Dion menggenggam tangan Gina dan ibu jarinya tergerak untuk mengusap punggung tangan Gina. Mereka berpandangan dan Gina mengangguk sebelum masuk ke dalam pelukan Dion.
"Sayang kamu." Dion menunduk mengecup pipi Gina.
Cowok itu lalu mondar-mandir menunggu istrinya di depan kamar mandi. Gina lalu keluar dengan tiga test pack di tangan. Ia berjalan gontai. Tangannya tampak tak sanggup meletakkan test pack itu ke atas meja di dekat Dion berdiri.
"Negatif." Gina tersenyum pedih. Kedua matanya berkaca-kaca. Rasanya, Gina tak mampu untuk berdiri tegak.
Dion terpaku untuk beberapa saat. Lantas merengkuh Gina dalam pelukannya. "It's okay. Nggak apa-apa, Na. Nggak apa-apa.... Belum rejeki kita."
Gina mengangguk lemah dan hati Dion merasa diremas mendengar isakan yang lolos dari mulut Gina. Dion mengeratkan pelukannya. Istrinya itu tampak mati-matian menahan air mata. Dion juga merasa amat sesak hingga matanya turut memanas.
"Kita pasti bisa lewatin ini sama-sama...." Dion mencium sisi kepala Gina sebelum memeluknya lagi.
Bahkan ketika beberapa jam berselang, suasana sendu itu masih melingkupi keduanya. Dion dan Gina tidak terlalu banyak bicara. Dion selalu di samping Gina dan tidak membiarkan Gina sendirian. Melihat pandangan Gina yang kosong membuat hati Dion perih bukan main.
Mereka berdua duduk menonton TV bersama. Namun, keduanya tidak benar-benar fokus menonton TV. Pikiran mereka melayang ke mana-mana. Dion menunduk dan hatinya mencelos menyadari Gina tengah menangis lagi diam-diam. Dion mendekap bahu Gina lebih erat lagi. Berusaha menenangkannya.
Dion mengusap pipi Gina yang kini tertidur dan menggunakan pahanya sebagai bantal. Mengantuk, Dion mencoba memejamkan matanya dengan tangan yang masih membelai rambut Gina.
Setelah beberapa lama, Dion akhirnya bangun dan menyadari bahwa tak ada Gina di sisinya. Dion memeriksa kamar terlebih dahulu, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Gina. Ia lalu berjalan ke dapur. Dion menghela napas lega ketika melihat Gina yang terlihat akan memasak.
Dion kontan memeluk Gina yang berada di depan pantry. Gina merasakan hangat napas Dion di sekitar tengkuknya. Gina berbalik dan memeluk leher Dion. Gina pun harus sedikit berjinjit karena tinggi badan suaminya itu.
Dion mengangkat tubuh Gina untuk duduk di atas counter yang bersih dari bumbu-bumbu masak serta kompor.
"Maafin aku ya, Yon." Gina mengusap pipi Dion lembut.
"Kamu nggak salah apa-apa." Dion menggenggam tangan Gina yang ada di pipinya. "Harusnya kamu bangunin aku."
"Kamu capek banget keliatannya."
"Kamu masih sakit, Na. Biar aku yang masakin, ya?"
Gina mengerucutkan bibir. "Kita pesen aja deh."
"Emang sabar nunggunya?" tanya Dion memastikan.
"Sabar, asal sama kamu."
Dion terhenyak mendengar jawaban Gina. Kemudian menjatuhkan hidungnya di atas puncak kepala Gina. Diam sesaat menenangkan dirinya sendiri. Tuhan, dia teramat mencintai perempuan ini....
"Bentar aku pesenin. Bentar aja, kamu jangan ke mana-mana," kata Dion sebelum berlari mengambil ponselnya. Gina menunggu Dion sambil menggerakkan kedua kakinya yang menjuntai.
"Bubur aja ya?" tawar Dion setelah mengambil ponselnya.
Gina mengangguk dan Dion juga memesan makanan untuk dirinya sendiri.
"Nanti kita ke dokter ya?" tanya Dion setelah meletakkan ponsel di samping Gina duduk.
Gina menggeleng lemah. "Nggak usah. Paling juga masuk angin."
"Diperiksa dulu, biar cepat sembuh, ya?" pinta Dion lembut.
"Hmmm." Pasrah Gina akhirnya.
Dion nggak bisa menahan diri untuk menjawil hidung Gina. "Kamu masih mual? Masih pusing?"
"Nggak kok, udah mendingan. Btw, kamu nggak capek berdiri depan aku kayak gini?" kata Gina dengan lengan yang mengalung di leher Dion.
Dion tersenyum simpul. "Nggak capek."
Hening lagi. Namun, kontak mata mereka tak terputus. Tanpa Gina sadari wajah Dion sudah begitu dekat. Tangan Dion yang tadi memeluk pinggang Gina berpindah merengkuh tengkuknya dan membuat jarak mereka terkikis. Otomatis lingkaran tangan Gina pada leher Dion juga kian erat dan membuat Gina bisa menggenggam sikunya sendiri. Ujung hidung mereka bertemu. Keduanya memejamkan mata perlahan dan ...
404 Error (page not found)
***
Keadaan Gina berangsur membaik. Ia juga sudah nggak masalah kalau Dion harus melakukan kewajibannya di kampus. Sekarang Gina berada di rumah mamanya. Gina ingin menceritakan apa yang ia rasakan kepada sang mama. Kadang Gina berpikir bahwa kesedihannya bukan masalah besar, kebanyakan orang berkata bahwa masih banyak orang yang memiliki masalah yang lebih berat dibanding dirinya. Tapi Dion selalu bilang, it's okay to be not okay. Gina berusaha jujur akan perasaannya sendiri.
Ninda sudah mengira ada sesuatu pada putri semata wayangnya itu, tapi Ninda tidak tahu karena apa. Gina tak seceria biasanya dan terlihat begitu gloomy. Ketika Gina bicara, Ninda berperan sebagai pendengar yang baik dan memeluk putrinya yang tak henti menumpahkan air mata. Akan tetapi, Gina begitu lega karena hal itu.
"Seberapa banyak pun aku meyakinkan diri aku bahwa kita punya timeline masing-masing, aku nggak bisa mengelak perasaan ini. Dulu aku bisa nanggepin dengan tenang pertanyaan basa-basi orang-orang tentang anak, tapi sekarang aku terlalu memikirkannya, Ma.... Aku nyiptain harapan-harapan dan aku kecewa ketika harapan itu nggak terwujud, aku takut Dion kecewa sama aku, aku takut...." Gina menutup wajahnya dengan kedua tangan. Overthinking ini membuatnya dirinya begitu sesak.
"La ... Dion akan selalu ada di sisi kamu. Di dunia ini, selain papa, Dion adalah laki-laki yang paling menyayangi kamu."
Di tengah isakannya, Gina perlahan menurunkan tangan dan memandang mata sang mama.
"Mama mungkin belum pernah cerita sedetail ini ke kamu. Sebelum hamil kamu, mama nunggu sampai sepuluh tahun. Kalau dengar lagu Rhoma Irama yang sepuluh tahun sudah kita berumah tangga itu ... otomatis mama langsung nangis." Ninda mengusap pipi Gina lembut.
"Mama beberapa kali keguguran, La. Untungnya mama punya papa kamu yang selalu support. Kita seneng banget kamu bisa hadir di antara papa dan mama. Kamu kebahagiaan mama dan papa.
"Mama ... bukannya bermaksud nakutin kamu untuk nunggu sampai sepuluh tahun. Sama sekali nggak, sayang. Tapi Mama mau yakinin kamu bahwa nggak ada yang nggak mungkin kalau kita terus berdoa dan berusaha.
"Pelan-pelan, ya. Satu-satu. Syukuri, jalani, nikmati. Selalu baik sangka sama Allah ya, sayang. Sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut. Happy wife, happy family. Semua kangen lho kamu yang ceriwis. Kamu itu happy virus untuk semua, La."
Gina mengusap air matanya lalu mengangguk. Tangan Ninda terulur untuk menggenggam kedua tangan Gina.
"Mama tau sesantai apa pun kamu jalaninnya, pressure itu pasti akan selalu muncul sewaktu-waktu. Tapi harus inget, kamu punya mama, punya Dion, juga punya banyak orang yang sayang sama kamu. Fila juga punya Allah yang selalu ada buat Fila."
Gina menghambur ke pelukan Ninda dan menyandarkan kepalanya di bahu sang mama. Ninda membiarkan tangisnya ikut turun. Tangannya membelai kepala Gina, menenangkan.
Bersambung
Dion Gina semangatssss
:"(
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal Zone 2: After Married
Roman d'amourBerawal dari musuh bebuyutan yang akhirnya menjadi sahabat karib tak terpisahkan. Gina yang seorang fangirl garis keras memiliki garis singgung dengan Dion yang selalu menjailinya. (Fangirl Enemy, 2016) Kisah mereka berlanjut ketika Dion dan Gina me...