Thursday/ January 21st, 2021
By : SandiOh tuhan. Apa yang selama ini sudah aku lakukan. Dosa – dosa dari masa lalu selalu menghantuiku, seakan mengejarku kemanapun aku pergi. Dalam teriknya matahari aku takut, takut akan terbakar oleh panasnya sang bintang. Dalam gelapnya malam aku risih, risih terhadap angin yang seperti ingin mencekik leherku yang tidak pantas menempel pada tubuhku ini. Apa yang harus aku lakukan. Aku ingin sekali saja merasakan hangatnya selimut yang memelukku pada malam hari atau sejuknya berteduh pada pohon oak yang dengan gagah membentangkan daunnya yang mewah. Aku takut. Takut akan dosa yang sudah aku lakukan. Ya Tuhan maafkan aku.
Aku bukanlah aku yang dulu. Pada masa lalu aku adalah penguasa yang ditakuti. Jika aku mengatakan “Diam!”, maka hendaklah mereka yang mendengarkan melakukan apa yang aku perintahkan. Jika aku berkata “Kamu akan menyesali perbuatanmu”, dihari berikutnya dia yang mendengarkan tidak akan terlihat lagi batang hidungnya dihadapanku. Minuman keras bagaikan air putih bagiku yang setiap hari aku konsumsi, setiap wanita yang aku sukai tidak akan menolak permintaanku, jalanan sudah seperti rumah kedua bagiku dan kehormatan adalah sesuatu yang selama ini aku dapatkan. Tidak ada yang berani melawanku, termasuk guru – guru di sekolahku. Mereka ketakutan akan kebiadabanku dan tidak berani mendekatiku.
Selama masa itu, aku sama sekali tidak menyadari perbuatan yang aku lakukan adalah perbuatan yang berdosa. Perbuatan yang dibenci oleh Tuhan. Perbuatan yang tidak pantas untuk dilakukan.
Aku sangat mengingat perkelahian pertamaku, saat itu aku masih berumur 10 tahun. Dengan alasan kecil yaitu dia yang mendengarkan tidak memberikan uang sebesar 500 rupiah kepadaku. Aku layangkan pukulan tangan kananku tepat dikepalanya sampai dia memberikan apa yang aku inginkan. Akibat kejadian itu, aku dihukum oleh kedua orang tuaku yakni cambukan lidi ke arah pundakku. Hukuman itu tidaklah membuatku jera, dihari selanjutnya aku masih meminta uang dengan paksa kepada mereka takut kepadaku.
Minuman keras pertamaku yang aku konsumsi adalah ketika aku berumur 15 tahun. Niat mencoba sekali saja malah membuatku ketagihan bukan main. Setiap pulang sekolah aku pergi ke warung yang sudah menjadi langgananku. Membeli 1 botol setiap hari dan meminumnya di dalam kamarku. Orang tuaku pernah mendapatikumabuk di dalam kamar dan aku mendapatkan pukulan yang keras oleh ayahku. Beliau meneriakiku dengan kata – kata “Anak setan!”. Perkataannya hanya angin bagiku karna kondisiku yang sangatlah mabuk sehingga ucapannya tidakku dengar.
Dalam keadaan mabuk, seakan – akan dunia ini bukanlah apa – apa. Kamu akan berani melakukan apapun dan tidak takut akan konsekuensi yang akan diterima. Kabar aku adalah seorang pemabuk menyebar kemana – mana dan sampai ketelinga pacarku saat itu. Dia menceramahiku dengan kalimat – kalimat yang sama sekali tidak aku mengerti karna kondisiku yang parah saat itu. Seakan aku lelah diceramahi, amarahku naik dengan mudahnya. Membuat aku melakukan kekerasan fisik terhadapnya, membuat dia menangis dengan kencangnya. Sekali lagi, aku tidak mendengarkan suara apapun yang dikeluarkan dari mulutnya. Kejadiannya begitu cepat, secara tidak sadar aku sudah terbangun dengan keadaan sakit di kepalaku dan dia yang berada di sisiku. Aku telah memaksa dia yang lemah untuk menuruti kemauanku. Sebulan kemudian dia datang kepadaku, memintaku untuk bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan terhadapnya. Aku bertanya “Apa yang sudah aku lakukan?”. Dia menangis dan terus menangis dan kemudian berkata “Aku mengandung anakmu”. Kalimat yang diucapkannya membuat aku berhenti meminum minuman yang aku genggam ditanganku. Aku tertegun, aku tidak ingin bayi itu. Dan akhirnya aku berkata “Aku ingin kamu menggugurkan kandunganmu itu”. Seperti tamparan keras, dia lalu meninggikan suara tangisannya yang membuatku pusing bukan main. “Sudah. Diam!” aku berkata “Aku juga tidak percaya bahwa itu adalah anakku dan meskipun itu adalah anakku, aku tidak menginginkannya” aku mengakhiri kata – kataku dengan meneguk minuman yang ada di tangan kananku.
Setelah perkataanku itu, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Ada yang bilang dia pindah rumah bersama orang tuanya ke kota lain, aku tidak mengetahui kemana dia pergi. Hingga 2 bulan kemudian aku baru tau bahwa dia sudah meninggal, meninggal akibat bunuh diri. Menggunakan tali, dia mengantungkan lehernya kepada tali itu. Tidak bisa bernafas, cairan – cairan pada tubuhnya keluar seketika dengan mata yang melotot dan lidah yang menjulur keluar seperti anjing. Dia meninggal pada saat itu juga, pada tempat itu juga. Kabar bunuh diri itu tidak mengubah hidupku. Dan lagi, kabar itu hanyalah seperti angin bagiku.
Satu tahun setelah aku lulus sekolah, kebiadabanku mulai menjadi. Ayahku sudah tidak tahan lagi dengan sikapku yang membangkang. Tetapi Bundaku, memohon dan terus memohon kepada Ayahku untuk tidak mengusirku dari rumah. Ayah berkata “Jika kamu terus membela dia, aku tidak segan – segan mengusirmu juga!”. Bunda hanya bisa bisa menangis terseduh – seduh membuatku tidak tau harus berkata apa. Tiba – tiba Bunda bilang “Jika memang aku bisa tetap bersama dengan anakku, aku rela keluar dari rumah ini”. Aku tertegun tidak tau harus bagaimana. “Keluar kalian dari rumahku. Anak dan ibu tidak berguna!” teriak Ayah dengan menendang Bunda yang berada di bawah kakinya. Mungkin karena instingku, amarahku keluar. Meledak – ledak bukan main, pukulan demi pukulan aku layangkan kepada Ayahku yang sudah tua itu. Tidak mampu membela diri, aku terus mengamuk. Seakan – akan aku melampiaskan semua beban hidupku pada saat itu juga kepadanya. Setiap pukulan yang aku layangkan adalah pukulan yang sekeras – kerasnya aku hantamkan. Tidak bisa berhenti, aku tidak mau berhenti. Bunda akhirnya menghentikanku, dengan menarik pakaianku dan berkata “Sudah! Ayahmu sudah tidak bisa bergerak lagi”. Setelah sekian banyak pukulan aku layangkan ke kepalanya, aku langsung tersadar. Tersadar bahwa beliau sudah tidak bergerak. Amarah yang sudah aku luapkan tadi berubah menjadi penyesalan, Bunda menangis di belakangku dan memegang tangan kananku yang berlumuran darah. “Sudah. Biar Bunda yang bertanggung jawab” beliau berkata dengan dihiasi tangisan “Ini sudah menjadi tugas Bunda sebagai orang tua. Bertanggung jawab atas perbuatan anaknya”. Aku terdiam. Kesadaran bahwa aku telah membunuh Ayahku sendiri merasuk kedalam tubuhku, merayap kesetiap tulangku. Mataku berubah merah, dibanjiri air mata. “Bunda. Apa yang sudah aku lakukan” aku berkata dengan menutup mulutku dengan tangan kananku yang berdarah untuk menahan tangis. “Kamu harus lari nak. Kamu harus lari sekarang juga” Bunda menyentuh pipi kananku dengan tangannya “Bunda selalu sayang kepadamu, bagaimanapun kelakuanmu” perkataan beliau membuatku tidak bisa menahan air mata dan akhirnya membuatku menangis di depan beliau. Beliau memelukku saat itu juga, rasanya pelukan beliau itu sangat nyaman dan aku tidak ingin pergi dari beliau.
Pelukan itu adalah pelukan terakhir yang beliau berikan. Setelah itu aku tidak pernah melihat beliau lagi. Aku ingin tau bagaimana kabar beliau saat ini, aku ingin meminta maaf sebesar – besarnya atas apa yang aku lakukan selama ini. Apakah beliau akan memaafkanku atau tidak, aku ingin mengetahuinya.
Sekarang aku adalah buronan yang terus dicari – cari oleh mereka yang berkuasa lebih dariku. Rasanya seperti sekarang aku yang ditakut – takuti oleh mereka yang mendengarkan dan aku tidak tau sampai kapan aku harus berlari. Ya Tuhan maafkan aku. Atas dosa – dosaku yang aku lakukan selama ini.