Harapan Orang Pinggiran

28 3 2
                                    

Saturday/ March 31, 2012

 Aku terbangun karena suara bising yang terdengar dari sekitar rumah kardusku, seperti biasa para pemulung berloma-lomba bangun sepagi mungkin hanya untuk mencari secercah harapan, mempertahankan kehidupan dengan mencari sesuap nasi. Begitu juga ibu dan bapakku, aku yakin sekarang mereka tengah menyusuri trotoar atau gerbong-gerbong kereta api untuk mencari barang-barang bekas.

Sering terlintas rasa kasihan dibenakku membayangkan kaki-kaki tua mereka harus berkeliling disekitar tempat kumuh itu tanpa memperdulikan rasa dingin. Tapi apa dayaku? Pernah suatu kali aku menyatakan keinginanku untuk berhenti sekolah dan membantu mereka saja, tapi mereka malah marah-marah dan menganggapku tak menghargai perjuangan mereka, kalau sudah begitu, aku menyerah.

Krekkk. . .pintu gubukku terbuka.

“Liya . .kok belum siap-siap ke sekolah ?” ibu bertanya dengan suara serak dan lemah.

“Iya bu sebentar lagi, eh ibu kok dirumah?’’

“Iya nak.. ibu sedang tidak enak badan, kecapean mungkin.”

“Kan sudah Liya bilang biar bapak saja yang berkerja dan perbolehkan Liya membantu, tapi. . .”

“Sudahlah nak! Jangan dibahas lagi, Uhuk uhuk ! Lebih baik kamu mandi sekarang !” ibu bergegas meninggalkanku.

Dalam do’aku slalu menyebut nama mereka, berharap pengorbanan mereka untukku tidak sia-sia dan Tuhan membalas kebaikan mereka sekecil apapun itu. Karena aku tahu mereka sering memberikan makanan kepada anak-anak yang tidak mampu dari kampung seberang, padahal aku tahu dengan jelas, perut merekapun belum tersentuh makanan. Tapi mereka lebih tak tega melihat anak-anak yang terlantar , aku tahu mereka begitu mulia. Saat ini ekonomi kami sedang sangat sulit, entah apa yang harus aku ataupun keluargaku lakukan untuk dapat membayar bulanan yang semakin menumpuk.

Jarak rumahku kesekolah tidak terlalu jauh, hanya saja aku harus jalan sedikit lebih cepat untuk melewati gang-gang kotor di perumahan kumuhku kalau tidak mau bau busuk sampah disekitar perumahan kumuhku menempel diseragamku.

Tak seperti biasanya semua teman-teman sekelasku berkerubung menjadi satu, aku kira mereka hanya menggosipkan para artis yang sedang naik daun. Tapi aku mendengar namaku disebut-sebut.

“Memangnya benar begitu kejadiannya Rein?” tanya Bintang memastikan.

“Iya, aku melihat sendiri warga kampung mengusir bapaknya si Liya karena ketahuan mencuri, aku saja awalnya tak percaya.” Kisah Reina

“Aku sih percaya saja, lah wong setengah bulan ini dia belum bayar uang bulanan, pastilah uang curiannya nanti untuk melunasinya.” komentar Auza.

“Apa kamu bilang!” teriakku.

“Li.. li-ya!" Ucap mereka tersekat sambil menatapku horor.

Aku tak percaya dengan apa yang telah kudengar, sekuat tenaga aku berlari pulang. Teman-temanku hanya menatap nanar, mungkin kasihan atau malah jijik.

Kubuka pintu dengan kasar, kulihat ibu dan bapakku berdiam diri dipojok ruangan. Kukeluarkan buku-buku di tasku lalu kukemasi baju-bajuku, aku sangat kecewa, marah dan menyesali takdirku.

“Aliya ada apa denganmu? Kenapa kamu pulang?” bapakku terlihat gusar.

“Untuk apa aku sekolah pak, bu? Untuk apa? Kalau nantinya aku bakal dididik jadi pencuri?“ sesak kukeluarkan semua yang mendera di dada.

“Apa maksud kamu Liya?” Ibu ikut berteriak gusar.

“Aku sudah tahu semuanya bu, aku malu punya bapak pencuri ! Aku sudah sangat sabar dan tidak malu bahkan tidak pernah memperdulikan ejekan teman-temanku karena bapak berkerja sebagai pemulung! tapi kali ini.. " Lidahku kelu tidak sanggup meneruskan ucapanku.

Butiran air mata mengalir. Aku langsung pergi tanpa basa-basi lagi, aku tak ingin lagi tinggal dengan mereka. Bapak terus mengejar, diikuti Ibu yang tertatih karena memang belum sehat benar. Kemudian sampai dijalan raya, karena tergesa-gesa bapak tidak lagi melihat kanan kiri.
Dan,

Brakkk!

“Bapak!" Ibu dan aku berteriak cemas.

Sehari setelah kejadian itu bapak divonis cacat seumur hidup, suatu hal yang tak pernah aku perkirakan, aku sangat menyesal karena semua ini aku yang menyebabkan.

Aku yang begitu ceroboh tidak mau mendengarkan penjelasan kedua orang tuaku. Padahal tentang pencurian itu sama sekali tidak benar, teman bapakku lah yang mencuri, karena terdesak ia kemudian mengkambing hitamkan bapakku. Untung saja orang yang menabrak bapak berjanji akan bertanggung jawab bahkan orang itu juga berjanji akan memberi modal agar kami dapat membuka usaha.

Aku senang sekali, harapan itu ada dan terus muncul, aku percaya inilah balasan bagi orang baik. Tapi harapan hanyalah tinggal harapan, sering aku, bapak atau pun ibu menunggu kedatangan orang itu didepan pintu, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan selamanya mungkin tak akan pernah datang. Sial!

-Ern-

Short storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang