Bab 16

2 0 0
                                    

Odi benar-benar menyatakan kalau ia rela menjadi raksasa untuk Yuna. Meski saat mendengar pernyataannya, Yuna mengelak, kalau Odi tidak akan bisa menjadi raksasa karena selama ini tidak ada raksasa yang botak. Kemudian Odi kembali memberikan balasan yang tak kalah konyol, "Tenang, bisa minjem sarung Pak Haji. Mau dipanjangin seberapa rambutnya?" sontak saja Yuna tertawa mendengarnya.

Tidak mau menerima penolakan, Odi menyuruh Yuna untuk tetap bersedia menjadi Timun Mas untuk dirinya. "Ih, pemaksaan itu namanya."

Sejak saat itu, mereka berdua seringkali menghabiskan waktu bersama di sekolah. Lebih sering Odi yang datang menghampiri Yuna di kelasnya, atau saat Yuna berada di kantin bersama Aruna dan Trisya, ia akan ikut bergabung dengan mereka. Tidak peduli dengan apa yang teman-temannya katakan padanya.

Untuk hari ini, Odi telah berjanji untuk mengajari Yuna latihan bermain bola basket dan voli di lapangan sekolah setelah jam pelajaran berakhir. Hal itu membuat Yuna senang bukan kepalang, ia harus mendapatkan nilai yang tinggi untuk ujian praktik mata pelajaran olahraga. Bagaimanapun juga, kalau tidak dibarengi dengan latihan ia akan kesusahan untuk lulus dengan postur tubuhnya yang kurang tinggi.

Sebelum memulai latihannya mereka berdua mengganti seragam biasanya dengan baju olahraga. Odi mengajak Yuna untuk pemanasan terlebih dahulu. Keduanya berlari mengitari lapangan basket, dilanjutkan dengan beberapa gerakan dasar yang biasa dilakukan sebelum bermain bola.

"Pelan-pelan dong, Kak." pinta Yuna yang tertinggal jauh beberapa meter di belakang Odi. "Kalau mau pelan, ngesot aja, Ayuna." seru Odi membalas perkataan Yuna sambil berbalik ke arah Yuna dan berlari dengan cara mundur.

"Mentang-mentang tinggi. Sombong banget jadi orang." Yuna menggerutu pelan.

Setelah tiga putaran mengelilingi lapangan basket, Yuna menyerah. Kedua kakinya terasa pegal, ia tidak biasa menggunakannya berlari selama itu sebelumnya. Tapi ia tidak ingin terus menerus dengan keadaan yang seperti ini, setidaknya harus berlatih keras untuk lari estafet besok. Kaki pendeknya tidak bisa menjangkau dengan lebar saat berlari, ia tidak ingin menjadi bahan cemoohan teman-teman yang lain di kelasnya.

Odi berhenti pada putaran ke tujuh. Ia menghampiri Yuna yang sedang berselonjor di atas gazebo. Rambut gelombang yang dikuncir membiarkan beberapa anak rambut menempel di sekitar pipi dan dahi Yuna.

Odi terkekeh, gemas melihat raut wajah kelelahan Yuna. "Capek?" ia bertanya sambil menyisihkan beberapa anak rambut dari dahi dan pipi Yuna ke belakang telinga.

Yuna bertanya, apa benar tidak masalah jika Yuna meminjam bola basket dan voli untuk latihan saat ini. Ia takut kalau semisal guru olahraga akan memberinya skorsing.

"Santai. Selama jadi Timun Mas aku, kamu nggak perlu khawatir."

Bola basket berada pada genggaman tangan Yuna. Kacamatanya telah diletakkan di samping ransel kuningnya di gazebo. "Fokus." bisik Odi memperingatkannya agar tidak terpengaruh dengan apa yang ada disekitarnya saat ini.

Lemparan bola Yuna masih saja gagal, seperti sebelum-sebelumnya.

"Lempar yang bener." Odi terus saja membuat Yuna semakin kesal, "Masa gitu aja nggak bisa."

"Kak Odi seharusnya semangatin aku dong. Jangan malah kompor!" Odi tergelak mendengar perkataan Yuna, "Meleduk dong."

"Dasar, pentol korek!"

Lagi-lagi Odi membalas gerutuan Yuna. Namun sekarang, ia menggerakkan tangan kanannya yang seolah-olah menirukan gerak bibir yang sedang berbicara. "Kalau kamu sumbunya sih, aku mau."

Odi kembali mencontohkan pada Yuna bagaimana posisi tangan yang benar saat memegang bola basket. "Kayak gini, fokus ke ring. Terus lempar pake pergelangan tangan, bukan otot lengan." Yuna mengangguk paham.

Butuh tiga kali lemparan untuk memberikan lemparan yang pas. "Yeah, finally." Yuna beeteriak girang ketika bola yang ia lempar meluncur masuk ke dalam ring. "Coba lagi, sampe bosen. Baru ganti latihan voli." seru Odi ke arah Yuna.

Baju olahraga Odi penuh dengan keringat yang membuat punggungnya terlihat seperti sehabis disiram air. Ia menghiraukan kulitnya yang terasa lengket, "Kalau untuk voli beda lagi. Cara mainnya pake telapak tangan bagian bawah." kedua lengannya diluruskan ke depan dada, memposisikan sejajar.

"Lebih susah voli ya, Kak." Yuna mencoba untuk beberapa kali melemparkan bola voli di tangannya. "Sakit." Ia membuang lemparan bolanya kesembarang arah. "Berat banget ternyata."

Odi terkekeh, "Bukan bolanya yang berat. Tangan kamu aja yang mungil." Yuna melemparkan lirikan mata tajam ke arahnya.

"Lirikan matamu, menarik hati. Asek!" lagi-lagi Odi menggoda Yuna yang masih tidak pernah lelah untuk kesal padanya.

Laki-laki botak itu berlari tak tentu arah ketika Yuna berlari ke arahnya dengan suara teriakan yang kata Odi lebih mirip seperti kodok. "Ampun Timun Mas, raksasa janji nggak bakal nakal lagi." teriak Odi yang kini berbalik mengejar Yuna, yang dikejar ikut berlari menghindarinya.

Yuna kembali duduk di gazebo, mengambil botol mineral yang tadi dibelinya di kantin karena air di tumbler kuningnya sudah habis. Lalu tersadar ada barangnya yang hilang. "Kacamata aku, Kak!" ia melempar pandangan cemas ke arah Odi yang duduk di sebelahnya.

"Cari yang bener."

Odi ikut mencari sampai berjongkok, mengintip ke bawah kolong gazebo. Diulurkan lengan panjang pada benda yang tidak lagi berbentuk. "Pecah." Ia memberikan beberapa pecahan lensa dan bingkai kacamata Yuna yang sudah patah bahkan bengkok di beberapa bagian.

Yuna menangis ketika melihat benda yang selama ini membantunya untuk melihat dunia, "Gimana ceritanya bisa pecah begini," isakan tangisnya tidak bisa dihentikan. "Aku ingat banget kalau tadi ada di sebelah ransel." Odi mencoba untuk menenangkan Yuna sambil mengelap air mata Yuna dengan ibu jarinya.

"Aku takut dimarahin Ibu sama Ayah, Kak." airmata Yuna semakin deras, ia buru-buru memeluk Odi untuk menutupi wajahnya.

Butuh waktu yang cukup lama sampai kaki Odi pegal karena berdiri lama sambil menumpu badan Yuna yang memeluknya begitu erat.

"Timun Mas, udah dulu ya. Badan raksasa lengket banget nih." Odi mencoba untuk mengurai pelukan Yuna. "Nggak bau emang?" lanjut Odi terkekeh geli.

Ponsel Yuna begetar, Ayah calling...

Ayah Yuna sudah menjemput Yuna dan sedang menunggunya di depan gerbang. Odi menawarkan diri untuk mengantarkan Yuna ke depan gerbang ketika gadisnya itu terlihat begitu takut untuk menjelaskan tentang keadaan kacamatanya yang sudah tidak bisa diselamatkan.

"Udahan dong nangisnya. Nanti aku dikira abis pukulin kamu lagi." goda Odi yang langsung dihadiahi Yuna dengan pukulan di lengan kanannya.

Surprise Me [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang