s a t u

28 14 2
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan serta tidak ada maksud menghina, merendahkan, atau menyudutkan suatu organisasi atau profesi tertentu.


Diranda Milo, namaku. Kadang aku tak mengerti bagaimana namaku terbentuk. Mungkin, saat sedang hamil Papa dan Mama berbelanja ke supermarket dan tanpa sengaja melirik merk minuman dan berujar, 'Hei, bagaimana kalau kita namai anak kita seperti itu'. Untungnya, mereka tak cukup tega menamaiku dengan merk lain seperti lays atau bahkan oreo. Aku saja sudah kehilangan hitungan berapa kali orang berujar, 'kayak nama minuman'.

Jadi, beginilah aku menyandang nama itu seumur hidup. Hidup dan sejauh ini baik-baik saja.

Aku menguap lebar, memasuki kelas beberapa menit sebelum bel. Pahlawan itu datang terlambat, dan begitulah diriku. Apakah kalian setuju kalau ku bilang, sekolah itu benar-benar membosankan dan mirip seperti penjara. Kau harus mematuhi peraturan, kau harus makan dan belajar sesuai jam yang mereka inginkan. Maksudku, bagaimana jika aku ingin makan jam 10, bukannya jam 12 siang. Oh, mereka juga membuat aturan poin, seolah-olah bangun jam 6 pagi dan duduk di bangku sekolah bukanlah hukuman.

Aku melirik bangku sebelahku, pemiliknya bernama Jingga, temanku yang selalu memakai aksesori warna hitam sudah ada dan duduk di sebelahnya. Jingga itu adiknya Biru, kalau kau penasaran, dan Biru itu adalah temannya Rana. Jangan tanya siapa Rana, aku sedang malas membahasnya dan hanya membuat hatinya ngilu.

Di bangku, paling ujung dekat jendela ada Anthony yang sedang berfoto. Bukankah tadi aku bilang kalau Anthony adalah selebgram? Meski, sebenarnya aku yang lebih tampan. Sedangkan Jeno, duduk di depannya begitu ia melihatnya datang. Jeno, bukan selebgram. Dia murid biasa, hanya saja lebih cerewet darinya tapi takut serangga daripada aku.

Dulu, aku selalu bersemangat ke sekolah tetapi setelah penolakan yang aku terima (ceritanya sangat panjang, percayalah), sekolah jadi tampak lebih suram. Tetapi, hari ini, semuanya terasa normal. Dan, begitulah kehidupannya.

Sampai Jingga berbicara kepadanya. Jingga itu perempuan berambut panjang, dan lumayan manis (maksudku satu-satunya orang yang tak mengataiku bodoh seperti temanku yang lain). "PR lo udah?"

Aku bersumpah mampu mendengar petir menggelegar di otakku. "Ha?

Jingga merenggut, "Matematika," katanya seolah itu menjelaskan segalanya.

Tunggu! Aku tak ingat membawa buku matematika. "Hari ini hari rabu, kan?

Jingga menghela. tangannya bertumpu pada meja seraya menatapnya. "Ini Selasa, dan ada tugas matematika."

"Mati gue," seruku. "Gue belum ngerjain."

Begitu aku selesai bicara, bel berbunyi dan Pak Galuh, guru Matematikanya masuk ke kelas. Mata guru itu menyapu seluruh kelas dengan tajam dan rasanya berhenti padaku. Aku meneguk ludahnya dan sepuluh menit kemudian aku ditendang keluar kelas.

Hari yang indah, kan?

Aku memilih duduk di depan kelasnya, beruntungnya aku masih mengantongi ponsel di kantong celananya. Aku menengok ke sekeliling, begitu menyadari bahwa tidak ada orang disekelilingnya aku membuka ponselnya.

Jemarinya mengulir membuka pesan dari seseorang. Seperti hari sebelum-sebelumnya pesan darinya belum dibaca dan ini sudah berlangsung nyaris tujuh bulan. Nyaris tujuh bulan tanpa kabar, dan setiap malam aku nyaris gila berpikir apakah orang itu baik-baik saja disana.

Lupakan, Milo. Berani taruhan dia pasti sedang menikmati matcha dengan seseorang disana.

Aku mengembalikan ponselnya ke kantongnya dan memejamkan mata, memilih tidur di lorong sekolah.

Sore Yang MenjinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang