Dream24: Kisah Sang Pemimpi Bayangan

25 11 3
                                    

Mimpi itu ... apa?

Rasanya bodoh kalau kuingat-ingat kembali bocah naif yang bersumpah akan membunuh iblis tanpa tahu kejamnya dunia waktu itu.

Schatten akan selalu mengingatnya. Mengingat hari itu, di malam itu, ketika sebuah bintang jatuh menghampirinya yang terjebak dalam kelam—secara harfiah, pula secara istilah.

Adalah seorang bocah pemimpi di tanah tanpa mimpi itu menjadi batal tergelincir. Sekalipun tubuhnya sudah terjungkal di tepi jurang keputusasaan, seutas tambang harapan disambutnya tanpa ragu. Tanpa mempertimbangkan betapa tipis tambang yang ia jadikan pegangannya untuk kembali bangkit itu, ia hanya ingin bergantung pada sesuatu demi tidak tertelan lumpur kegilaan.

Kalau ditanya tentang keajaiban, Schatten tak bisa menjawab apakah ia memercayainya atau tidak. Anak lelaki itu tidak peduli, selain kepada mimpi atas satu-satunya yang ia percayai ketika tiada siapapun yang memercayainya. Meski seorang diri, dia tak pernah sudi menjadikan hal itu sebagai alasan untuk melarikan diri dari kenyataan.

Mungkin, ketimbang kejaiaban, Schatten lebih percaya pada takdir. Mungkin saja, keajaiban adalah bagian dari takdir itu sendiri. Begitu saja, tidak masalah, bukan?

Schatten juga tidak akan pernah lupa, tentang rasa sakit yang ditanggungnya dengan tetap menjadi lurus. Arus kuat mendeburnya dari segala arah—baik mereka yang dulu bisa dipanggilnya teman, maupun seorang pria panutan yang berubah menjadi sosok menakutkan tiap kali main tangan.

Selama lima tahun ini, memangnya Schatten tidak melalui apa-apa?

Tidak akan ada yang tahu, tidak akan ada yang mengerti.

Berapa kali Schatten terjatuh dan menangis tanpa air mata. Berapa kali Schatten terluka dan berteriak tanpa suara. Berapa banyak yang dilaluinya hingga Schatten menjadi berhenti mengharapkannya.

Tangan-tangan itu mendorongnya menjauh, mengucilkannya karena sama sekali tidak bisa diajak bermain.

Tangan-tangan itu memukulinya, sebab dirinya adalah anak tidak tahu diri, sekaligus pelampiasan sang ayah panutan yang teladannya telah hilang di dalam botol-botol alkohol itu.

Tangan-tangan itu mencekik kerahnya, menertawakannya sebagai seorang lelucon, mengucilkannya lagi.

Tangan-tangan itu tersenyum padanya, mengatakan hal-hal konyol untuk berusaha mengaturnya mengikuti arus, memandangnya sebagai bocah bermasalah, selalu.

***

Mimpi itu adalah sesuatu yang sulit didefiinisikan.

Selalu.

Tapi, Schatten membuktikan satu hal, Bahwa harapan bukanlah kebohongan, selama ia bertahan dalam perjuangannya, meski bisu sekalipun. Sebab malam itu, sang pembawa harapan sendirilah yang menemuinya. Di dalam sunyinya hutan yang tak seberapa luas sebagai pembatas dengan pantai itu, Schatten mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikannya pegangan.

"Apakah kau masih mau bermimpi, di tanahmu yang tak lagi mengenali mimpi?"

Itulah pertanyaan pertama Bintang Kejora kepadanya. Di antara bias cahaya yang menelannya dengan sensasi mengambang bagaikan mimpi, sejak saat itulah Schatten yakin bahwa ia memang tak pernah sendiri. Sesepi apa pun itu dunia mengucilkannya yang mempunyai mimpi.

"...Ya."

***

Dan, di sinilah Schatten membuka mata. Berlatar kubah langit malam yang dilalui arakan awan, di mana salah satu kapas awan mendung berjejak asap tipis itu jugalah yang menjadi pijakan kedua kakinya berdiri. Meski rasanya gentar untuk beradaptasi pada pijakan yang padat menopang namun terasa ganjil dibandingkan daratan, juga ruang yang seakan dekat tapi sungguh jauh ketika tangannya berusaha menggapai—medan baru ini cukup membuat anak lelaki itu menyeringai tipis.

"Tidak ada karakteristik hutan Farbelwin sama sekali...," gumam Schatten mengamati area di sekelilingnya. "kalau begitu, portalnya benar-benar berhasil, dan aku berada di salah satu selaput langit roh eksistensi...."

Garis-garis cahaya putih portal pengantarnya telah menghilang, digantikan kerlip-kerlip samar yang beterbangan bak debu emas di sekitar anak lelaki itu, selaras dengan kilap katalisnya.

Mendadak, hembusan angin yang tadinya lewat dengan lembut berubah kacau. Beberapa kabut awan tipis di dekat Schatten terhempas menghilang, tersayat helaian angin yang serupa pembuka badai itu. Di antara aliran angin yang seakan saling bertabrakan itu, kerlip debu emas di sekitar Schatten yang beterbangan tidak tergoyahkan—justru seperti membantu menguatkan Schatten, agar tidak terhempas dari pijakannya.

Sementara Schatten menyilangkan sebelah lengannya di depan wajah untuk menghalau angin yang bisa saja membuat perih matanya, ada satu hal di dalam dirinya yang bergejolak, sama mendadaknya seperti angin yang menjadi kacau tiba-tiba.

Apa ... perasaan macam apa ini...?

Panas yang bertumpuk di atas sakit itu, bara yang telah lama dipendamnya dalam hati. Sebuah emosi yang ditahannya bertahun-tahun demi melampiaskannya sepenuh tenaga pada satu sosok yang tepat. Jika gejolak emosi itu bangkit mendadak di saat seperti ini, di saat secara bersamaan ia juga merasakan hawa kehadiran yang amat berat menekan, itu artinya—

"Halo, selamat datang, bocah pemimpi."

Tanpa perlu menunggu kacaunya angin mereda terlebih dulu untuk melihat sosok di balik kobaran kabut hitam bercorak ungu gelap di depannya itu, Schatten sudah mengetahuinya.

Bahwa sosok itulah muara dari semua kebenciannya selama ini, atas kutukan yang telah membuai tanah kelahirannya semenjak bertahun-tahun lalu.

Sang Iblis Bintang Hitam. []


<><><><><>

Thanks for read,

A/Z.

The Dreamless LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang