Seakan paham, saat dosen pengampu mata kuliah Sejarah Sastra memasuki ruangan, Aya langsung berdiri dan berjalan ke depan lalu menghadap ke teman-temannya.
"Selamat siang, Teman-teman! Sama seperti pekan lalu, kali ini saya kembali mengajar kalian pada mata kuliah yang diampu oleh Bapak—" ucapan Aya menggantung. Mampus ia lupa nama dosen pengampu Sejarah Sastra tersebut.
Sejak pertemuan pertama, Aya memang tidak mengikuti perkuliahan lantara harus membersihkan mobil dosennya karena dia terlambat masuk 30 detik. Baru sampai di depan pintu saja sudah disuruh keluar. Tidak masuk akal memang, namun Aya mana berani protes karena masih merasakan vibes semester baru pasca libur.
Aya juga tidak sekepo teman-temannya untuk mengetahui nama dosen, baginya itu gak penting. Ia hanya tahu jika teman-temannya sering menyebut nama dosen tersebut, dan sepertinya dosen satu ini namanya jarang terdengar. Gak heran sih, aura kekilerannya memang kuat, orang gila mana yang berani menyebut namanya coba?
Matanya melirik ke arah dosennya yang sibuk membolak-balikkan sebuah buku, seakan tidak mempedulikan Aya yang tengah mengajar—menggantikan dirinya.
"Bapak hmmm—"
Lagi ucapannya menggantung, pandangannya beralih ke arah sahabatnya yang duduk di bangku paling belakang. Mengerjapkan kedua matanya berharap sang sahabat peka atas ketidaktahuannya nama dosen yang mengampu mata kuliah jam ini.
Maudy dan Clara terlihat sibuk mengomat ngamit mulutnya agar tidak terdengar secara perlahan sembari mengeja tiap suku kata yang mengatasnamakan dosennya.
"Bapak Anta—" Aya kembali berhenti saat dua suku kata terakhir masih belum berhasil ia cerna. Maudy dan Clara semakin memberi Aya bayangan dengan mengomat ngamit mulutnya serta gerakan tangan.
"Bapak Antase—" Maudy mengangguk mendengar satu kata kali berhasil Aya cerna, ia semakin bersemangat menyebut suku kata terakhir. Clara memberinya jempol.
"Bapak Antase—"
"Ehemm." Sontak Aya kaget mendengar deheman sang dosen.
"Bapak Antasetan," ucap Aya kemudian membuat teman-temannya berusaha menahan tawa. Maudy dan Clara menepuk jidatnya, gagal sudah, dan sang dosen menatap tajam ke arahnya.
Aya yang tak memperhatikan tatapan sang dosen ke arahnya dan raut wajah sahabatnya, malah kembali asyik dengan penjelasannya. "Aya ulangin lagi ya, Teman-teman. Saya akan gantiin Bapak Antasetan mengajar pada mata kuliah ini selama satu semester. Jadi, Teman-teman jangan tegang ya. Kita belajar santai deh pokoknya."
Prakk!!
Ayara tersentak mendengar gebrakan meja yang berasal dari dosennya. Kedua tangannya mengelus dada dan berucap istigfar saking kagetnya.
"Kamu tadi bilang apa?" Matanya menatap tajam Aya.
"Saya akan gantiin Bapak—"
"Bukan-bukan, bukan yang itu. Maksud saya, nama saya. Apa tadi kamu bilang?"
"Bapak Antasetan," jawab Aya tanpa rasa bersalah sama sekali membuat dosennya menghirup udara banyak-banyak sebelum ia embusnya secara perlahan.
"Yakin kamu, kalau itu nama saya?" sambil berusaha mengontrol emosinya.
"Yakinlah, Pak. Emang nama Bapak salah ya?"
Kalimat polos Aya sontak membuat teman-temannya lolos tertawa. Sejak tadi mereka tahan karena takut amukan dosen, namun sepertinya mereka tidak tahan lagi untuk tertawa.
Prakk!!! Gebrakan meja kembali terdengar kedua kalinya. Teman-temannya langsung mingkem, begitu pun Aya. Mulutnya terkunci rapat.
"Salah besar! Sangat-sangat salah. Nama saya Antasena. An-ta-se-na. Ngerti? Sejak kapan nama saya berganti menjadi Antasetan? Kamu tahu dari mana kalau nama saya Antasetan? Hah?" hardik Pak Dosen.
"Ya, mana saya tahu kalau nama bapak Antasena. Aya tahunya Antasetan." Aya membela diri.
"Emang kamu gak dengar waktu kontrak perkulihan?"
"Gimana mau dengar, Pak! Lah waktu itu bapak nyuruh saya nyuci kendaraan Bapak. Ihh, bapak mah pikun deh."
Mendengar ucapan Aya yang selalu membalas setiap perkataannya membuat Anta berusaha mengontrol emosinya di hadapan mahasiswa. Ini kali pertama ia berhadapan dengan mahasiswi berani seperti Aya. Entah karena polos atau karena disengaja menjawab setiap apa yang dikatakan olehnya.
"Oke-oke. Berhubung karena kamu gak tahu nama saya yang mana selaku dosen pengampu salah satu mata kuliah di kelas ini maka dengan senang hati saya beri kamu tugas untuk menggantikan saya mengajar bukan hanya untuk di kelas ini tapi juga di kelas lain."
"Hah? Bapak gila ya? Masa cuma gara-gara nama, beban saya ditambah? Ini mah namanya diskriminasi, Pak!" ucap Aya tak terima.
"Nama saya itu hadiah dari orang tua saya dan tidak ada yang berhak untuk mengubahnya. Termasuk kamu, Aya! Saya rasa itu wajar, kamu bisa belajar lebih banyak tentang sajarah sastra dibanding sejarah K-Popmu itu."
"Ihhh, ini gak adil, Pak! Kenapa hanya saya yang diginiin?"
"Karena hanya kamu yang paling banyak bermasalah di kelas saya."
"Tapi—"
"Maaf, saya tidak terima penawaran lagi." Putus Anta kembali duduk, sedang Aya masih berdiri dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
"Sehubung karena Ibu Aya belum bisa mengajari kalian, maka saya hanya memberi kalian tugas esai yang berkaitan dengan mata kuliah kita. Tugas tersebut ditulis tangan sebanyak dua puluh lima halaman dan harus ada di meja saya paling lambat besok lusa. Oke, perkulihan saya tutup dan sampai jumpa!"
Dosen muda yang bernama Anta itu berjalan keluar kelas setelah melewati Aya yang masih terpaku di depan kelas dengan pikiran yang semrawut.
Saat yang lainnya mulai bubar, Anta kembali dan masih melihat Aya berdiri di sana.
"Dan kamu, nanti ke ruangan saya kalau perkulihannya sudah selesai," pesan Anta.
Aya hanya bisa menghela napas pasrah. Masa perkuliahannya tiba-tiba saja menjadi suram usai bertemu Pak Anta, hmmm maksudnya Dosen Psikopat(?).
~ ~ ~

KAMU SEDANG MEMBACA
BIO KITA || REVISI
Ficção Adolescente[AWAS NGAKAK!!] [DISARANKAN TERLEBIH DAHULU MEMFOLLOW AKUN INI SEBELUM MEMBACA!] Berawal diciduk dosen mengagumi K-POP di kelas, Aya akhirnya mendapat hukuman menjadi asisten dosen selama satu semester. Siapa sangka yang awalnya cuma asisten dosen m...