dan terberkati. Mereka menyembah seorang Dewi bernama Aurora de Choris, Neomadrus membangun sebuah kuil yang berada di atas berada di atas sebuah pulau kecil bagi Sang Dewi.

Pulau itu berada di tengah laut, jaraknya dari bibir pantai sekitar 10 km. Setiap bulan Neomadrus datang untuk memberikan persembahan kepada sang Dewi Aurora dan setiap tahun, ia mewajibkan rakyat datang ke sana untuk merayakan ulang tahun sang Dewi sekaligus memberikan persembahan. Acara biasanya berlangsung sangat meriah, setiap orang berbondong-bondong untuk menyaksikan kehadiran Sang Dewi meski Sang Dewi hanya menampakkan diri kurang dari lima detik dan tidak pernah menampakkan wajahnya karena terlindung oleh cadar.

Hingga pada suatu seorang Gipsy di istana meramalkan jika akan terjadi sebuah bencana yang sangat besar di Thegonia. Bencana itu bukan hanya akan membunuh seluruh rakyat Thegonia, tetapi akan meluluhlantakkan seluruh negeri.

Berbekal ramalan itu Sang Raja datang ke kuil Dewi Aurora bersama dengan panglima perangnya yang bernama Apostalius Calmada.

Sang Raja duduk bersimpuh di depan patung Sang Dewi Aurora, patung yang terbuat dari emas itu memiliki bentuk wajah yang sangat cantik, rambutnya tergerai panjang hingga mencapai pinggangnya, jari-jarinya yang lentik berada di depan dadanya seolah ia sedang menari.

"Dewi Yang Agung, aku datang untuk membuat permohonan besar padamu," ucap Neomadrus.

Angin lembut berdesir mengelilingi patung dan seorang wanita dengan rambut merah berkilat-kilat terkena sinar matahari senja memantulkan warna keemasan. Wanita itu mengenakan cadar yang menutupi sebagian wajahnya, hanya matanya yang berwarna biru yang tampak menyoroti wajah sang raja kemudian ia bergerak dengan cara melayang-layang memutari sang raja dan panglima perang sebanyak dua kali.

Sang Dewi berhenti tepat di depan Sang Raja. "Aku telah memberikan kemakmuran pada negeri yang kau pimpin, apalagi yang kau inginkan?" Suaranya lembut bagaikan bisik-bisik pepohonan yang terkena angin.

"Kali ini aku bukan memohon kemakmuran tetapi aku memohon pengampunan," ujar Neomadrus.

Sang Dewi menyipitkan kedua matanya yang berwarna biru seindah lautan. "Aku bukanlah Dewi pengampunan dan itu tentu saja permintaanmu padaku sangat mustahil."

"Aku tahu, tetapi ini ada sangkut-pautnya denganmu."

Dewi Aurora memiringkan kepalanya. "Berhubungan denganku?"

Neomadrus mengangguk. "Gipsy di istana kami meramal jika negeri kami akan mengalami sebuah bencana besar."

Ekor mata Sang Dewi melirik kepada Apostalius. "Kau ingin aku membujuk Dewi kehancuran untuk tidak menurunkan bencana di negaramu?"

Neomadrus menggelengkan kepalanya. "Tidak, bencana itu bukan berasal dari Dewi Kehancuran, tapi berasal dari suamimu."

"Suamiku?"

"Menurut para Gipsy bencana itu akan datang dari amarah suamimu."

Aurora justru tertawa. "Kenapa kalian sangat mempercayai Gipsy?"

"Ramalannya selalu tepat sejauh ini."

Aurora tersenyum simpul seraya kembali melirik panglima perang yang bersimpuh dengan posisi menundukkan kepalanya di samping Sang Raja. "Kau ingin aku mencegah kemarahan suamiku?"

"Benar, Dewi."

"Untuk semua kebaikanku membuat negerimu menjadi sangat makmur dan terberkati itu adalah kewajibanku. Kau dan rakyatmu juga selalu datang ke kuil ini untuk menyenangkanku, tetapi dalam konteks membujuk suamiku, ini bukanlah kewajibanku. Oleh karena itu kebaikanku kali ini tidaklah gratis."

"Aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan," ujar Sang Raja dengan nada tegas dan meyakinkan.

Sang Dewi kembali melayang-layang di udara mengelilingi kedua orang itu kemudian ia berhenti tepat di depan Sang Panglima Perang. "Jika kau mempersembahkan panglima perangmu kepadaku, apakah akan melakukannya?"

Untuk sejenak Sang Raja terdiam, tubuhnya tampak sedikit menegang tetapi dengan nada suara mantap dan tegas ia berucap, "Aku akan memberikannya dengan senang hati."

"Meski ia adalah satu-satunya panglima perang andalanmu?"

"Ya." Neomadrus mengangguk.

Aurora tersenyum lebar di balik cadarnya. "Kalau begitu kesepakatan kita telah terjalin, kau bisa meninggalkan pulau ini sendirian karena sejak detik ini panglima perangmu adalah milikku dan aku jamin, negaramu tidak akan pernah mengalami bencana apa pun."

Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan Rate!
Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.

AURORA : RETURN OF THE GODDESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang