Elang menatap wanita yang kini tengah terbaring di atas brankar. Ia sedikit merasa bersalah karena membuat wanita tersebut kesakitan. Catat! Hanya sedikit! Ia tidak sepenuhnya bersalah di sini. Ini semua tidak akan terjadi jika wanita tersebut tidak mendekati area bahaya itu.
Kondisi Elang tidak terlalu baik. Ia mengalami memar di bagian wajah, dengan luka jahit di lengannya. Hajatan yang ia dan anak Warior lakukan ternyata sangat membantu. Begitu juga dengan semua tiga ilmu bela diri yang ia kuasi. Namun bukan berati ia bisa seenaknya menghabisi mereka. Ia akan tetap menyamakan kemampuannya dengan sang lawan agar tidak timbul kebencian baru nantinya.
Kedua mata gadis tersebut mulai terbuka sembari sedikit meringis.
"Lo nggak pa-pa? A-ada yang sakit? " tanya Elang sedikit khawatir.
Gadis itu menatap Elang yang kini duduk di kursi sebelah brankarnya. "Cuma sedikit. Tapi nggak pa-pa. Thanks ya," ucapnya diiringi senyuman manisnya.
Elang menghembuskan nafasnya lega. "Alhamdulillah kalau gitu. Kata dokter, lo nggak perlu dirawat inap. Lo bisa pulang kalau udah merasa baikkan."
Perempuan tersebut mengangguk dengan senyuman yang sama sekali tidak luntur dari bibirnya. "Iya. Tapi itu wajah lo...."
"Gue nggak pa-pa."
"Nggak pa-pa gimana? Pasti lo lebih ngerasa sakit dari pada gue. Udah diobatin sama dokter belum? Kalau belum biar gue yang obatin," timpal gadis itu merasa khawatir.
"Udah kok, jangan khawatir. Lo istirahat aja. Untuk sekarang pikirin diri lo sendiri dulu. Biar nanti lo cepet sembuh," ungkap Elang.
Gadis tersebut menghela nafasnya pasrah. "Oke."
Ruangan kembali hening. Mereka berdua tidak tahu harus melakukan apa. Pintu di sana juga sudah Elang buka lebar-lebar agar tidak menimbulkan fitnah nantinya.
"Lo kenapa?" tanya Elang bingung saat melihat gadis tersebut tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ha? E-enggak kok. G-gue nggak pa-pa," jawab gadis berambut hitam itu.
Kok gue jadi aneh gini sih, batinnya.
Elang mengangguk lalu berdiri dari tempat duduknya. "Gue udah bayar administrasinya. Jadi nanti lo bisa langsung pulang. Jangan jadi cewek gila lagi. Udah tau bahaya, masih aja nekat dilewatin."
Gadis tersebut terkekeh. "Iya, iya, lo tenang aja. Gue nggak akan nekat kayak gitu lagi."
"Bagus deh kalau gitu. Yaudah, gue duluan. Assalamualaikum," salam Elang mengakhiri percakapan mereka.
"Waalaikumsalam." Perempuan tersebut menatap Elang yang mulai berjalan menuju pintu keluar.
"Tunggu!"
Elang menghentikan langkahnya seraya menoleh ke arah si pemanggil. "Apa?"
"Nama gue Calya. Lo?"
"Elang."
Calya ber oh ria. "Yaudah, l-lo boleh pergi," katanya sedikit gugup.
Elang mengangguk. "Oke." Barulah saat itu Elang meninggalkan ruangan tersebut.
Mata gadis itu terus memandang pintu tempat Elang tadi berpijak, lalu sebuah senyuman pun terukir di bibirnya.
Semoga kita bertemu lagi, batinnya.
****
"Elang kenapa belum pulang? Elang kemana? Lilin takut," monolog Lilin dengan raut wajah ketakutan.
Saat ini dirinya sedang berada di apartemen sendiri. Apartemen yang sudah mereka tempati setelah menikah satu bulan yang lalu.
Kesunyian seperti ini membuat Lilin takut. Apalagi sudah pukul 21.00 malam yang disertai turunnya hujan. Lampu di setiap ruangan tidak ada yang menyala, termasuk kamar yang Lilin tempati saat ini.
"Kenapa Elang ninggalin Lilin sendiri waktu tidur?" Ia berada di bawah ranjang sembari memeluk lututnya, belum lagi perutnya yang terasa lapar.
Ingin memasak pun ia tidak bisa. Jangankan memasak, beranjak untuk menyalakan saklar di dekat pintu saja tidak berani.
Lilin memang tidak pernah ditinggal seperti ini sebelumnya. Maka kebiasaan seperti itu pun terbawa sampai sekarang. Dan untuk merubahnya tentu saja tidak mudah.
Jgeerr!
"AYAM!" Lilin terlonjak dari tempatnya saat mendengar suara petir yang sangat besar.
"Hiks ... Astagfirullah. Elang ke mana? Hiks ... kenapa tinggalin Lilin sendiri. Kenapa hiks ... nggak bilang-bilang dulu kalau mau keluar."
Ceklek!
Suara pintu terbuka dengan lampu yang menyala membuat Lilin semakin menangis di tempatnya. Kepalanya juga semakin ia sembunyikan di antara kedua lututnya. Pikiran yang tidak-tidak mulai menghinggapi kepala mungil Lilin.
"Lin, lo kenapa?" tanya seseorang yang baru saja datang, siapa lagi jika bukan Elang.
Lilin yang mendengar itu langsung berdiri dan melihat Elang yang kini sudah ada di sebelahnya.
"Elang kenapa ninggalin Lilin sendiri? Kenapa nggak bilang kalau mau pergi? Lilin takut," lirihnya dengan sesenggukan.
Elang menghembuskan nafasnya lelah. Baru saja pulang sudah disuguhi pemandangan seperti ini. Belum lagi badannya yang terasa sakit.
"Udahlah Lin, nggak usah sampai segitunya. Gue capek, baru pulang. Pengen makan, tapi nggak ada makanan. Belum lagi gue yang nemuin lo dalam keadaan kayak gini. Pusing tau nggak," papar Elang.
"T-tapi 'kan Lilin takut. Lilin juga laper kayak Elang, tapi nggak ada makanan," cakapnya seraya menunduk.
"Ya mangkannya masak Lin. Bahan makanan udah ada di kulkas. Masa tinggal masak aja nggak bisa sih! Heran gue."
Lilin menatap Elang. "Elang 'kan tau kalau Lilin nggak bisa masak. Elang juga tau kalau Lilin itu penakut. Terus kenapa Elang masih ngomong gitu? Kenapa semenjak kita nikah Elang makin berubah? Terus kenapa Elang nikahin Lilin kalau ujung-ujungnya kayak gini?" tanyanya.
Dia merasa Elang sedikit berubah saat mereka telah menikah. Padahal Elang sendiri yang meminta untuk menikahinya.
Elang mengacak rambutnya kasar. "Gue nikahin lo karena gue pengen ngerubah diri lo yang cengeng dan manja ini. Lama-lama gue kesel Lin. Apa lo nggak kasian sama umi abi yang dari dulu ngurus lo kayak gini? Lo itu udah gede!" bentaknya yang mampu membuat hati Lilin terasa sakit.
Gadis yang tidak lagi memakai jilbab itu terus menunduk. Antara takut dan sakit hati. "O-oh gitu ya."
Lilin mencoba untuk menengadahkan kepalanya menghadap Elang yang kini juga menatapnya. "Maaf ya, maaf Lilin belum bisa jadi istri yang baik buat Elang. Maaf udah buat Elang kesel sama sikap Lilin. Maafin Lilin yang masih kayak anak kecil."
Elang yang mendengar itu hanya diam. Lalu tidak lama kemudian ia merasa ada seseorang yang menubruk tubuhnya.
Orang yang memeluknya itu adalah Lilin. Tubuh Lilin begitu dingin. Lilin benar-benar merasa ketakutan, Elang bisa melihat itu dari mata bulatnya. Tapi apakah salah jika dirinya ingin merubah Lilin menjadi wanita pemberani, agar tidak mudah tertindas?
Cowok itu memeluk Lilin balik dengan lebih erat, ia mencoba untuk menyalurkan kehangatan agar istrinya itu tidak lagi merasa kedinginan.
"Iya, gue maafin. Udah ya ... jangan nangis lagi. Gue nggak suka liatnya."
Tapi 'kan Elang yang buat Lilin nangis. Sikap Elang yang berubah-ubah juga bikin Lilin jadi bingung, batin gadis tersebut sedih.
Karena tidak ingin memperpanjang, akhirnya Lilin mengangguk dengan dirinya yang berada di pelukan Elang.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasael [Completed]
Fiksi RemajaElang Affandra, cowok badboy tampan yang memutuskan menikah di usia muda. Bukan karena sebuah kesalahan, melainkan sebuah keinginan. Keinginan dengan setitik alasan yang tersimpan rapat di hatinya. Raline Fawnia, gadis polos yang selalu mengenakan...