Tiga detik pertama ketika aku melihat Jimin mengenakan seragam sekolah pertamanya adalah saat-saat berhargaku. Aku bahkan rela mengorbankan waktuku bermain dengan chika, boneka beruang hadiah ibu yang usang satu tahun yang lalu. Sembari membayangkan diriku dibalut seragam yang sama, ibu merotasikan matanya sebal dan mulutnya kembali berceramah. Telingaku yang sudah kebal tak lagi berdengung atau sakit hati mendengar ucapannya yang meletakkan ku seolah aku beban keluarga ini, ibu mengatakan jika aku menghabiskan seperempat jatah makan kami dalam sehari selama tujuh belas tahun ini. Tetapi aku hanya menatap bangga pada Jimin yang berkaca di depan kamarnya. Jimin selalu terlihat tampan, Ia adalah pria tertampan di Busan, sebelum aku mengenal pria lain.Selama tujuh belas tahun aku menghabiskan separuh hidupku untuk membantu ibu bekerja, mencari kerang di laut untuk dijual kembali, berkebun di ladang yang jauh di atas bukit, lalu kembali turun ketika senja mulai menghangatkan permukaan kulitku. Ayah menopang beberapa kilo sawi di punggungnya yang hampir renta sementara ibu membawa beberapa lobak di kantung yang tersampir di pundaknya.
Sesampainya di rumah, senyuman Jimin menyambut kami dengan pendar hangat yang menghias di wajah tampannya. Seolah sudah terjadwal dan menjadi kebiasaan, meski ratusan kali ibu memperingati Jimin untuk tidak memasak, meja dapur selalu penuh ketika kami pulang. Aku sedikit masam karena ibu kembali memarahiku meski aku tak mengerti letak kesalahanku dimana. Tetapi satu kekesalan yang tak disengaja itu bisa merubah tujuh belas tahunku menjadi kebencian pada Jimin. Aku mulai menyetujui sisi buruk ku jika Jimin melakukan semua hal baik dalam rumah ini tujuannya adalah agar ibu bisa memarahiku. Dan entah mengapa aku mulai berpikir jika hal itu membuat semacam kepuasan tersendiri untuk Jimin.
Kurasa. Tetapi hari ke tujuh di musim panas, Jimin menghabiskan waktu liburannya ke Pulau Jeju. Puluhan rayuan Ia tujukan pada ayah dan ibu agar aku mengikuti anak nakal mereka menghabiskan liburan yang mungkin menyenangkan. Meski awalnya menolak dengan alasan akan mengeluarkan uang yang besar untukku, tapi mulut Jimin yang terlatih merayu itupun berhasil meluluhkan kerasnya hati ibu dan ayah.
"Apa yang kau katakan pada ibu sampai Ia menyetujui aku ikut denganmu?"
"Aku mengatakan kalau kau akan ku tinggalkan di sana sendirian." Ia mengatakan itu sambil terkekeh idiot. Seharusnya yang menempuh pendidikan itu aku, jika saja aku memiliki orang tua yang baik, dibandingkan Jimin yang bahkan tak mengerti pelajaran yang sudah dijelaskan para guru. Justru aku, hanya dengan membaca buku-buku Jimin saja kurang lebih, aku telah mencicip sedikit pendidikan.
Satu tahun kemudian Jimin pulang dengan seragam penuh coretan di dada dan punggungnya. Ia berteriak seperti idiot pada umumnya bahwa Ia sudah lulus. Perjalanan selama tiga tahun yang Ia tempuh dengan susah payah akhirnya telah usai. Ia memandangku setengah sendu setengah gembira. Barangkali dalam otak kecilnya Ia berpikir betapa menyedihkannya gadis di hadapannya ini, seumur hidupnya tak bisa menempuh pendidikan. Tetapi aku hanya memasang senyum sembari menahan kantung mataku yang hampir meledak terharu karena Jimin ku yang tembam sudah lulus SMA.
Beberapa hari kemudian, atau berhari-hari yang lalu, Jimin mengurung diri di kamar kecilnya di pojok rumah tua ini. Kulit di punggung jemariku hampir terkelupas karena terus mengetuk pintu kamar Jimin yang selalu membisu, tetapi belakangan, atau mungkin memang setiap hari, setelah tujuh hari kematian kedua orang tuanya, Ia menampakkan diri meski pada tengah malam. Tubuh kecilnya mengambil sepotong roti selai di nakas lalu kembali mengurung diri di kamar gelapnya itu. Barangkali bersedih dan meratap pun membutuhkan energi.
Ngomong-ngomong tentang orang tua, aku hanya mempunyai sekeping kenangan bagus ketika kami ke ladang bertiga tanpa Jimin. Ketika itu, aku bisa merasakan beda pendar hangat yang terpancar di wajah ibu apalagi ayah. Aku merasa memiliki mereka meski hanya sekejap. Selebihnya, ketika berada di rumah, presensi ku mendadak di tenggelamkan dalam lautan bernama kesunyian dalam kepalaku. Mereka bertiga saling berbagi senyum dan tawa dalam dunia yang mereka sebut 'keluarga'.
Aku menangis. Maksudku, siapa yang tidak menangis ketika kedua orang tua mu meninggal? Apalagi setelah melihat keadaan mereka berdua yang terkapar dengan darah membasahi tanah subur di ladang mereka. Jimin berlari turun bukit dengan napas tersengal, wajahnya pucat dan seluruh tubuhnya banjir keringat. Hanya dua kata yang mampu terucap dari bibir mungilnya, "Mereka Mati".
Lalu semuanya menghitam. Segala kepingan kenangan mendadak tenggelam dalam palung kesedihan. Hari itu, pertama kalinya aku menangisi orang lain. Separuh dari jiwaku rasanya hilang bersama beban tujuh belas tahun selama hidupku. Separuh pikiranku pun hilang, aku tak lagi bisa membedakan mana yang hitam mana yang putih, dalam kepalaku hanya terisi kekosongan.
Lengan ringkih ku berusaha mendekap Jimin sekuat yang ku bisa meski tak secuil pun kesedihan Jimin yang terobati. Tenggorokanku tercekat setelah mengucapkan sepatah dua patah kata penghibur yang sia-sia. Bagaimana bisa aku mengatakan hal yang begitu mudah sedangkan aku tak pernah bisa berada dalam posisi Jimin? Tentu saja Ia lebih merasa kehilangan daripada aku. Apalagi, ayah dan ibu lebih sering memukulku daripada Jimin. Itu hal yang lumrah untuk anak pungut sepertiku.
Terkadang aku merasa iri pada Jimin karena memilik ayah dan ibu, iri karena memiliki rasa kehilangan yang lebih besar daripada aku, kupikir aku dengan merasa kehilangan aku akan merasa lebih memiliki. Tapi kenyataannya Jimin terlihat seperti mayat hidup. Kantung matanya menghitam, kupikir seharian di dalam kamar itu Ia menghilangkan rasa sakitnya dengan tertidur, tetapi setelah ku dobrak pintunya di hari sabtu malam, aku menemukan silet tajam tergeletak di mana-mana. Kulit putih Jimin memerah lalu mengungu segaris. Sebegitu sakit kah kehilangan? Apakah aku akan melakukan hal yang sama jika orang yang kusukai tak lagi menghirup udara yang sama denganku?
Aku mulai gila dengan membiarkan kepalaku memikirkan jika Jimin mati nantinya. Apakah aku akan bunuh diri mengikuti jejak Jimin karena tak ada lagi yang bisa ku sebut rumah? Tiga detik kemudian suara Jimin mendengkur menyapu pendengaran ku. Ia tertidur tengkurap dengan kepala menghadap keluar jendela. Baik rembulan maupun wajah Jimin sama-sama indah. Aku baru sadar jika memandangi Jimin itu semenyenangkan ini. Surai pirangnya kusibak lalu perlahan pipinya kusentuh.
Tidurlah, malaikatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSANE
FanfictionHanya sekumpulan orang sakit jiwa yang kebetulan saling jatuh cinta. Jangan dibaca, nanti kau terluka.