Gue bangun begitu alarm ponsel berdering tepat pukul satu dini hari, segera sambar ponsel di meja nakas sebelah ranjang trus nonaktifin alarm sebelom irza ikutan kebangun karena suara bising alarm.
Kucek mata sambil tatap layar ponsel dan menoleh ke irza yang pilih tidur deketan tembok kamar, desah lega saat liat dia masih tidur pulas sambil guling.
Segera taroh ponsel kembali ke meja nakas sebelom sibak selimut, trus beranjak turun dari ranjang dan melongok keluar dari celah pintu yang sengaja gue buka sedikit.
Lorong kamar tampak sepi dan agak temaram karena lampu padam. Gue pasang telinga, tapi nggak ada suara apa pun selain detik jam antik yang berdiri di ujung lorong dekat bordes tangga mengarah ke bawah.
Dengan perasaan waswas, gue buka lebih lebar pintu kamar irza sebelom selipin badan keluar dan jalan mengendap melintasi lorong menuju ruang rapat yang berjarak tiga pintu dari kamar utama dan lima pintu dari kamar irza.
Tanpa sadar gue embusin napas lega begitu mendapati pintu ruang rapat nggak dikunci. Jantung gue berdebar kencang saat bahu gue dorong pelan dan rada gue angkat daun pintu pake sebelah tangan yang pegang kenop pintu biar nggak gesekan sama lantai dan timbulin bunyi derit.
Gue teguk ludah saat mendapati sosok teler pak anton duduk agak melorot di sofa berlengan dan tiga pria dewasa lain yang nggak gue kenal tampak tersungkur di dudukan sofa panjang, pun om herman yang duduk rada miring di ujung sofa dengan satu tangan gelantungan lemas di bantalan lengan sofa.
Setengah meter dari posisi tangan om herman ada sebuah botol kosong gelindingan di lantai sebelom tumbukan sama botol lain. Kalo dihitung sih, ada lebih dari sepuluh botol kosong yang berserakan di sekitar kaki meja mahoni.
Coba atur dentaman jantung biar lebih tenang. Di ruang sehening itu, detak jantung gue kedengaran seperti tabuhan bedug saat jelang adzan salat. Setelah kembali normal, gue mulai mengedar mata ke sekitar.
Gue nggak mau kepeleset karena nggak sengaja injak botol di lantai dan bikin pak anton dan om herman bangun. Bisa berantakan rencana grepe gue malam ini.
Mata gue pun mulai terbiasa dengan kondisi ruang minim cahaya itu karena sumber penerangan cuman berasal dari lampu tampan yang menerobos masuk dari balik gorden jendela yang berkain tipis dengan warna putih polos.
Gue pun segera samperin pak anton yang duduk di sofa malas di ujung meja mahoni yang berada seberang pintu, trus jongok depan selangkangan dia setelah geser sebelah kaki biar ruang di antara paha bisa lebih lebaran.
Sambil terus tatap muka teler pak anton, tangan gue pun sibuk buka kait sabuk dan ritsleting celana levis dia. Kembali teguk ludah begitu liat bulu jembut yang mencuat dari sela karet kancut pak anton dan merambat naik menuju pusar.
Dengan jemari rada gemetaran, gue tarik karet kancut trus mengintip ke dalam dan senyum geli liat posisi batang kontol pak anton menekuk ke bawah di balik kerimbunan bulu jembut.
Sebelom sepong, gue guncang pelan bahu pak anton untuk mengetes seberapa teler dia, tapi cuman gumaman serta tepisan lemah dari pria matang itu. Setelah yakin bakalan aman, gue baru berani tarik turun karet kancut trus sangkutin di bawah gelembir kantong biji pelir yang tampak masih kendor.
Baru setelah itu gue pegang batang lemes itu, trus segera kulum kepala kontol pak anton ke dalam mulut sampai mentok ke pangkal bikin hidung gue kebenam ke belantara bulu jembut.
Karena masih amatiran, pun nggak ada tutorial soal sepongin kontol dengan benar. Jadi cuman bisa ambil referensi dari tontonan video bokep favorit gue.
Jadi nggak usah kaget kalo ujung gigi gue beberapa kali gesekan sama kulit sensitif batang kontol bikin jantung gue hampir pensiun dini tiap dengar desisan dari mulut pak anton.