❝SAAT MENCAPAI BARISAN TERDEPAN, SAAT ITU PULA AKU BARU SADAR MENGAPA FERNAN MENGAJAKKU KE SINI.❞
~•••~
Selamat Membaca!!!
💭💭💭
Fernan masih saja menarik tanganku. Bahkan, genggamannya cukup kuat hingga membuatku sedikit meringis. Pasti tanganku memerah nanti jika pegangan tangan Fernan dilepas.
“Fer ... ini ... mau ... ke mana ..., sih? Bilang ... baik-baik ... bisa, kan? Nggak harus ... narik kayak gini!” Oke, semakin lama rasanya aku juga semakin lelah. Bahkan untuk berbicara saja aku agak ngos-ngosan karena terus berlari.
Namun, Fernan masih saja diam dan terus menarikku. Ya, setidaknya aku tak perlu khawatir kalau Fernan akan melakukan hal yang macam-macam padaku, karena dia sendiri juga menyuruh Ghina untuk ikut bersamanya. Meskipun, ada sedikit rasa was-was juga karena Fernan membawaku ke lorong yang pernah kudatangi dengan Fernan tempo lalu. Saat Fernan mengancamku.
Omong-omong, masalah Ghina. Dia juga masih ikut berlari. Dengan wajah yang heran pastinya, karena kelakuan Fernan yang tiba-tiba saja menarik juga menyuruh aku dan Ghina mengikutinya. Sepertinya semua akan terjawab saat aku melihat gerombolan di gudang belakang. Tunggu ... kenapa Fernan mengajakku ke sini? Dan mengapa ada banyak orang yang bergerombol di sini?
Seketika aku teringat saat Arina bercerita pada Agatha bahwa dirinya sempat mencium bau anyir di sini ketika bertemu dengan Rendi. Atau jangan-jangan ... karena hal itu, banyak sekali yang bergerombol di sini?
Langkah Fernan mendadak menjadi pelan saat akan mendekati gerombolan itu. Aku pun mengikutinya.
“Fer, ini kenapa, sih? Kenapa pada nggerombol kayak gini?” Fernan masih saja diam dengan tangan yang masih menarik pergelangan tanganku. Lelaki itu terlihat berusaha menyelip di antara gerombolan tersebut. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengikutinya. Entah mengapa, instingku mengatakan, bahwa lebih baik aku menurut saja apa yang diinginkan Fernan.
Saat mencapai barisan terdepan, saat itu pula aku baru sadar mengapa Fernan mengajakku ke sini.
“F—Fikay?”
💭💭💭
Tulang kakiku serasa dilolosi satu persatu saat melihat Fikay dikelilingi oleh orang-orang berjas putih dan berseragam polisi. Bahkan, area gudang belakang sekolah pun diberi police line.
Sejak tadi, saat Fernan mengajakku ke sini sampai tim polisi dan tim forensik datang, aku masih saja terdiam. Rasanya lidahku kelu, tidak tau akan mengatakan apa. Benar-benar diam seperti patung. Ghina pun sama sepertiku.
Keramaian di sekitarku seolah senyap begitu saja ketika melihat tubuh Fikay yang terduduk dengan tatapan kosong. Di perutnya pun terdapat lubang yang sepertinya bekas tusukan. Banyak darah bertebaran di sekitarnya.
Sebenarnya aku ingin berlari mendekati Fikay dan memastikan gadis itu pasti baik-baik saja. Namun, Fernan menahan dan melarangku untuk pergi ke sana. Ia bilang, kalau tim polisi dan forensik akan datang, para guru yang melaporkan kejadian ini mengatakan untuk jangan merusak TKP. Bahkan, aku sempat ditegur oleh salah satu guru yang menjaga TKP tadi.
Tidak mungkin. Ini pasti mimpi!
“Fel.” Sebuah tepukan di bahu membuatku tersadar, ini bukan mimpi. Ini nyata. Untuk kedua kalinya, aku harus kehilangan sahabatku.
Aku pun menoleh ke samping kanan. Di sana, terlihat Ghina yang berupaya menahan air matanya untuk tidak menetes. Namun, hal itu justru membuat matanya terlihat berkaca-kaca dan tampak merah. Sejak tadi kami hanya saling diam. Tak tahan, aku pun memeluk Ghina untuk melampiaskan kesedihan yang terus-menerus menerjangku.
“Ghin, bilang kalau ini cuma mimpi. Bilang kalau ini prank. Bilang kalau ini semua nggak benar. Bilang, Ghin. Bilang!” Pikiranku benar-benar kacau saat ini. Mau berapa kali aku menyangkal, kenyataannya tetap seperti ini. Aku tidak bisa menerimanya.
“Fel. Sudah, jangan seperti ini. Kamu pikir, hanya kamu saja yang merasa sedih kehilangan Fikay? Aku juga, Fel. Aku juga.” Pundakku tiba-tiba terasa basah. Sepertinya Ghina menumpahkan air matanya di bagian pundakku. Namun, aku tak memikirkan hal itu. Kehilangan Fikay sudah cukup membuat pikiranku kacau.
“Nggak mungkin, Ghin. Ini nggak mungkin.” Aku terus saja terisak tanpa henti. Rasanya sesak sekali, hingga aku bingung harus berkata apa.
Namun, sebuah tepukan lembut di pundak membuatku melepas pelukan pada Ghina dan beralih menoleh ke belakang, melihat siapa yang menepuk pundakku tadi. Yang pasti bukan Ghina, karena aku bisa merasakan Ghina hanya membalas pelukanku saja.
Rupanya Fernando. Ia menatapku dengan pandangan iba.
“Aku turut berduka, ya. Aku sendiri juga kaget lihat banyak yang bergerombol tadi, tapi waktu aku dekati, ternyata ....” Dia menghela napas. “Makanya aku ajak kamu ke sini, karena aku yakin nanti mayat Fikay akan dibawa tim forensik. Bahkan, mungkin sebentar lagi pasti kita disuruh masuk ke kelas. Jadi, setidaknya kamu masih bisa melihat sahabatmu itu meskipun hanya sebentar.”
Namun, sayangnya, kalimat yang ia lontarkan justru membuat amarahku menjadi meledak.
“Puas kamu, hah? Senang, kan, kamu lihat aku jadi menyedihkan kayak begini? Iya?” Wajah Fernan tampak terkejut saat aku berteriak. Entah mengapa, kalimat itu justru yang terlontar dari bibirku. Entahlah, aku ... aku tidak tau apa yang kurasakan saat ini. Benar-benar campur aduk.
“Fel, bukan begitu. Aku—” Tanpa basa-basi, langsung saja aku melangkah pergi meninggalkan lelaki itu. Tak lupa, dengan senggolan kasar pada pundak Fernan.
Aku kesal, aku sedih. Aku tak tau bagaimana cara mengungkapkan perasaan yang berkecamuk ini.
💭💭💭
Hikss, tokoh keduaku sudah tiada 🤧 Aku kalo jadi Fel nyesek banget, sih, pasti. Gimana ga nyesek? Dia udah kehilangan dua sahabatnya!
As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.
Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.
Have a nice day.
©Surabaya, 23 Januari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge After MOS
Misterio / SuspensoMystery at School Series #2 💭💭💭 "Ah, ya. Tadi kau bilang, 'kan, kalau fungsi hati itu untuk menetralisir racun? Kau benar sekali, karena kalian memang tidak memiliki hati. Buktinya? Ya, kelihatan banget dari kelakuan kalian tadi. Banyak racunnya...