Rama menutup pintu kamar dengan keras hingga menimbulkan suara dentuman yang cukup kencang. Membuat Arin kaget dan berjalan cepat ke kamar adiknya. Takut-takut terjadi sesuatu.
"Rama???"Panggil Arin.
Tidak ada sahutan dari dalam kamar, Arin kemudian memutar kenop pintu yang ternyata tidak dikunci.
"Kenapa kok pintunya dibanting?"Tanya Arin pelan. Mengerti bahwa adiknya berada dalam mood yang kurang baik.
"Gapapa Mba,"Jawab Rama. Lelaki itu menutupi wajahnya dengan buku sambil telentang diatas tempat tidur.
Arin mendekat, "Kenapa?"
"Nilai ulangan Rama turun,"Kata Rama akhirnya.
"Pelajaran apa?"
"Biologi minat, harian kemarin 93 sekarang jadi 87."
"Astaga, Ram. Itu masih dalam kategori gede, Mba pikir turunnya merosot banget,"Arin mendengus.
Rama menghela nafas berat, "Mba, aku sih ngga apa apa. Tapi Mama sama Papa itu loh."
"Nanti Mba yang bantuin kalo kamu dimarahin. Ngga apa-apa, Mba juga pernah kok dapet nilai kecil, sering malah,"Kata Arin mencoba menenangkan.
"Mbaaaa tapi se-nggak sukanya Mba sama biologi tuh Mba bisaaa,"Rengek Rama, seketika merasa insecure dengan pencapaian Kakaknya.
"Semua butuh proses, Rama."
Benar saja. Setelah sang Papa dan Mama pulang, Rama dihujani komentar akibat nilai ulangan hariannya yang turun.
"Ma, itu beda bab. Rama belum nguasain materi itu karna kemarin sempet bantuin adik kelas olimpiade,"Rama berusaha membela dirinya.
"Kenapa bukan kamu yang ikut olimpiade?"Tanya sang Papa.
Rama mendengus, "Pa please. Nggak semua lomba harus Rama yang ngewakilin."
"Kamu jago di semua mata pelajaran IPS tapi jangan bodoh di minat IPA dong, Rama. Biologi itu penting,"Lanjut Papa.
Rama diam. Tidak ingin membalas ultimatum yang keluar dari mulut Papanya.
"Besok-besok kuasain materinya, tanyain ke kakak-kakak kamu apa yang kamu nggak ngerti, jangan malu-maluin."
"Iya Pa, maaf."
Sementara itu dibelahan tengah kota yang lain, Haikal menjalankan laju motornya dengan kecepatan stabil.
"Lampu merah belok mana nih, Nad?"
Nadia menoleh melihat wajah Haikal dari kaca spion, "Belok kanan, lurus dikit nanti belok kanan lagi."
"Ooh, komplek permata? Itu mah rumahnya si Rama,"Kata Haikal.
"Oh iya?"
"Iyaa, masa sih gatau tetangga sendiri?"Tanya Haikal seraya membelokkan motornya kearah gerbang komplek.
"Sama aja konsepnya kayak lo seangkatan sama gue tapi gatau gue siapa,"Balas Nadia cukup sarkas.
Haikal terkekeh, "Iya bener juga ya."
"Makasih ya, Kal."
"Sama-sama, santai aja. Gua balik ye,"Pamit Haikal.
Nadia mengangguk sebelum berlalu masuk kedalam rumah.
Merasa belum ada niatan untuk pulang, Haikal membuka handphone dan mencari kontak Rama.
"Ram."
"Oi."
"Dimane?"
"Rumah. Lu pasti mau kesini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perspektif; Haikal & Rama
Fanfiction01.34 Dini hari. "Tangan sakit diobatin apa dibuntungin?" "Diobatin lah!" "Nah sama, Kal. Hubungan juga kalo ancur dibenerin, bukan ditinggalin."