"Ciee..yang kemarin Minggu abis nge date."
Aku datang tiba-tiba Tiara langsung meledekku. Bagai tak ada hentinya. Padahal kemarin lusa dia sudah membeberkan semuanya di grup, pake acara ngirim fotoku dan Bara yang dia ambil diam-diam. Untungnya keliatannya cuma ngobrol biasa. Ya emang cuma ngobrol biasa, kan, kemarin.
Faris, si tukang kompor nomor dua, ikut menyorakiku bahkan saat aku sudah duduk di depannya.
Hari ini masih hari Selasa. Tapi tadi pagi Faris mengajak kami bertiga di grup untuk pergi ke rumahnya untuk menghabiskan sisa syukuran empat bulanan Mbak Keisha. Maka setelah pulang dari kampus, aku langsung kesini.
"Ris, mau nitip sholat."
"Sholat kok nitip-nitip, sih, Ta," goda Faris yang membuatku memukul kepalanya pelan.
"Sama Sakha, tuh. Dia belum sholat Maghrib."
Aku melirik Sakha yang sejak aku masuk diem aja dan memilih makan camilan di atas meja.
"Yuk, Kha."
Dia berdiri mengikutiku dan Faris masuk ke dalam rumahnya. Beberapa kali kami main ke rumah Faris saat kami SMA belajar bareng dulu. Tante Delia, Mama Faris dan Fadil, bahkan sudah kenal dengan kami bertiga dan menyambutku hangat tadi saat masuk. Karena ada tamu di depan, beliau dan Om Arkam membiarkan kami berempat kumpul di halaman belakang, bersama dengan bunga-bunga kesayangan Tante Delia.
Aku dan Sakha sholat sendiri-sendiri di mushola keluarga Arkam. Saat aku sedang melipat mukena, lelaki itu memanggilku pelan.
"Ta."
"Hmm?" Aku mengangkat muka.
Sakha sedang menatapku sambil duduk bersila. Udah kayak dukun siap terima perintah.
"Hahaha, posemu kenapa deh, Kha?"
"Ada yang mau aku tanyain."
Mukanya yang serius membuatku ikutan serius.
"Tumben. Tanya apa deh?"
"Sama Bara..lancar?"
Aku terhenti melipat mukena, lalu menunduk untuk mengusap hidungku sekilas.
"Lancar apa maksudnya? Kalo mau ngeledek, ngeledek aja, nggak usah basa basi, Kha."
"Kamu nggak mau mempertimbangkan omonganku tempo hari?"
"Ya Allah, Kha. Kamu ngomongin apa, deh? Aku sama Bara juga temenan doang. Tiara tuh yang lebay."
"Oh."
Aku menatap tajam ke Sakha, "Oh? Cuma oh? Sumpah ya, Kha. Aneh banget kamu."
Dia membuang muka dariku, membuatku mengerutkan kening.
Aku melanjutkan melipat mukena dan Sakha keluar duluan.
Saat aku kembali ke halaman belakang, Tiara langsung menyuruhku makan nasi kuning yang sudah dia siapkan di piring. Tak ada Faris maupun Sakha.
"Makan, Bu dosen. Nih, camilan disini juga ada."
"Halah, sok jadi tuan rumah kamu, Ti."
"Ih, biarin. Aku sering tau kesini."
"Iya, sampe Tante Delia ngira kamu masih pacarnya Faris."
Tiara menabok punggungku dengan kesal dan memilih diam saat menungguiku makan.
"Eh, Ta. Bara kalo ngajakin kamu jalan, kamu iyain pokoknya."
Duh, Bara lagi. Bara lagi. Rasanya tiap kali ngobrol sama Tiara, dia selalu menyebut nama laki-laki itu dibandingkan pacarnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Best Friend
Roman d'amourAnta, Antariksa Fardiani, kembali ke kota kelahirannya setelah 9 tahun merantau untuk mengejar gelar magisternya. Selama 9 tahun pula dia tak melihat 3 sahabatnya yang ketika ditemui di reuni, sudah berubah menjadi sosok-sosok yang berbeda. Tiara si...