BBMLB 3. Tiga Kakak

1.2K 237 3
                                    

Haiii hari ini giliran repost ceritanya Biru ya. 2 kali seminggu aja. Thank you ♡

*

"Banyu lagi ke rumah Paman. Kita makan malam duluan aja." Itu kata Deni, ketika dia selesai memasak nasi goreng untuk kami.

Deril dan Denis hanya mengangguk dan melahap makanan mereka. Sedangkan aku sedikit termenung. Jika Banyu datang ke rumah Paman malam-malam begini, pasti ada sesuatu yang penting. Tapi apa?

"Biru, habiskan makanmu dan jangan bengong."

Ucapan tegas Deril membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, kemudian menyantap nasiku dengan pelan. Rasanya berbeda jika salah satu dari kami ada yang bisa ikut sarapan atau makan malam bersama. Sejak kedua orang tua kami meninggal karena tragedi kecelakaan pesawat sebelas tahun lalu, kami terbiasa bersama. Aku yang paling bungsu dan baru berusia sebelas tahun, mendapat banyak perhatian dari keempat kakakku.

Banyu yang anak sulung dan masih berada di tahun kedua sekolah menengah atas, dipaksa untuk dewasa demi bisa menjadi orang tua untuk kami. Karena kami tidak bersedia ketika Paman—adik Ayah—ingin memboyong kami semua ke rumahnya. Kami tidak bisa meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan Ayah dan Ibu. Untungnya kami tidak kekurangan finansial, karena perusahaan tekstil milik Ayah dijalankan dengan baik oleh Paman. Biaya hidup kami terjamin, bahkan lebih dari cukup.

Sejak saat itu, Banyu dan Deni bertindak sebagai orang tua kami, karena umur mereka yang lebih dewasa. Banyu mulai ikut Paman untuk bekerja sambil sekolah, sedangkan Deni yang mengurus makanan untuk kami. Waktu itu Banyu berumur tujuh belas, Deni lima belas, Deril tiga belas, dan Denis satu tahun di atasku yaitu sebelas tahun. Karena itu Denis dan aku selalu kebagian membersihkan rumah dan Deril mencuci pakaian kami. Tidak adanya asisten rumah tangga membuat kami bisa kompak bekerja sama. Kecuali aku yang selalu dilarang jika ingin membantu banyak, terlebih oleh Banyu, Deni dan Deril. Denis? Dia lebih sering berdebat sih denganku.

"Siapa?" Deril bertanya, ketika ponselku berdering.

"Josh." Denis yang duduk di sampingku, menjawab dengan suka rela.

"Siapa Josh?" tanya Deni dan Deril bersamaan. Kening mereka berkerut.

"Teman kuliahku."

"Sekaligus gebetan."

"Enggak!" Aku segera membantah. Kutatap Denis dengan kesal. "Apaan sih, Nis!"

"Emang benar, kok. Semua orang di kampus juga udah tahu kali, kalau kamu lagi dekat sama Joshua—si Presbem itu. Nggak ada yang nggak nyadar kalau kalian itu lagi pendekatan."

"Sok tahu!" Aku mereject panggilan dari Josh dan menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Lalu menoleh pada Deril dan Deni yang sudah memasang wajah interogasi. "Aku sama Josh tuh dekat karena satu kelompok. Kita kan di kelompok yang sama sampai akhir semester nanti."

"Sambil pendekatan jug—auw!" Denis mengusap-usap lengannya yang barusan kucubit. "Kalau marah berarti iya."

"Enggak!" Aku semakin cemberut.

"Iya juga nggak masalah." Deni menimpali. Dengan tatapan teduh dan hangat, khas dia sekali. "Biru sudah dua puluh satu. Sudah sewajarnya dekat dengan laki-laki."

"Tapi ingat," Deril ikut menimpali. Berbeda dengan Deni, tatapannya lebih ke tegas dan tajam. Ya, begitulah kakak ketigaku ini. "Kalau kamu memang dekat dan berniat punya hubungan sama dia, bawa dia ke sini. Kami harus tahu dan menilai dia juga."

Aku hanya mengangguk sekenanya yang langsung mendapat sambutan ledekan oleh Denis. Biar saja mereka menganggap seperti itu. Malah jauh lebih baik daripada mereka tahu siapa yang sebenarnya kusuka.

Aku jadi ingat enam bulan lalu, ketika Josh menyatakan cinta untuk kesekian kalinya. Laki-laki itu memang mengaku memiliki perasaan padaku. Tapi aku menolaknya dengan tegas. Dan Josh justru mengatakan bahwa dia tidak mengharap balasanku, hanya minta izin untuk tetap dekat sebagai sahabat. Karena paham bahwa ditolak dan dijauhi itu menyakitkan, maka aku membiarkan saja dia. Yang penting dia sudah paham bagaimana caraku melihatnya. Tak lebih dari seorang teman.

"Habis ini tidur, Ru. Jangan kebanyakan nonton film sama drama cantik, terus tidur larut." Drama cantik yang dimaksud Deni itu adalah drama Korea. Dia menyebutnya begitu karena menganggap para aktornya berwajah cantik. Ngawur kan?

"Biru mah nggak nonton juga sama aja, Den. Kebo."

"Kamu juga, Nis. Jangan main game terus. Pikirkan itu proposal skripsinya."

"Iya, Den."

Aku menahan tawa mendengar nada patuh Denis. Mau bagaimana lagi? Dia kan memang paling hormat ya dengan Deni, alih-alih Banyu dan Deril yang justru lebih tegas dan galak. Padahal Deni kan lembut dan tidak mudah marah. Entahlah. Oh ya, meskipun umur mereka terpaut cukup jauh denganku, aku tetap memanggil nama. Mereka yang tidak mau ketika aku menambahkan embel-embel Abang, Mas, Kak, dan sebagainya. Mereka ingin lebih dekat saja, katanya.

"Biru besok aku yang antar soalnya Denis nggak ke kampus. Aku meeting pagi-pagi banget, jadi jangan telat bangun."

Aku hanya mengangguk, menanggapi ucapan Deril. Baik Banyu, Deni dan Deril memang sudah bekerja di perusahaan Ayah. Jadi mereka selalu sibuk. Maka dari itu aku yang kini bersikeras mengerjakan pekerjaan rumah, walaupun selalu dilarang oleh Deni dan Deril. Tapi tentu, aku tidak menurut untuk yang satu itu.

***

Banyu Biru: My Lovely Brother (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang