2

35 4 0
                                    

Tujuh belas tahun Jimin berlalu begitu cepat, tujuh belasnya yang tanpa ampun memberinya personalitas yang sama sekali tak pernah melintas di pikiranku. Jimin mandiri, tubuh tegapnya seakan dibebani rasa tanggung jawab yang banyak. Barangkali tanggung jawab itu sepatah dua patah berasal dariku. Jimin tak pernah membolehkanku bekerja, atau bahkan sekedar ke pasar membeli beberapa bahan pokok makanan. Semua kebutuhan dia yang mengurus meski Jimin kini telah memantapkan dirinya kuliah dan bekerja sambilan di Seoul.

Aku segera menjadi abu dengan tiba-tiba. Kehilangan Jimin seakan separuh jiwaku ikut pergi kesana. Seoul yang asing di telingaku, paling tidak, di Busan aku bisa menempatkannya di sudut kelas sambil menopang dagu memikirkan hal-hal sederhana. Tetapi Seoul begitu jauh, asing dan seakan tak terjamah oleh imajiku.

Meski begitu, tak bisa kubiarkan bahkan sepotongpun kecemasan mendiami kepalaku. Jimin tak ada. Itu berarti segala peraturan yang Jimin buat untukku lambat laun bisa kulanggar. Mulai dengan keluar rumah ke pantai, atau sekedar menyusuri bukit di seberang jalan Busan.

Seminggu kemudian aku mulai berani tak pulang ke rumah, aku melakukan hal gila seperti berburu babi hutan dan rusa liar sendirian. Aku merasa persis seperti manusia perkasa dalam komik-komik yang Jimin punya. Mungkin. Atau barangkali aku hanyalah orang gila yang terlintas dalam benak orang-orang desa. Mereka mulai menyebutku orang stress karena ditinggal kekasih nun jauh disana. Beberapa mengira bahwa aku ke bukit untuk melakukan aksi bunuh diri tetapi seminggu kemudian ketika orang-orang menggunjingkan-atau lebih mirip bersuka cita atas hilangnya diriku, dengan santainya turun gunung. Pakaian yang buruk, meski wajahku nampak berseri-seri. Hal yang perlu kusyukuri adalah orang-orang disini tak pernah ikut campur masalah keluarga lain, tak ada yang mau menghubungi Jimin. Aku, Jimin seolah bukan bagian dari warga. Hidupku, hidupmu, hidup mereka.

"Kau tidak apa? Kau jelek sekali." Salah seorang yang biasa kupanggil bibi Kim menghampiri. Tubuhnya kurus kering, posturnya membungkuk serta mata nya agak sayu. Satu-satunya orang yang terlihat ramah padaku. Mungkin karena di umurnya yang sebentar lagi menginjak angka lima puluh, Ia tak ingin menambah dosa tak berarti diantara dirinya dan warga sekitar. Ia mengulurkan tangan menggandengku pulang meski yang terlihat akulah yang menggandeng nenek tuanya pulang. Tetapi keakraban itu segera sirna ketika jalan bercabang tempat kami berdua tinggal berbeda. Langkahku tertuntun tergesa-gesa kembali kerumah seolah seseorang telah menantiku.

Seakan tak mau kalah dari naluri, aku mencoba memejamkan mataku. Dalam hitungan tiga langkah, akan ada seseorang yang berada diluar rumah, sedang menantiku. Satu. Dua. Tiga. Seseorang itu menjelma tampan, posturnya tegap dengan setelan hitam dan jeans biru.

Jimin? Bukan. Dia seseorang dari dunia lain yang jauh. Gerak geriknya menyiratkan tentang petualangan yang sama yang kurasakan tetapi Ia mengemban suatu tanggung jawab yang nyata. "Permisi Nona, apakah benar ini kediaman Lee Nara?"

"Saya Nara." Kemudian Ia menyerahkan seberkas kertas dengan sampul coklat di luarnya. Park Jimin. Tulisan itu tertera jelas di kolom pengirim, lalu tulisan Seoul yang segera menyita perhatianku.

"Saya Kim Namjoon. Senang bertemu dengan anda." Katanya lagi. Aku diam tak menggubris perkataan pemuda yang bisa kutebak usianya dua tahun lebih tua dariku. Mungkin.

"Anda tinggal sendirian? " Tanyanya lagi. Kami berdua saling menatap dari bawah hingga atas dengan curiga. Aku teringat perkataan Jimin untuk tak mempercayai satu orang pun apalagi orang asing. Meskipun Ia tampan.

"Tidak. Saya tinggal dengan kakak saya."

"Oh begitu." Pria itu mengangkat topinya lalu membungkuk pelan sebagai isyarat pergi.

Orang aneh. Setelahnya pergi, aku menutup pintu dan membuka isi surat dengan gerak gerik seorang ahli kitab yang sedang membaca dalil suci.

Seoul, 14 April 2014

Naraku, bagaimana kabarmu? Aku baik saja. Nilaiku tak begitu buruk. Pekerjaanku lancar tetapi Jangan membaca surat ini dengan senyum riang. Seoul tak sebagus yang kau pikirkan. Banyak hal yang terjadi secara tak terduga tetapi jangan khawatir, aku adalah pria. Dan sebagaimana pria lainnya, aku menjagamu dari mara bahaya. Maka, jangan pernah berpikir ke Seoul. Ia kejam seperti takdir yang menimpamu selama ini, aku tak hentinya meminta maaf karena orang tuaku tetapi aku tak bisa lebih melukai harga dirimu.

Naraku, kukira jarak tak berarti apa-apa tetapi kamu benar, Aku merindukanmu. Satu-satunya hal yang menyertaiku hanyalah doa baikmu. Melaluinya, Tuhan mengirimkan satu lagi malaikat kecil meski gendernya berbeda. Kim Taehyung. Kadar rasa penasarannya sama besarnya denganmu. Mata membulat, pipi mengembung, tiada hal yang lebih baik dari menatap kalian berdua. Aku akan menceritakannya padamu tetapi aku takut Taehyung yang wajahnya sama sekali tak kau kenal itu merebutmu dariku.

Tunggu aku. Aku akan pulang Juni nanti.

Yang tersayang,

Jimin.




INSANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang