Jika biasanya cahaya hangat jingga sore yang mengiringi langkah-langkah Naomi di sepanjang jalan setapak samar menuju rimbunnya hutan pinggir kota, kali ini hanya semilir angin dingin malam yang menemani gesekan lirih langkah kaki Naomi menembus hutan. Lentera berlilin kecil tergenggam di tangan kanan Naomi, menerangi selangkah demi selangkah gerakan kedua kakinya, yang mengikuti bias remang punggung Schatten di depannya.
"Pemanggilan katalis...?" Naomi mengulangi ucapan terakhir Schatten, pikirannya menerka-nerka makna pemanggilan itu berarti secara harfiah ataukah tidak. "Apa itu semacam ritual?"
Shatten mengerjap sekilas, seolah mempertimbangkannya. "Ritual ... yah, kau boleh menyebutnya begitu."
"Apa ada semacam tumbal yang harus dikorbankan?" sela Naomi, suaranya separuh mengandung rasa takut dan panik—entah dari mana, satu sudut kepalanya refleks menyangkutkan kata ritual dengan hal-hal mengerikan semacam itu.
Sisi telapak tangan Schatten langsung mendarat di kepala gadis itu dengan cukup keras.
"Tidak ada yang seperti itu, bodoh! Pikirmu ini ritual apa, sih?" sambar Schatten kesal sementara Naomi menciut sembari mengusap-usap kepalanya. "Persiapkan saja dirimu, juga mimpimu. Paham?"
Naomi ingat dirinya menanggapi dengan anggukan siap-laksanakan saat itu. Nyatanya, sepanjang pagi hingga siang lalu sore sampai malam ini, pikiran gadis itu masih bergumul mempertanyakan pemahamannya.
Apa yang harus kulakukan nanti?!
Dingin—tidak, kedua telapak tangan Naomi serasa beku oleh kegugupan. Angin malam yang berhembus bukan apa-apa dengan rangkapan hangat berlengan panjang yang dikenakannya—tapi bagaimana dengan kegugupannya yang tidak bisa dihangatkan dengan berlapis-lapis pakaian sekalipun?
"Kau tidak perlu takut."
Naomi tergagap begitu menyadari suara berat Schatten menyela suara gemerisik dedaunan yang fokus didengarkannya. "A-aku tidak takut, kok!" bantahnya refleks.
Dalam remang lentera yang diangkat Schatten menyejajari wajahnya, mata tajam anak lelaki itu menyipit tidak percaya. "Pembohong. Langkahmu berjalan lebih lambat dari siput. Kalau bukan takut, gugup?"
Bagaimana bisa Schatten mengupasnya sejauh itu, Naomi tidak pernah tahu. "Ya-yah, bisa dibilang sedikit gugup....,"
"Sedikit, ya, sedikit—terserahmu," sindir Schatten membaca kebohongan putih Naomi. "Ini bukan sesuatu yang menakutkan, mengerikan, atau apalah itu yang menjadi alasanmu gugup. Justru ritualnya setenang kondisimu yang hendak tidur, kok."
Naomi mengerjap, memastikan, "Seperti mau tidur?"
"Hm. Aku bisa ikut mengantuk kalau kau masih terus melangkah selamban siput dan ritualmu bakal batal—jadi cepatlah." Setelah memastikan Naomi mendengar kata-katanya dengan jelas, Schatten kembali berbalik, melangkah dengan bayang-bayang lenteranya yang tampak bergoyang di balik sosoknya.
Meski itu sama sekali bukan pakaian hangat untuk meredakan kegugupannya, setidaknya hal itu tak lagi terlalu bergumul di kepala Naomi, yang lekas menyusul dengan langkah lebih cepat. Dengan kepalanya yang lebih rinagn, menurut Naomi tidak makan waktu terlalu lama sampai Schatten mengangkat tangannya yang menggenggam tombak—isyarat yang dimengerti Naomi bahwa mereka sudah sampai.
"Apa kita harus pergi ke suatu tempat yang sakral untuk melakukan ritualnya? Agar Bintang Kejora bisa mendengar permohonan kita? Memangnya Farbelwin punya tempat seperti itu, hei, Schatten?"
"Berisik!" tukas Schatten memotong rentetan pertanyaan Naomi dengan satu lagi pukulan sisi telapak tangannya. "Tidak ada kuil pemujaan atau apalah itu seperti bayangan anehmu, ya! Tidak akan jauh-jauh di dalam hutan pinggir kota, di tempat dulu aku juga mendapatkan katalis. Sekarang diamlah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dreamless Land
FantasyDi Tanah Farbelwin, semuanya hidup bahagia. Tak ada senjangnya strata maupun derita. Semua orang tertawa bersama-sama, tiada luka maupun duka yang mengekang mereka. Namun, benarkah begitu? Awalnya, Naomi pun berpikir tak ada anehnya Akademi dijadika...