Gue refleks menoleh saat ada seseorang panggil nama gue di antara kerumunan pengunjung bandara yang sedang sambut kedatangan kerabat atau saudara mereka yang baru pulang merantau dari pulau seberang.
Gue ketegun liat bokap di antara kerumunan dengan sebelah tangan melambai ke arah gue, refleks gue lari trus peluk badan bokap yang udah mulai renta.
“Encok bapak bisa kambuh kalo mesti gendong kamu,” keluh bokap kala tangan rangkul leher dia dari belakang saat kami jalan menuju parkiran bandara.
Maklum usia bokap tahun ini genap enam puluh, jadi stamina dia mulai menurun dan sering mengalami encok kalo angkat beban berat. Padahal dulu saat masih berusia tiga puluhan, bokap sanggup tiga karung penuh buah sawit sekali pikul.
Yah begini nasib gue sebagai anak bungsu dari empat bersaudara dan semuanya cewek kecuali gue, entah sial atau beruntung lahir sebagai anak cowok tunggal.
Kalo aja gue lahir sepuluh tahun lebih cepat, pasti masih cukup waktu bagi gue menikmati badan dan tampang bokap yang menurut rumor paling perkasa dan ganteng sekampung. Gue pun mengakui kebenaran rumor itu tiap gue liat foto pernikahan ortu gue yang mesti dalam balutan pakaian adat, tetap tampak menawan.
Gue tercengang saat liat sebuah truk terparkir di pelantaran bandara. Tampak mencolok di antara mobil pribadi mewah. Yah bukan maksud gue gengsi karena dijemput pake truk angkutan barang, tapi malu aja kalo mesti jadi pusat perhatian pengunjung bandara lain.
“Ayo naik,” ajak bokap yang udah duluan naik ke kursi kemudi. “Mau sampe kapan kamu bengong di situ? Udah sore, nih.”
Gue pun coba pasang muka tembok, trus naik dan duduk di sebelah bokap dengan kepala merunduk. “Tau begini mending dimas nggak minta jemput aja, deh.”
“Maaf kalo mobil jemputan bapak bikin kamu malu. Kebetulan panen hari ini bisa cepat, jadi biar lebih efisien bapak antar hasil panen ke pabrik pengolahan sawit dulu sebelom jemput kamu di bandara,” jelas bokap saat truk mulai melaju keluar pelantaran bandara.
Karena malas berdebat, gue pilih diam aja sambil senderin punggung ke kursi, trus menoleh ke hamparan ladang padi di kedua sisi jalan sejauh mata memandang. Masih tampak asri dan tenteram dengan simfoni bunyi kerik jangkrik serta suara kodok mengorek.
Nggak lama kemudian, hamparan padi berganti bentangan luas lahan sawit dengan pepohon rimbun yang tumbuh tinggi di kiri kanan jalan saat truk kami hampir tiba di rumah bokap.
Setelah lima kali belok, rumah bokap pun mulai tampak di ujung jalan dengan pekarangan luas. Bokap segera putar setir ke kanan sebelom injak rem dan matikan mesin truk, trus menoleh ke gue.
“Lekas turun, nak. Emak kamu udah nggak sabar pengin ketemu sama kamu,” titah bokap sambil naikin kaca jendela truk.
Gue pun mengangguk, trus segera turun dan masuk ke rumah setelah ucapin salam. Emak langsung lari peluk gue begitu liat gue di ruang tamu.
“Kamu jarang makan di kosan, dim? Kok keliatan lebih kurusan,” tanya emak sambil lepasin pelukan, trus dorong badan gue dengan kedua tangan cengkeram bahu gue dan tatap gue dari ujung kaki sampai pucuk kepala.
“Banyak tugas kuliah, mak. Jadi dimas sering telat makan,” karang gue spontan sambil beringsut resah, entah kenapa sorot prihatin emak bikin gue nggak nyaman.
“Sesibuk apapun aktivitas kamu, selalu utamakan jaga kesehatan,” kata emak sambil tangkup pipi tirus gue dengan satu tangan. “Kalo sampe sakit, kamu sendiri yang bakal repot. Mana nggak ada orang yang bakalan urus kamu pula.”
“Dimas capek, mak. Pengin segera tiduran di kamar,” sahut gue sambil putar bola mata.
“Makan aja dulu, baru tidur,” saran emak sambil bimbing gue ke dapur. “Emak udah masakin daging rendang kesukaan kamu.”
Gue nggak begitu lapar sih, tapi mengingat gue cuma sarapan aja dan belom sempat makan siang di pesawat, jadi gue manut aja apa kata emak. Toh gue pun nggak mau kena sakit maag.
Setelah makan, gue segera pamit ke kamar gue yang berada di lantai atas trus rebahan ke ranjang setelah lempar tas ke meja belajar dan nggak butuh waktu lama, gue pun segera terlelap.
Dengan mata masih merem, gue rentangin lengan ke sisi lain ranjang hendak ambil guling, tapi ada sesuatu yang janggal saat jemari gue meraba permukaan guling itu. Sejak kapan guling gue berambut?
Refleks gue buka mata dan nyaris terpekik kaget begitu gue liat siluet tubuh sedang terbaring di sebelah gue.
Dengan tangan gemetar, gue tekan sakelar lampu dan embusin napas lega saat sadar kalo sosok yang tengah tertidur di sebelah gue bukan sosok genderuwo melainkan...
Sontak gue cubit pipi dengan keras memastikan kalo gue nggak lagi mimpi karena ini kali pertama ada seorang pria tidur di kamar gue, ganteng pula.
Seingat gue, nggak ada satu pun kerabat maupun sahabat bokap dan emak yang punya wajah seganteng pria itu. Barang kali kenalan baru bokap atau emak, nggak heran kalo sosok pria misterius itu tampak asing di mata gue.
Menurut artikel blog yang gue baca, ada beberapa fase dalam proses tidur. Mulai dari tidur ringan, trus tidur dalam dan bersambung ke tidur REM di mana seseorang bakal mengalami mimpi ketika masuk ke fase ini dengan indikator bola mata yang aktif bergerak di balik kelopak mata.
Selain dari gerakan bola mata, suara dengkuran pun bisa jadi alat ukur seberapa pulas seseorang tidur. Semakin keras dengkuran, makin pulas pula orang itu tertidur. Meski dalam beberapa kasus, ada orang yang tidur tanpa mendengkur.
Paling aman sih pake obat tidur, meski kurang seru karena nggak ada tantangan.
Setelah yakin pria asing itu masih tertidur pulas, gue mulai berani main raba dada sambil sesekali cubit puting di balik kaos kutang sebelom turun ke perut dia.
Dengkuran pria itu masih teratur saat tangan gue grepe selangkangan dia. Bisa gue rasa batang kontol dia yang semula lemas, kini mulai bereaksi dengan remasan lembut gue sebelom berubah jadi kocokan pelan.
Dari luar jendela, gue dengar kokokan ayam jantan yang berarti subuh hampir menjelang dan gue pun mesti tunda buat sepongin kontol pria asing yang masih pulas di sebelah gue.
Yah, nggak apa malam ini cuman grepe kontol aja. Semoga besok pria itu masih tidur di kamar gue. Toh gue masih rada mengantuk.
Jadi gue sontak balik badan hadap ke sisi lain, trus ketegun begitu ekor mata gue liat guling tergeletak di lantai dekat ranjang. Segera gue pungut dan kembali tidur sambil peluk guling dengan bibir tersenyum.
To be continue >>>
a/n:
Lanjutan ada di grup. Cek akun telegram di bio dedek bagi yg minat gabung.
Makasih udh mampir dan baca cerita abal bin mesum dedek 🤣🤣