SETELAH satu setengah jam berada di udara akhirnya aku tiba juga di Bandara Internasional Djuanda Surabaya. Banyak hal yang telah berubah sejak terakhir kali aku tinggal di sini, sekarang hologram berada di mana-mana, papan-papan reklame melayang berbentuk tiga dimensi banyak ditemukan, dan banyak hal yang sudah tidak lagi dilayani oleh manusia, termasuk toko-toko di sekitarnya. Bahkan dalam segi ukuran, bandara ini setelah renovasi besar 5 tahun lalu, telah menjadi bandara terbesar di Indonesia.
Semua ini dikarenakan revolusi besar telah banyak bertindak di kota ini, mayoritas bukan lagi manusia yang tinggal di Surabaya, melainkan para "Virtuals" dan itulah yang menjadi alasan mengapa aku kembali ke kota ini setelah sekian lama.
Meski tak ada yang melayani, bukan berarti bandara ini sepi, tentu banyak sekali turis-turis mancanegara yang berdatangan hanya untuk melihat betapa bagusnya "kota virtual" satu-satunya di asia tenggara ini. Yang berdatangan juga bermacam-macam, terutama jenis-jenis para virtuals, ada yang berjenis android, hologram, cyborg, dan tentu saja manusia murni.
"Permisi, apakah bapak kenal anak ini?" Ketika aku bertanya demikian sambil menjulurkan foto dengan kertas hologram, jawaban yang aku terima hanyalah gelengan kepala, tolakan dengan tangan, atau bahkan tak sedikit yang tidak menghiraukan.
Satu-satunya orang yang datang kepadaku dan berbicara malah mengatakan, "Mohon maaf bapak, kalau ada yang ingin dicari alangkah baiknya lapor ke pusat informasi, tentu NEXTOS tidak akan mengecewakan."
Aku menggeleng sopan dan tersenyum menolak tawaran, orang itu malah membalasku dengan senyuman kecut, mungkin dia beranggapan bahwa aku orang jadul yang tak tahu kerja teknologi,
Tidak, aku tahu cara kerjanya, hanyak saja aku muak dengan apa-apa yang penuh dengan teknologi, setelah revolusi, banyak sekali norma masyarakat yang terbentuk beratus-ratus tahun hilang begitu saja, para virtuals juga tidak peduli dengan norma, tentu mereka lahir dari teknologi, bukan didikan orang tua sejak lahir,
Terlebih, tujuanku di kota ini adalah untuk mencari anakku satu-satunya, sudah lebih dari 13 tahun aku tidak bertemu, hanya foto ini yang aku punyai, seorang gadis muda dengan senyum manis di wajahnya, tidak ada satupun gawai teknologi yang mengerti foto ini, mungkin foto ini terlalu jadul bagi sistem operasi mereka, selain itu.. aku sendiri tidak mengetahui bagaimana bentuk wajah putriku satu-satunya ini, yang aku tahu hanya dia pergi ke Surabaya terakhir kali aku melihatnya. Lagi pula.. tidak elok apabila aku mencari kesayanganku dengan menyodorkannya kepada teknologi yang tidak bisa aku percaya...
Meski aku sendiri tidak tahu, entah dengan siapa dia berhubungan, entah dengan siapa dia tinggal, tak sedikitpun aku mengerti apa saja yang dia lakukan 13 tahun ini..
Tapi aku tahu dia pasti telah melakukan hal besar...
Hari mulai petang, aku tak bisa menemukan satupun orang yang menjawab secara "layak" akan keberadaan anakku, mungkin aku sendiri juga terlalu berharap lebih para virtuals akan menjawab pertanyaanku, terlebih mereka semua adalah turis, besar kemungkinan mereka tidak tahu siapa putriku.
Tidak mungkin mereka tidak tahu, semua virtuals pasti mengenalnya...
Karena aku bukanlah virtuals yang hanya diisi daya dan segar begitu saja, aku harus tinggal di penginapan dan tidur, sehingga aku memutuskan untuk menginap di hotel dekat bandara dan berencana melanjutkan pencarian di kota esok hari.
Aku bangun subuh jam 5, segera bersiap untuk membawa semua barang bawaanku—yang sebenarnya tidaklah banyak dan segera bersiap menunggu kereta untuk melaju tepat di jantung Kota Surabaya, yaitu Jalan Tunjungan.
Check-out, pergi ke stasiun, menunggu.. ada sekitar 15 menit sebelum kereta melaju ke kota. Stasiun ramai dan padat, kebanyakan dari kota, mereka semua datang pagi-pagi agar tidak berdesak-desakan, banyak dari mereka tentu adalah virtuals dan turis, mereka datang untuk bekerja atau untuk pulang dari liburan, kadang aku bingung, kenapa mereka masih menggunakan transportasi jadul seperti kereta ini? Kenapa tidak menyalurkan via database? Dan setelah aku cari tahu, ternyata pemerintahan Indonesia melarang hal tersebut, pemerintah mengatakan agar tetap tercipta lingkungan yang aman, semua harus bisa dilihat secara "fisik" dan tidak melalui dunia virtual.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surabaya 2051
Science FictionOscar, lahir di Surabaya sebagai seorang yang sangat pintar dan kaya, gelar professor sudah dia dapatkan sejak dia berumur 23 tahun di universitas ternama di Jepang dan Jerman. Menemukan suatu teknologi manipulasi DNA yang sangat berguna di dalam du...