5. Traitor

209 31 1
                                    

Haechan menahan amarahnya sedari tadi, sedangkan Rian sedang membantu menutupi bekas merah yang terdapat di leher Haechan. Lelaki itu dengan perasaan dongkol menatap Yangyang dari cermin di hadapannya yang sedari tadi tengah menatapnya sambil menyembunyikan senyuman mereka.

Ini adalah sebuah ejekan. Juga kekalahan. Haechan tidak akan memaafkannya.

"Si brengsek Mark Lee menggigiti leherku! Akan kuhajar dia lain kali apabila bertemu dengannya." Haechan terus-menerus menggerutu. Ia begitu marah ketika lehernya memiliki dua bekas gigitan yang berwarna merah terang dan kini sedikit demi sedikit berubah menjadi kehitaman jelek.

Dan yang paling ia sesalkan adalah ia sendiri tidak menyadarinyaㅡatau bahkan malah menikmatinya. Tetapi pemikiran itu langsung ia tepis jauh-jauh. Haechan tidak akan membiarkan harga dirinya diinjak-injak.

"Dia lebih intim dari yang pernah kubayangkan. Bahkan meninggalkan bekas?" Yangyang tertawa dengan perkataannya sendiri. "Aku tidak tahu siapa yang lebih bangga." Tambahnya.

Rian menahan tawanya mendengar ucapan Yangyang. "Aku tahu kau terbawa suasanaㅡmaksudku, Mark mungkin terlalu bersemangatㅡ"

"Aku tidak ingin mendengarnya," Haechan berteriak sambil menyingkirkan tangan Rian dari lehernya dengan kesal. "Ini semua gara-gara kalian." Tudingnya, "aku tidak tahu jika rencana kalian akan membawaku pada kehancuranku."

"Sudah kubilangㅡ"

Perkataan Rian diinterupsi oleh kedatangan Jeremy. Lelaki itu dengan gerakan tergesa membuka pintu kamar asrama mereka hingga pintunya mengeluarkan bunyi debuman keras dan mengagetkan ketiganya.

"Jaemin! Demi tuhan, bisakah kau pelan sedikit?" Rian memegangi dadanya dan langsung membentak Jeremy, membombardir lelaki itu dengan teriakan pedasnya.

"Maafkan aku, oke. Aku sedang terlalu bersemangat." Jeremy memasang senyum lebarnya dan menampilkan gigi-gigi besarnya.

Haechan mengerutkan hidungnya menatap interaksi mereka. "Mengapa kau memanggilnya Jaemin?" Tanyanya.

Jeremy berdecak pelan, menatap Haechan dengan tatapan sewot. "Sudah kubilang aku orang Korea, ingat? Namaku Na Jaemin. Tapi aku besar di Vancouver sejak berumur lima tahun." Gerutunya.

"Kau benar-benar teman yang menyebalkan. Kami pernah bercerita, tetapi kau masih bertanya saja." Yangyang menimpali sambil memasang wajah sok garangnua.

"Kenapa kau jadi ikut-ikutan, sih?" Cebik Haechan. "Aku 'kan hanya sedikit lupa. Efek kesal pada Mark." Lelaki itu beralasan.

Dan itu membuat Haechan kembali teringat mengenai permasalahannya. Bahkan ia kini melihat satu orang lagi yang dapat dijadikan alasan kemarahannya. "Kau.. ini semua gara-garaㅡ" Perhatian Haechan teralihkan kepada genggaman tangan Jeremy. "Tunggu. Kau memegang ponselmu?"

Jeremy yang mengira akan mendapatkan amukan Haechanㅡdan ja telah bersiap dengan berlindung di belakang punggung kecil Rianㅡlangsung tersenyum miring mendengar pertanyaan Haechan. "Tentu saja. Aku selalu memiliki ponselku." Ujarnya sambil menaikturunkan alisnya. Jeremy dengan bangga mengacungkan ponselnya dan memamerkannya pada Haechan yang masih menatapnya dengan wajah takjub sekaligus iri.

Haechan berlari ke arah Jeremy dan membuat temannya itu terkejut. "Bagaimana bisa? Aku belum mendapatkan ponselku hingga saat ini. Kepala asrama bilang ponsel hanya untuk dua minggu sekali selama hari minggu saja." Keluhnya.

"Haechan sangat bodoh." Ejek Yangyang dengan suara tawanya yang nyaring. "Seharusnya kita tidak membiarkan murid baru kita menderita begini."

Perhatian Haechan teralihkan pada Yangyang, dan kini ia berlari ke arah temannya yang mirip domba itu. "Kau telah membuatku sengsara dengan segala skenario ini dan tidak memberitahuku mengenai hal sepenting ini?" Lelaki itu mengerucutkan bibirnya merasa dikhianati.

A Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang