*note : aku tu gabisa bikin judul bab, gais. Jadi mohon dimaklumi kalau ke depannya judul bab-nya bakal aneh-aneh.
***
Ternyata malam itu bukan satu-satunya pembahasan tentang laki-laki ditujukan untukku. Beberapa hari kemudian saat bertemu dengan pakde dan budhe yang kebetulan datang ke rumah untuk membagi hasil panen durian, juga ditanyakan pertanyaan serupa.
"Kamu ada pacar nggak, Ta? Udah umur segini, nggak mau cepetan nikah?"
Budhe Siti mendekatiku yang sedang duduk mengoreksi tugas mahasiswaku di depan TV.
"Belum, Budhe. Tabungan belum banyak."
"Lho kan kamu perempuan, nanti pasti juga dinafkahi sama suamimu. Wiwin aja bulan depan mau lamaran, lho."
Aku mengangkat wajahku dan menatap kakak ibu itu dengan kaget, "Loh, Wiwin bukannya baru kemarin lulus SMA ya, budhe?"
Wiwin adalah sepupuku, anak bungsu Budhe Siti.
"Ya namanya udah siap nikah, nggak pandang umur, toh. Makin cepet makin baik. Daripada maksiat kan, dosa. Kamu kapan nyusul? Sebelum nanti Gina atau Kalia dulu yang nikah."
"Astaga, Budhe. Mereka masih kecil." Aku hampir tertawa membayangkan adik-adikku yang masih kecil.
"Woo lha mereka udah perawan. Kamu apalagi, udah pantes gendong bayi lho."
"Nanti dulu, Budhe. Anta mau fokus kerja dulu. Jodoh juga belum keliatan hilalnya."
"Kalau masalah belum ada, Budhe cariin. Banyak lho kenalan-kenalan budhe yang sawahnya luas, ada yang punya kebun berhektar-hektar juga di belakang rumah Haji Birun itu."
Kedatangan Budhe di hari Minggu pagi dengan obrolan seperti ini membuatku agak jengah, tapi terpaksa kudengarkan sambil mengangguk-angguk. Kepulanganku ke rumah setelah 9 tahun rupanya sudah merupakan waktu yang lama sekali. Dulu Budhe Siti banyak membicarakan soal betapa harus semangatnya aku sekolah, mencari ilmu setinggi mungkin, kini topik itu sudah berganti dengan topik pernikahan.
Mana di akhir obrolan juga Budhe menambahkan,
"Waktu lamaran Wiwin nanti kamu udah harus bawa gandengan, lho, Ta. Biar nggak ditanya-tanya sama Pakde Budhe yang lain."
Rasanya aku ingin sekali menolak, tapi dengan watak Budhe Siti yang tak bisa dibantah, aku cuma membalasnya dengan senyum setengah hati.
Begitu Pakde dan Budhe pulang, aku langsung ngadu ke Ibu yang ada di dapur.
"Bu, emangnya nikah itu wajib banget ya di umur Anta sekarang? Padahal kerja juga belum stagnan."
Ibu yang memang tadi mendengar obrolanku dengan Budhe Siti tapi tak ikut nimbrung, sekarang cuma bisa menatapku sambil tersenyum.
"Lhoo, kok kamu malah sewot? Itu doa dan harapan, lho, Ta."
Aku menggelengkan kepala, "Bukan Bu, itu pemaksaan nasib. Masa Anta harus mengikuti budaya kalau perempuan jangan telat nikah?"
"Memangnya kamu mau telat nikah? Jadi perawan tua?"
"Ibuu..bukan gitu. Kan udah dari kemarin-kemarin waktu Ibu bilang mau kenalin sama ini lah, itu lah, Anta bilang belum dulu."
Ibu melepas celemek dan mematikan kompor lalu mendekatiku.
"Bukan gitu. Kalau ibu niatnya memang cuma mau ngenalin, nggak buru-buruin kamu nikah. Ibu khawatir aja, selama di rantau kamu nggak pernah cerita deket sama laki-laki. Ibu nggak melarang kok. Biar kalau nanti ibu udah tua, ada orang lain yang jagain kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Best Friend
RomanceAnta, Antariksa Fardiani, kembali ke kota kelahirannya setelah 9 tahun merantau untuk mengejar gelar magisternya. Selama 9 tahun pula dia tak melihat 3 sahabatnya yang ketika ditemui di reuni, sudah berubah menjadi sosok-sosok yang berbeda. Tiara si...