Sore hari saat menjemputku di kampus, tiba-tiba Denis mengajak Josh yang saat itu memang sedang berada di sebelahku bersama teman-teman yang lain, ikut serta. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran kakak keempatku ini. Apa sih tujuannya melakukan ini? Tapi sesampainya di rumah, aku baru paham karena melihat Deni dan Deril sudah pulang.
Aku hanya menghela napas, menyesal karena sudah membiarkan mereka menganggap bahwa Josh memang sedang melakukan pendekatan denganku. Padahal tidak, kan? Aku sudah menolak perasaannya dan kami murni berteman sekarang.
"Cuma berteman?"
Aku memutar bola mata, melihat Deril yang masih mempertahankan ekspresi tegas dan penuh interogasinya itu. Di sebelahnya, Deni kelihatan lebih kalem. Dan Denis tersenyum geli. Josh yang duduk di samping Denis, kelihatan bingung tapi tetap tenang. Tanpa ada gugup sama sekali.
"Mau sampai kapan ngulang pertanyaan itu, sih?" sahutku sebal.
Deril mengedikkan bahu. "Masih belum percaya kalau dia cuma teman kamu. Kelihatan banget kok, naksir kamunya."
"Saya emang naksir Biru, Bang, tapi Birunya nggak naksir saya."
Detik itu juga, Denis tertawa terbahak-bahak. Deni mengulum senyum. Tapi Deril masih sok cool dengan hanya menaikkan sebelah alis.
"Apa sih, Josh!" Kupelototi laki-laki itu.
"Kan emang bener, Ru." Josh berkata santai tanpa takut dengan kakak-kakakku yang sedang mengawasi di ruang tamu ini. "Sebanyak enam kali aku menyatakan perasaan, sebanyak itu juga kamu nolak aku terang-terangan."
"Ugh. Sadis banget, Biru." Denis menepuk-nepuk pundak Josh sok prihatin, membuatku mendengus. "Sabar, kawan. Masih ada banyak percobaan di lain waktu."
"Mungkin kali ini persiapannya harus lebih lama." Josh menyengir.
Denis menyeringai jahil. "Trauma ditolak lagi ya?"
Aku berdecak ketika Josh justru mengangguk. Dan begitulah sore ini terlewati. Ketiga kakakku pada akhirnya bisa akrab begitu mudahnya dengan Josh. Meskipun Deril masih tidak bisa menanggalkan ekspresi tegasnya yang mirip Banyu itu. Tapi Josh berhasil membuatnya mau banyak bicara dengan topik otomotif yang memang kakakku sukai itu.
Ya, tak bisa kupungkiri memang kalau Josh adalah tipe orang yang gampang bergaul dengan siapa saja, meski pertama kali kenal sekali pun. Hampir mirip dengan Denis. Itulah yang mungkin membuatku tetap dekat dengannya meski perasaannya sudah kutolak. Dia termasuk yang cukup dekat di antara teman-teman kampusku. Padahal selama ini aku cenderung menjauhi laki-laki yang pernah kutolak perasaannya.
Josh menolak ketika Deni menawarinya untuk makan malam bersama kami. Dia keluar dari rumah, bertepatan dengan Banyu yang baru tiba di rumah. Wajah kakak pertamaku itu tidak kelihatan baik. Muram dan mendung. Dia bahkan hanya mengangguk saat Josh menyapa dengan sopan. Aku semakin sebal dengan sikapnya itu. Apalagi kalau ingat kejadian tadi pagi.
"Dia baik, kayaknya." Deni membuka suara, ketika kami berkumpul di ruang keluarga sambil menonton pertandingan sepak bola, setelah makan malam.
Sebenarnya aku malas, tapi Denis terus menahanku agar duduk di sebelahnya. Sedangkan Banyu, entah kenapa juga ikut bergabung. Padahal jelas-jelas ada aku di sini. Dia duduk di karpet bersisian dengan Deni dan Deril. Sementara aku dan Denis menempati sofa.
"Josh?" Deril menyahut.
"Iya." Deni menoleh ke belakang, melempar senyuman. "Itu alasannya kamu tetap dekat sama dia, ya?"
"Mungkin." Aku mengangkat bahu. Kemudian membaringkan tubuh dengan paha Denis sebagai bantal. Dia berdecak, tapi tak urung mengusap rambutku juga. "Nggak ada yang nggak mau temenan sama Josh."
"Kamu nggak mau, tuh." Denis menimpali.
Aku mengerutkan kening. "Kalau nggak mau, nggak mungkin kan kamu bisa ajak dia ke sini?"
Denis mengangguk-angguk. "Tapi aku salut."
"Kenapa?"
"Karena tetap bisa sesantai itu dekat sama cewek yang enam kali nolak dia."
"Yang ke tujuh, pertimbangkan buat terima ya, Ru." Deni menyeletuk dengan nada geli, tanpa menoleh lagi. Tapi sekilas aku melihat Banyu yang justru menoleh singkat padanya.
"Nggak janji."
"Diusahakan, dong. Dia jauh lebih baik dibanding cowok-cowok yang dulu pernah deketin kamu itu."
"Ih kalian kan baru pertama ketemu Josh. Jangan gampang percaya gitu ah!"
"Emang kamu nggak percaya sama dia?"
"Percaya," jawabku cepat. Dan aku melihat Banyu seketika menoleh ke belakang. Aku hanya mendengus, mengalihkan pandangan."Ya udah."
"Ya udah apa?"
"Ya udah, coba dekat sama–"
"Nis."
"Ya, Nyu?"
"Bisa diem? Aku mau nonton."
Aku menahan tawa, melihat Denis langsung merapatkan bibir dengan ekspresi kesal. Tapi akhirnya dia tetap menurut untuk diam. Apalagi setelah Deni juga mengkodenya untuk tidak berbicara lagi. Saat mengubah posisi menjadi berbaring miring ke arah televisi, aku tertegun. Banyu menoleh hingga mata kami bertatapan. Aku segera memalingkan tatapan, kemudian memilih memejam. Ada rasa gelisah, gugup, tapi juga sakit saat aku menatap matanya. Aku tidak mau itu kelihatan jelas di depan kakak-kakakku.
Setelah itu, yang terdengar hanya suara pertandingan di televisi. Aku sendiri memilih menikmati usapan Denis di kepalaku, yang membuatku merasa sangat mengantuk. Jadi biar saja aku tidur. Toh, para laki-laki ini pasti akan memindahkanku ke kamar nanti.
***
Fyi, yang nggak sabar nunggu update bisa beli PDF atau di Karyakarsa. Thank you ♡
Direpost 12 Maret 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Banyu Biru: My Lovely Brother (Repost)
Nouvelles#miniseri 3 Menjadi orang yang dilimpahi kasih sayang dan kepedulian oleh Banyu membuat Biru hilang kendali atas hatinya. Ia mulai memiliki rasa di atas wajar, mencintai layaknya perempuan pada laki-laki. Lima tahun Biru menyembunyikan dan menyimpan...