BBMLB 2. Bukan Masalah Sepele

1.4K 240 3
                                    

Aku tahu betul bahwa pekerjaan mencintai itu memang berat. Ia harus sepaket dengan luka agar bisa sempurna. Itu juga berlaku untuk apa yang kurasakan selama lima tahun ini, tepatnya sejak awal aku duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Sementara saat itu dia sedang berada di tahun terakhir kuliah.

Aku tahu rasaku ini adalah dosa. Sebuah perasaan terlarang yang tak seharusnya ada. Hanya saja, aku masih manusia lemah yang selalu gagal menampik rasa cinta itu. Setiap kali dia tersenyum dan bersikap manis, aku selalu membayangkan jika suatu saat kami akan hidup bersama selamanya. Memilikinya hanya untuk diriku sendiri. Segila itu aku padanya. Tentu itu dulu, saat aku hanya memendamnya diam-diam.

Sejak hari di mana aku mengakui cinta itu padanya, semua berubah. Banyu tak lagi sehangat dulu. Sikapnya yang dingin dan tak tersentuh pada orang-orang yang bukan keluarga, kini dia tujukan juga padaku. Aku tak lagi pernah melihat senyumnya. Tidak lagi merasakan genggaman tangannya, pelukannya atau bahkan perhatian-perhatian kecil darinya. Bahkan ketika berada satu ruang denganku saja, dia seolah jijik dan cepat-cepat menyingkir. Aku merasa begitu rendah, kotor dan tak pantas dihargai karena sikapnya itu.

"Kamu lagi ada masalah sama Banyu?" tanya Denis, di suatu siang tepat delapan bulan aku dan Banyu saling berjarak.

"Biasa aja," jawabku waktu itu, sambil memakan baksoku di kantin kampus. "Kenapa kamu mikirnya gitu?"

"Karena kalian lama banget nggak saling ngobrol. Atau minimal dia antar kamu ke kampus."

"Kenapa harus antar aku? Kan ada kamu. Kita serumah dan satu kampus. Ngapain harus Banyu yang antar aku?"

"Karena kamu adik kecilnya. Di antara aku, Deril, Deni dan kamu, perhatian dia paling banyak ya ke kamu—Birunia Permata. Jangan ngelak karena itu kenyataan. Bahkan walaupun aku juga kakakmu, mana percaya dia kalau aku juga bisa jaga kamu sebaik dia?"

"Karena dulu kamu terlalu sibuk sama selir-selirmu yang nggak ada habisnya itu?" Aku mengedikkan bahu. "Dan sekarang kamu udah taubat. Jadi Banyu percaya kalau kamu bisa jaga aku."

"Bisa diterima, sih." Dia mengangguk-angguk, yang tentu membuatku tersenyum tipis. Tapi hanya sebentar karena setelah itu matanya memicing lagi. "Tapi tetap aneh. Kalian nggak pernah saling ngobrol, aku ulang lagi. Dan kalau dipikir-pikir lagi, dia juga nggak pernah lagi kan bangunin kamu tiap pagi. Itu aneh banget, sedangkan sampai sekarang aja kamu masih tidur kebo dan harus dibangunin aku atau Deril."

"Banyu kan beberapa bulan ini sibuk sama kerjaan dia. Jadi nggak ada waktu cuma buat bangunin aku pagi-pagi."

"Tetep aneh, Ru. Dan kalau diingat-ingat, itu udah sejak Banyu belum ambil alih posisi Paman di perusahaan. Tapi kok aku baru nyadar sekarang ya?"

Diam-diam aku setuju. Kok Denis baru menyadarinya sekarang ya? Deril saja sudah curiga dari lima bulan lalu. Untungnya aku bisa memberikan alasan logis yang membuatnya tidak khawatir lagi.

"Aku sama Banyu nggak ada masalah apa-apa, serius. Jadi nggak usah mikir macam-macam," kataku kemudian.

Denis mengangguk-angguk, tapi tatapannya kelihatan serius saat merangkul bahuku. "Semisal kalian ada masalah pun, tolong diselesaikan baik-baik. Kita keluarga. Kita berlima harus saling menggenggam tangan masing-masing. Hanya kalian berempat yang aku punya di dunia ini. Jadi jangan sampai kita pecah karena masalah sepele."

Jatuh cinta dengan Banyu, itu bukan masalah sepele, Denis.

***

Banyu Biru: My Lovely Brother (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang