Dulu, Papa orang biasa, setidaknya delapan tahun lalu begitu.
Papa punya bisnis pengelolaan produk hasil laut dan bisnis itu berkembang menjadi lebih besar dari yang pernah dibayangkannya. Ditambah dengan pemberitaan Papa mengenai bantuannya memajukan nelayan lokal membuat nama Papa sering disebut. Itu cerita yang selalu Papa ceritakan setiap kali aku memancing setiap liburan.
Bisnis itu berkembang menjadi besar dan Papa bertemu dengan Mama dalam sebuah pesta peresmian teman dekat Papa. Hingga delapan tahun lalu, Papa memutuskan untuk masuk ke dunia politik dan terjun ke Partai Gerami Indonesia, salah satu partai terbesar.
Dan, dalam sekejap hidupku sepenuhnya berubah. Papa, seperti yang dijagokan orang-orang memenangkan pemilu legislatif dan menjadi anggota DPRD Yogyakarta. Papa menjadi lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman perpolitiknya dan Mama menemukan pertemanan sosialita istri pejabat.
Kukira, Papa akan berhenti menjadi politikus seperti harapanku. Tetapi, Papa melesat bagai bintang. Ia menjadi anggota DPR hingga saat ini, dan itulah yang menjadi alasanku pindah dan menetap di kota ini.
Papa tampak bahagia menduduki tempatnya sekarang, menjadi anggota legislatif yang terhormat di Komisi X DPR, yang kalau menurut laman internet yang ku baca dan omongan Papa berarti ia mengurusi pendidikan, olahraga, dan sejarah.
Mereka tidak pernah menanyaiku atau adikku, Seta, apakah aku setuju atau tidak. Mungkin karena pendapat seorang anak memang tidak akan pernah di dengar oleh orang dewasa.
Kota ini awalnya terlihat abu-abu, tampak kotor, dan seperti nyaris tenggelem oleh tangan tak kasat mata. Untungnya, kota ini tidak seburuk yang aku pikirkan.
"Milo, dengarkan!" kata Papanya ketika mengajaknya memancing waktu aku masih kecil.
Papanya tinggi, dengan kumis tipis dan hari ini memakai kemeja polo, pakaian yang digunakan setiap kali memancing. Ia juga memakai bucket hat khas nelayan yang selalu menjadi ciri khasnya bahkan waktu kampanye. Papa percaya bahwa topi itu selalu membawa keberuntungan dan media pernah memberinya julukan dengan dramatis seperti 'Nelayan Masuk Senayan' atau 'Jagad, Anggota DPR Mantan Nelayan.'
Hanya karena Papanya punya bisnis pengelolan ikan beku, pernah tinggal di pinggir pantai, dan menghabiskan hidupnya dengan memancing bukan berarti ia nelayan. Sepanjang pengetahuannya, tidak ada nelayan di Indonesia yang memancing hanya untuk hobi di atas kapal yacht pribadinya.
"Semua yang Papa punya sekarang ini, suatu saat akan menjadi milik kamu," kata Papanya, waktu itu Seta belum lahir.
"Yang kamu lakukan hanya turuti perkataan Papa."
Aku dulu selalu beranggapan bahwa aku akan menuruti perkataan Papa, karena pertama, aku selalu yakin mereka selalu benar dan kedua, aku yakin mereka tahu apa yang terbaik untuk anak mereka.
Hanya saja, semakin aku dewasa dan semakin aku melihat banyak hal. Membutku menyadari bahwa hidup yang pantas adalah yang diperjuangkan dan selama aku berada di genggaman mereka, aku tidak pernah berjuang karena semua hal sudah ada di depanku. Yang ku perlukan hanya menunjuk dan voila, itu sudah terjadi semudah menyajikan hidangan makan malam.
Aku mengamati kamar adikku, Seta yang terlalu rapi untuk anak umur sepuluh tahun. Deretan lemari di dekat dinding itu penuh dengan deretan penghargaan yang tidak akan mampu aku dapatkan meski sambil menangis darah. Deretan penghargaan berupa debat bahasa inggris dan bahkan lomba catur anak. Seta adalah tipe anak yang akan dibutuhkan untuk menyombong saat kumpul keluarga besar.
Aku juga dulu punya penghargaan seperti itu. Penghargaan lomba musik, piagam itu berwarna perak, tampak berkilau di bawah cahaya lampu bagai sinar bulan dan sayangnya, penghargaan itu hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sore Yang Menjingga
أدب المراهقينDWILOGI Warna - Lanjutan Membiru - Milo menghilang. Berita itu mengejutkan Jingga lebih daripada apapun. Dari kepingan kenangan bersama Milo, Jingga melakukan pencarian Milo, dibantu bersama teman-temannya. Tetapi, semakin ia mencari. Semakin ia tak...