Part 3

6.2K 470 29
                                    

"Ya iya, cewek gampangan kan namanya kalo mau aja diajak tidur sama lelaki yang bukan suaminya. Apalagi dia itu kan miskin, bisa jadi karena diiming-imingi duit. Iya kan?"

"Jangan asal ngomong ya, Sal! Setau gue, Nuri bukan perempuan seperti itu."

"Ya, lu kan baru aja kenal Nuri, Ren, jadi belom tau apa-apa tentang dia." Faisal mendekat dan duduk dengan santainya di tepian meja kerja ayahnya.

"Oh, jadi lu tau semua tentang Nuri. Berarti lu juga tau kan siapa ayah dari bayi yang dikandung Nuri?"

"Gue? Kok jadi gue? Lu nuduh gue yang hamilin Nuri, Ren? Rese bener lu!"

Tanpa diduga Faisal langsung berdiri dan menghampiri Rendra dalam satu langkah lalu menarik kerah kausnya. Akibatnya Rendra sampai terangkat sedikit dari kursi. Sorot menakutkan dilancarkan Faisal pada Rendra, sementara yang ditatap hanya membalasnya dengan tenang.

Herman langsung mendekat dan berusaha melerai. Memaksa Faisal melepaskan kerah Rendra. "Sudah, Sal! Sudah! Apa-apaan sih kamu. Gak ada yang nuduh kamu begitu. Jangan main emosi aja dong!"

Sesaat kedua lelaki itu tetap bergeming. Tak ada yang beranjak hingga akhirnya Faisal menyentak Rendra, membuatnya terduduk kembali di kursi. "Hati-hati lu ya, Ren, jangan sembarangan kalo ngomong!"

"Faisal! Sudah!" bentak Herman akhirnya, yang membuat Faisal lantas keluar ruangan dengan bantingan keras di pintu. Membuat Herman menggeleng melihat kelakuan putranya. "Maafin Faisal ya, Ren. Nanti om coba bicara sama dia."

"Gak apa-apa, Om. Biar aja. Faisal lagi banyak pikiran kayaknya. Rendra ke kamar dulu, Om," pamit Rendra sebelum melangkah ke luar.

🍃🍃

Semburat mentari mulai tampak di ufuk timur. Memantulkan tetes air di atas rerumputan sisa hujan semalam. Berkilau bagai permata. Menemani penduduk desa yang telah memulai aktivitasnya sejak azan subuh berkumandang tadi. Begitu juga di rumah tua ini, tampak Nuri tengah sibuk memasak di dapur.

Tangannya cekatan mengolah sayuran yang kemarin dipetik Bik Imah dari kebun belakang. Kemudian membalik tempe goreng yang masih berada di atas wajan. Padahal biasanya Bik Imah saja yang sibuk sepagi ini. Tapi wanita paruh baya itu tampak masih berbaring di ranjang lusuh di kamarnya dengan wajah terpejam.

Tak lama kemudian Nuri masuk dengan piring berisi nasi lengkap dengan sayur dan lauk. "Bibik makan dulu ya, baru minum obat. Nanti Nuri aja yang gantiin Bibik."

"Gak usah, Nur. Biar bibik aja. Kasian kamu nanti kecapekan."

"Bibik sakit gini mana bisa kerja. Udah dibilang jangan bantuin di rumah Bu Cahyo tetep maksa sih. Jadinya kambuh lagi tuh sakit pinggangnya. Udah bibik makan dulu ya. Mau Nuri suapin?"

"Gak usah, Nur. Bibik makan sendiri aja. Maaf ya Nuri jadi repot gini."

"Bibik apaan sih, udah kewajiban Nuri buat ngurusin bibik. Bibik selama ini kan udah baik banget sama Nuri. Udah sekarang bibik makan, minum obat trus istirahat. Nuri mau siap-siap dulu."

Nuri pun meninggalkan Bik Imah. Ia harus bersiap-siap bekerja. Sayang rasanya jika salah satu dari mereka tak ada yang bekerja hari itu. Karena berarti takkan ada pemasukan untuk membeli bahan makanan.

Sekalipun uang dari Pak Herman masih ada, tapi mereka tetap harus menghemat pengeluaran. Masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, belum lagi untuk persalinan nanti yang pasti butuh banyak biaya.

"Bik, Nuri berangkat ya. Assalamualaikum," pamit Nuri sebelum keluar rumah dan menutup pintu.

Pelan Nuri berjalan di atas jalan berbatu yang mendaki. Hujan semalam membuat jalan terasa semakin licin. Namun, cahaya mentari yang bersinar terang membuatnya harus menyipitkan mata agar dapat melihat jalan menanjak itu dengan jelas.

Hingga tiba di sebuah persimpangan jalan, langkah Nuri harus benar-benar terhenti kala melihat seseorang yang berdiri di sisi jalan. Tampak orang tersebut tengah menanti dirinya, karena sejurus kemudian orang itu atau tepatnya lelaki itu menghampiri dengan senyum di wajah.

"Tolong jangan menghindar lagi, Nur. Aku cuma ingin bicara, setelah itu aku pergi."

Tatapan teduhnya kini tampak memohon. Membuat Nuri tak tega untuk meninggalkannya. Demi melihat anggukan Nuri, lelaki itu pun tersenyum kembali. Lantas berjalan terlebih dahulu ke arah pondokan warung kopi yang tak jauh dari sana.

Keduanya lalu duduk berhadapan. Seorang wanita muda dengan kerudung hitam mendekat, menanyakan pesanan. Namun, tetap tak ada yang bersuara hingga segelas kopi pesanan Rendra datang. Keduanya tertunduk sembari memainkan jemari.

"Apa kabar, Nur?" Lelaki itu akhirnya membuka suara.

"Alhamdulillah baik, Mas. Mas Rendra sendiri apa kabar?"

"Alhamdulillah aku juga baik, Nur," jawab Rendra sambil tersenyum kembali. Kebahagiaan membayang di wajahnya.

"Mas Rendra dari Jakarta kapan?" Bahagia di wajah Rendra kini menular pada gadis di hadapannya. Seulas senyum tipis terukir di wajah Nuri.

"Tadi malam aku berangkat, sampai sini subuh trus mampir ke At-Ta'awun dulu baru ke sini. Aku pikir kalo nunggu di sini mungkin akan ketemu kamu lagi." Panjang lebar Rendra memberi penjelasan.

Nuri tersenyum kembali mendengar ucapan Rendra. Ya, memang seperti inilah Rendra yang ia kenal, yang biasa membantunya mengerjakan tugas kuliah. Tak ayal Nuri jadi teringat masa-masa indah di kampus birunya.

"Boleh aku tau kenapa Mas jauh-jauh datang ke sini?"

Sejenak Rendra tampak meragu, namun akhirnya dijawab juga pertanyaan Nuri. "Aku rindu Nuri Maulina, yang sudah seperti adik buatku. Juga rindu mendengar semua celotehnya. Rindu kebersamaan kami selama ini. Rindu semua tentangnya. Ya ... aku rindu kamu, Nur."

Nuri tertunduk semakin dalam demi mendengar ucapan Rendra. Entah apa yang harus dikatakannya, karena sejatinya ia pun merasakan hal yang mirip seperti Rendra.

Jika pemuda itu merindukannya seperti seorang adik, berbeda halnya dengan Nuri. Berbulan-bulan lamanya ia menekan semua perasaan di hati. Rasa ingin kembali bertemu, ingin kembali dekat, tapi bukan sebagai kakak.

Susah payah ia menghindar dari Rendra dan pergi jauh agar tak perlu bersua lagi, bahkan mengganti nomor ponsel, tapi semua terasa sia-sia karena kini lelaki itu telah ada di hadapannya. Sungguh ia menyayangi Rendra dan tak ingin hidup lelaki itu menjadi suram seperti hidupnya.

"Kalo aku minta sesuatu, apa Mas Rendra mau mengabulkan?"

"Tergantung. Apa yang kamu minta?"

"Jangan pernah mencariku lagi, Mas. Sebaiknya kita jangan pernah bertemu lagi."

"Aku sudah mengira kamu akan bicara begitu. Nggak. Permintaan itu gak akan aku kabulkan. Susah payah aku cari selama ini, gak mungkin aku lepasin begitu aja."

"Kenapa, Mas? Kenapa harus mencariku seperti ini? Hidup Mas Rendra sudah baik, masa depan Mas Rendra juga akan cerah, kenapa susah-susah mencari Nuri Maulina yang rusak ini."

"Apa maksud kamu, Nur? Kenapa kamu merasa rusak? Karena bayi itu?"

Nuri kembali menunduk dalam-dalam. Menekan semua perasaan yang muncul ke permukaan. Menahan buliran bening yang siap menitik.

"Boleh aku tau siapa ayah dari bayi yang kamu kandung, Nur?"

Pelan Nuri menggeleng. "Gak, Mas. Gak ada gunanya Mas Rendra tau. Cuma akan menyakiti banyak pihak."

"Jadi kamu tetap akan merahasiakan semua ini dan menanggung beban ini sendirian?"

"Aku gak sendiri, Mas. Masih ada Bik Imah juga bayi yang tak berdosa ini. Aku sudah cukup bahagia, Mas." Perlahan Nuri tersenyum sembari mengelus perut buncitnya, Rendra hanya terdiam memperhatikan.

"Aku akan cari kerja lagi, nanti setelah bayi ini lahir dan bisa ditinggal." Nuri melanjutkan saat melihat Rendra yang tetap terdiam. Mungkin berharap pemuda itu akan menyerah dan pergi menjauh jika ia tahu Nuri akan hidup dengan baik.

"Nuri ... tolong menikahlah denganku, agar semua beban ini bisa kita tanggung bersama ...."

-------------------------------------------------

Makasih yaaa sudah ngikutin cerita ini 🤗

Jangan lupa follow dan bintang-nya yaaa 🤗😘

Sekeping Rindu TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang