4

20 4 5
                                    

Di hari-hari berikutnya, pemuda bernama Jeon Jungkook itu masih setia menemaniku merenung di atas bukit, atau sekarang lebih seperti akulah yang menemaninya. Aku iseng, terlintas di pikiran untuk meminta si Jeon menggambar diriku yang cantik ini.

"Baiklah. Karena Nara orangnya cantik, aku akan membuatnya sedikit lebih seksi." Katanya. Tak butuh lama bagi pemuda tampan itu menorehkan tintanya pada kanvas meski dalam rentang waktu menungguku, aku kerap beberapa kali menguap. Begitu lukisannya di todong padaku, kedua mataku membulat, tak mempercayai hasil dari pemuda agak sinting yang sedang nyengir aneh di depanku. Tubuhku kembali di penuhi bulu kuduk yang berdiri.

Ini sinting. Benar-benar orang sinting. Bagaimana bisa orang seperti Jeon Jungkook dibiarkan berkeliaran sendirian? Mendadak asumsi dan pertanyaanku selama ini terjawab oleh satu kejadian ini.

Apakah baik-baik saja kalau aku tetap meladeni bocah sinting ini? Tetapi yang dilakukan Jeon Jungkook hanyalah menggambar. Kuharap begitu.

"Ini cantik." Kataku akhirnya. Senyum sedikit di sunggingkan meski pemuda itu tahu ekspresi wajahku sama sekali tak ikhlas.

"Jangan cantik saja. Berikan komentar yang menyeluruh. Seperti bagaimana bentuk rambutmu, bibir ranummu, apakah dada dan pantatmu sudah terlukis sempurna oleh tangan senimanku?" Perkataannya hampir membuatku terjungkal. Sejenak lagi-lagi terlintas omongan Jimin tentang 'Jangan pernah meladeni orang yang tidak kau kenal'. Tetapi nasi telah menjadi bubur.

"Sudah, kok."

"Benarkah? Biasanya aku harus memegang pantat model yang kulukis dulu sebelum menggambarnya, supaya pas." Aku kembali melotot, mengambil posisi was-was dan siap berlari jika itu diperlukan. Tetapi wajah Jeon berubah sendu tiba-tiba.

Siang itu panas, tetapi angin gunung mengubah hawa menjadi dingin. Beberapa awan nampak rela menghalangi panasnya matahari agar tak menyengat kami berdua. Lalu Jeon Jungkook pun bercerita. Cerita yang membuat sisa-sisa hariku terasa jengah dan tak nafsu makan. Cerita yang membuatku harus merasa memilih diantara tenggelam atau membunuh seseorang. Cerita yang bahkan ketika malam merampas senja kekuningan, Ia tetap menyihir pikiranku untuk sibuk di penuhi pemuda sinting itu.

Jeon Jungkook. Siapa sangka wajah tampan itu menyelinap tanpa permisi di benakku bahkan ketika aku tidur. Lalu angin kencang tiba-tiba masuk melalui jendela kamarku yang terbuka. Aku merindukan Jimin.

🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚

Kelopak mataku mengernyit, mencoba menebak apakah suara kokok ayam ataukah suara hatiku sendiri karena mengingat lukisan wajah dan tubuh telanjangku dari Jungkook tempo hari.

"Nara. Bangun. Kebiasaanmu sama sekali tak berubah ya, bangunmu selalu siang." Suara lembut nan manis mengalun indah di telingaku. Aku tersenyum, menikmati fatamorgana yang indah meski sesaat saja. Tetapi ketika kedua pipiku di usap lembut, barulah aku membuka mata dengan wajah Jimin memenuhi pandangan.

"Jimin? Kau Jiminku kan? Aku tidak bermimpi kan Jimin?" Wajah di depanku terkikik manis, lalu mengangguk pelan. Aku segera menghambur kedalam pelukan Jimin yang kurindukan. Jimin kembali terkikik gemas. Suara samar minyak penggorengan di dapur menyela pendengaran kami.

"Kau masak apa? Aku mencium bau telur goreng." Begitulah kira-kira. Aku mengendus udara sembari mengernyit, mencoba menunjukkan sisi manisku saat bangun tidur.

"Kau harus mandi dulu, baru keluar sarapan. Kau tahu, aku membawa Kim Taehyung. Tapi kau harus janji tidak boleh jatuh cinta padanya, oke?"

Oh, Kim Taehyung. Pemuda yang seminggu lalu memenuhi pikiranku sebelum di rampas paksa oleh Jeon Jungkook. Aku lantas mengangguk dan cepat-cepat ke kamar mandi. Seperti apa wajah pria bernama Kim Taehyung itu, ya? Apakah dia setampan Jungkook atau semanis Jimin? Tetapi penampilan bisa saja seratus delapan puluh derajat berbeda dengan sikapnya. Siapa tahu dia hanyalah salah satu pemuda gila seperti Jeon Jungkook si pelukis mesum itu.

Begitu selesai mengenakan kaus dan celana panjang serta rambut basah yang di biarkan begitu saja, aku melangkahkan kaki menuju dapur dengan jantung berdegup. Seperti seorang putri yang akan dijodohkan dengan pangeran tampan.

"Sudah selesai? Ra, kenalkan ini adalah Kim Taehyung. Temanku satu-satunya di kampus. Pemuda yang di kenalkan Jimin lantas membungkuk dan memperkenalkan dirinya sebagai Kim Taehyung.
Senyum nya manis, deretan gigi rapihnya seakan menyihirku untuk ikut tersenyum juga. Tetapi yang lebih aneh, pria ini memiliki aura misterius yang mampu membuatku terpaku.

Tak seperti Jimin, Ia tinggi menjulang, bukan hanya karena tubuhnya, tetapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu dalam dirinya yang bersifat menenangkan dan mengayomi tetapi juga sifat kekanakan yang kerap kali menganggu, tetapi dalam diri Taehyung, Ia menggemaskan.

Kami bertiga terduduk dalam diam sembari menyantap tamagoyaki masing-masing. Barulah sekitar lima menit kemudian, aku memberanikan diri bertanya pada si tamu tampan. "Kim Taehyung-ssi, apakah Seoul itu bagus?"

Taehyung nampak sejenak melirik dan menyikut Jimin yang diam saja. "Tidak juga. Aku kesini karena jenuh dengan suasana kota. Disini, semuanya terasa damai. Juga, siapa sangka ternyata ada gadis cantik di desa terpencil ini." Aku hampir menyemburkan telur saat Taehyung mengedipkan satu matanya. Pria genit. Namun entah bagaimana caranya, aku suka.

"Lalu, pulangnya kapan? " Keduanya nampak berpikir sebelum berkata, "dua minggu lagi" dengan serempak. Lalu keduanya beradu cerita selama di Seoul, kebanyakan cerita yang asing dan terdengar menyakitkan untuk kudengar sedang aku hanya menopang dagu sembari menikmati ketampanan dua orang di pagi hari.

Ketika keduanya sedang asyik, bel rumah memotong cerita, Jimin berdiri diiringi helaan nafas kecewa seolah orang yang mengetuk pintu telah berbuat dosa besar karena memotong dongeng berharganya. Kemudian aku teringat pada janjiku dengan Jungkook kemarin sebelum kami berbelok di jalan yang berbeda. Rencananya, kami akan kembali ke bukit bersama, seperti biasa. Itu ide bagus dan aku akan mengajak dua orang tampan ini ikut, aku akan menunjukkan pada Kim Taehyung betapa menakjubkannya hidup di desa meski pria itu lebih menggilai desa daripada aku.

Tetapi belum sempat aku memanggil Jungkook, pria itu mematung dengan ekspresi ketakutan dihadapan Jimin. Tubuhnya bergetar, bahkan belum sempat ku sentuh, Ia telah berbalik dan lari terbirit-birit seakan dikejar hantu.

"JEON JUNGKOOK!!! "


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

INSANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang