DENGG-DONGG-DENGG—
“Siapa yang terakhir keluar kelas harus traktir jalan-jalan sore ini!”
Seruan itu menjadi salah satu suara yang merayakan berdentangnya lonceng akademi sebagai tanda selesainya jam belajar mereka hari ini. Di antara sesaknya arus murid-murid berseragam serupa yang meruah keluar kelas dan membajiri lorong-lorong demi mencapai gerbang keluar, gadis itu berhasil menyalip lincah untuk menjejakkan kakinya di luar batas pintu kelas pertama kali, baru detik berikutnya murid-murid lain menyeruak dari pintu—membuat gadis itu cepat-cepat menepi sebelum tubuhnya terombang-ambing bak seekor ikan kecil di tengah ombak samudra.
“Naomi!”
Si gadis-pertama-keluar-kelas itu lekas membalik tubuhnya pada suara yang memanggilnya, untuk menyambut sebuah dekapan hangat dari sepasang lengan yang melingkari lehernya. Naomi mengenali sepasang lengan itu, dan membalasnya dengan tawa ringan, “Oh, Maki, kamu berhasil keluar kedua, ya?”
Maki melepas dekapan lengannya, “Bukan, aku ketiga, kok,” ujarnya sembari mengerling ke belakang. Seolah terpanggil, dari belakang punggung Maki, seorang gadis lain melongok muncul dengan jari telunjuk dan tengahnya teracung dibuka-tutupkan bak gunting sebagai pose sapaan.
Senyum Naomi terkembang, “Whoa, lagi-lagi kamu tersalip langkah Rica?”
Maki yang diledek mengangkat bahu tak acuh, “Berarti, yang mentraktir jalan-jalan kita sore ini adalah—“
“Iya, iya, tahu, kok! Aku, ‘kan?” dengus seorang gadis berpostur mungil yang baru saja bergabung dengan nada pasrah memendam sebal.
“Yaay!” sorak Naomi dengan jenaka, disahuti Maki yang sama senangnya mengetahui bukan dirinya yang mentraktir teman-temannya sore ini.
Sementara Rica beralih ke sisi Clay yang tengah memeriksa dompetnya dengan harap-harap cemas—lantas menepuk-nepuk pundaknya, “Tenang saja, Clay, kita tidak sejahat itu menguras uang jajanmu. Aku cuma mau pesan es krim porsi spesial, kok.”
Naomi mengangguk menimpali, “Aku cuma mau gulali awan raksasa di komplek timur yang sedang terkenal itu, kok!”
“Aku juga cuma mau marshmallow emas dekat tugu alun-alun.”
“Itu semua sama sekali bukan ‘cuma’, tahuu!” pekik Clay nelangsa.
Sementara tawa mengudara di sekelompok gadis itu, Naomi tidak menyadari bahwa sepasang mata tajam tengah mengerling memerhatikannya sekilas ketika ia berujar menenangkan di antara tawa, “Bercanda, bercanda!”
***
Keramaian tanpa padat seperti biasanya kembali mengisi tiap-tiap ruas jalan setapak berbatu rapi di Farbelwin. Dan Naomi yang tak sengaja menancapkan pandangannya terlalu lama pada sebuah dekorasi bunga di sisi jalan nyaris menabrak tiang lampu berumbul cerah—andai saja Maki tak sigap menarik temannya itu minggir.
“Hei, Naomi, melamunnya nanti saja!” tegur Maki memperingati, demi memfokuskan kembali kedua mata temannya itu pada kakinya sendiri.
Naomi yang seakan baru sadar bahwa dirinya tengah berjalan di tengah keramaian jalan, mengerjap dua kali sebelum meringis cengiran, “Um, hehe, oke, maaf.”
Sebelum Maki memuntahkan gerutuannya, Rica menempatkan diri di antara keduanya untuk melerai, “Sudahlah, Maki, kamu tahu sendiri bagaimana Naomi selalu melamun kalau jalan-jalan.”
“Aku tidak melamun, kok!” Naomi berkilah, “Cuma menikmati pemandangan saja,”
“Dan tujuan kita jalan-jalan adalah untuk membeli camilan sore agar bisa dinikmati bersantai di Taman Akademi,” sela Clay, “Sore yang indah ini cuma sebentar. Kalau kamu masih bebal menikmati pemandangan sepanjang jalan, jangan salahkan kami kalau kamu tertinggal.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dreamless Land
FantasyDi Tanah Farbelwin, semuanya hidup bahagia. Tak ada senjangnya strata maupun derita. Semua orang tertawa bersama-sama, tiada luka maupun duka yang mengekang mereka. Namun, benarkah begitu? Awalnya, Naomi pun berpikir tak ada anehnya Akademi dijadika...