"Darsha!" suara bentakan sang ayah menggema di penjuru ruangan. Darsha seketika terperanjat karena ia tidak menyangka ayahnya akan membentaknya.
"Ayah nemu ini di kamar kamu. Kenapa cuma segini?!"
Sang ayah menunjukkan kertas ulangan yang ia sembunyikan. Itu adalah hasil ulangan hari ini dimana ia mendapat 50 sebagai nilai.
"Maaf..."
"Kenapa cuma segini, Darsha?! Ayah tanya, kenapa cuma segini?!"
"Aku... aku lagi fokus buat persiapan lomba biola. Jadi gak fokus buat belajar." balas Darsha dengan suaranya yang kian bergetar takut. Dia berusaha keras agar bisa melakukan keduanya, tapi tak sanggup pada akhirnya dan tentu saja ia lebih memilih biola.
"Ayah mau kamu jadi pemain biola yang hebat, tapi ayah juga mau kamu jadi juara kelas! Sekarang apa? Nilai kamu cuma 50, ini pantas buat dibuang!"
Kertas ulangan yang sedang sang ayah genggam pun diremukkan, membentuk sebuah bola dan dilempar entah jatuh kemana.
"Kamu selalu bikin ayah kecewa, Darsha. Gak ada untungnya ayah punya kamu."
Darsha tak kuasa membendung tangisannya lagi. Air matanya mengalir, membasahi pipi hingga ke dagunya. Sedih karena ayahnya bahkan merasa rugi karena sudah memilikinya. Dia sudah berusaha, dan dia juga tidak tahu mengapa ia selalu gagal dalam banyak hal.
"Aku berusaha, ayah, selalu. Tapi aku gak pernah bisa. Ada banyak hal yang gak aku bisa lakukan walaupun aku udah berusaha."
"ITU KARENA SEJAK AWAL KAMU GAK BERGUNA, DARSHA!"
Lagi, tangisannya semakin pecah. Darsha menangis karena ayahnya menampar pipinya dengan keras.
"Masuk kamar! Belajar!"
Lagi dan lagi, selalu dipaksa untuk menjadi sempurna.
Padahal menjadi sempurna tak menjanjikan bahagia.
***
Danish datang lagi ke rumah Darsha seperti biasanya, pada sore hari saat langit berwarna jingga. Terasa hangat memeluk diri. Kali ini dia membawa beberapa biskuit yang ia beli di jalan.
"Permisi," ucap Danish.
Pintu besar dengan cat putih kembali terbuka. Tiba-tiba saja Darsha segera memeluk Danish, membuat pria itu terkejut dan mematung sesaat, bingung harus bereaksi seperti apa.
"Darsha, kamu kenapa?"
Danish membalas peluknya, kepala Darsha diusap dengan lembut. Sarat akan kasih sayang seperti seorang kakak yang menenangkan adiknya.
"Ayah."
Danish menghembuskan napas berat. Dia sudah tahu masalah ayah Darsha yang kasar dari buku harian. Darsha sering menulis bahwa ayah memaksanya tentang semua hal dan menyakitinya.
"Kenapa? Ayah kenapa, hm?"
Darsha mulai menangis lagi. Wajahnya sudah cukup bengkak hari ini karena menangis semalaman, pipinya bahkan mati rasa karena ayahnya terlalu keras saat menamparnya.
Darsha pun menceritakan apa yang sebenarnya ia alami semalam. Rahang Danish mengeras mendengarnya. Ia sangat marah dengan sosok ayah yang seperti itu. Ayah macam apa yang menyakiti anaknya sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
BUTTERFLY
Short StoryHe said, "I will paint a butterfly, so you won't hurt yourself anymore." ! ✯ : featuring kim doyoung from treasure as danish archiano