3. Two Lionesses

69 33 11
                                    


Hardhan tahu dirinya bukan lagi remaja. Usianya sebentar lagi akan menginjak 30 di tahun depan. Tapi apa yang Hardhan dambakan dalam hubungan romansa bukanlah hal kekanakan. Dia cuma ingin Helia lebih peka, mau berbagi banyak hal, meminta bantuannya dan menyediakan waktu untuk dihabiskan bersama. Apa itu sulit? Apa itu terlalu tidak dewasa?

Di usia sematang ini, punya pekerjaan yang bagus dan stabil dalam keuangan sudah jadi suatu kewajaran. Mereka yang sejak kecil hidup ditata sangat baik oleh orang tua memang sudah sepatutnya tidak mengecewakan. Mampu membiayai kebutuhan sehari-hari sendiri, punya sedikit aset dan bisa mengupayakan keinginan-keinginan di luar kebutuhan primer dan sekunder, itu adalah pembayaran yang setimpal atas kerja keras mereka yang menghabiskan masa remaja dengan belajar dan belajar.

Siapa yang tidak kagum dengan Helia Sandra? Si wanita karir, si workhaholic, si cantik yang sangat tangguh nan mandiri. Saking tangguh dan mandiri, setiap ada masalah, Hardhan hanya tinggal mendengar residunya saja, alias kisah sisa dengan format past tense alias telah berlalu.

"Ah, ini aku cerita aja, udah aku atasi, tenang aja. Klien marah itu udah biasa," tutur Helia melalui telepon. "Padahal presentasi kan gak pake jadwal, perkara mobil mogok aja itu. Tapi mereka puas banget sama hasilnya. Cuma ya, aku jadi sedikit kesal dengan kesan seolah kami ini main-main sama klien."

Hardhan menghela napas. "Mobil kamu udah dibawa ke tempat service? Biar aku hubungi langganan keluargaku ya?"

"Gak usah sayang, udah aku anter ke bengkel terdekat," tolak Helia.

Baiklah. "Siang ini mau makan sama-sama? Biar aku jemput."

"Hmm. Aku pengen tapi sayangnya aku ada janji mau ketemu Pak Barry, yang dulu pernah minta konsep buat iklan pasta gigi itu lho, sayang."

"Terus kamu skip makan siang gitu? Nanti sakit gimana?"

"Tenang aja, kami janjian di pasteline. Aku ke sana bareng Are, sekalian membimbing junior ngelobi lah. Ngajarin, hehe."

See? Helia sudah mengurusi segala hal dengan baik. Hardhan hanya perlu duduk, diam dan mendengarnya bercerita.

"Dhan?? Kok diem?"

Hardhan melihat arlojinya sejenak. Sebentar lagi jam makan siang. "Kapan kita bisa sering makan bareng?"

"Mmm.. gimana kalau sabtu? Aku kosongin jadwal dulu," saran Helia.

Kosongin?? Berarti sudah full gitu?

"Gak apa kan nunggu sampai weekend? By the way, paket dari aku udah sampe belum?"

Hardhan melirik paket di atas meja yg diantar sekretarisnya. "Udah."

"Kamu suka gak?"

"Belum aku buka," jawab Hardhan.

"Dibuka dong, Sayang. Aku yakin kamu suka. Yaudah aku tutup dulu ya, mau lanjut sorting hasil kerja anak-anak dulu. Bye, Honey. Sabtu ya, okay?"

"Oke."

Hardhan tidak tahu harus menjawab apa selain ya dan oke. Sebab Helia memang sibuk karena pekerjaan, hal paling fatal kalau sampai berantakan di usia sematang mereka. Yeah, profesi atau pekerjaan, apa pun yang menghasilkan untuk melanjutkan kehidupan mereka. Itu penting. Apa sepadan jika dikorbankan hanya untuk memenuhi perasaan seperti cinta? Sayang? Entahlah.

Hardhan membuka bungkusan paket. Sebuah jam tangan rolex berwarna abu gelap. Great, tentu Hardhan suka. Dipakainya langsung jam tersebut setelah melepas arloji miliknya. Hardhan tersenyum, Helia benar. Dia suka. Hanya saja... entahlah. Hardhan lebih suka kalau kejutan yang Helia hadirkan bukan barang. Akan lebih bagus kalau tubuh gadis itu sendiri yang dikirim ke kantornya, precious cargo, paket paling indah, lengkap dengan senyuman dan sekotak makan siang buatan sendiri.

Never Mind I'll Miss YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang