Sumpah Yang Hilang

28 1 0
                                    

Cerpen abal - abal ini mendapatkan juara 1 dalam acara bulan bahasa yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Seni Universitas Jambi.

Friday/ October 31, 2014.

🇮🇩🇮🇩🇮🇩

"Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia."

Lamat - lamat masih terngiang kalimat yang selalu Hanta dan teman - temannya teriakkan kala itu, dimedan pertempuran. Sepenggal kalimat yang terasa bagai hantaman maha hebat dikepalanya. Keluh nan berpeluh, rintih karena perih, jerit begitu pahit. Meski mata tertutup rapat, tetap tampak jualah dengan jelas bayang - bayang kebersamaan dan perjuangannya yang dahulu itu dihadapan matanya. Kesadarannya telah hilang namun telinga tetap mendengar, mulutpun tiada henti mengigau melontarkan kata penyesalan yang berujung sumpah serapah. Dian (baca : lampu minyak) disudut ruangan pun nyala-redup mengikuti semilir angin yang seakan ikut menghakimi Hanta. Hanta mengejang, badannya sedingin es. Disisinya, sang Ibu tak kuasa menahan tangis pilu sembilu menyaksikan betapa anaknya tersiksa.

"Hanta, sadar nak, sadar! Uhuk uhuk uhuk!" Terbatuk - batuk Ibunya hingga tak sadarkan diri pula.

Ramai digubuk reot itu para tetangga nan sanak saudara, beberapanya lalu membopong Ibu Hanta. Sebahagian besar mereka pun tak ada banyak berbuat apa - apa, hanya menonton seolah didepan mereka terpampang sebuah pertunjukan menarik.

🇮🇩🇮🇩🇮🇩

"Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia."

"Arrrggghhhttt!" Hanta kembali menjerit, meraung. Lagi - lagi didengarnya kalimat itu, bahkan kali ini semakin jelas. Berdenging - berdengung membuat telinganya seolah terkoyak. Kini ia kembali menjelajahi alam bawah sadarnya, disana ia temukan kembali masa lalunya. Diperlihatkan kepadanya bagaimana saat itu darah tertumpah demi tanah airnya demi bangsanya, namun berakhir porak - poranda tanpa sisa oleh karena harapan sia - sia. Desahan panjang terdengar darinya. Kemudian diam, dan hening.

Masih didalam ingatannya, teringat pula bagaimana dengan gagah berani ia menyerbu lawan sebagai yang memimpin dalam pertempuran untuk membela bangsanya. Ia senang akan sekelebat ingatan itu. Ia tersenyum, tidak lama. Karena setelahnya ia menangis sesenggukan begitu muncul dalam ingatannya akan adiknya. Adik perempuan satu - satunya yang ia jual kepada londo hanya demi kemewahan harta yang fana, kebanggaan tahta fatamorgana. Terbayang jelas dihadapannya bagaimana dengan kasar ia menyeret Hartini sang adik untuk diserahkan kepada seorang londo tua biadab dan bengis. Sesalnya begitu sesal begitu ia lihat bagaimana Hartini ditampar didepan matanya hingga berbekas. Namun urung ia menelan ludahnya sendiri. Kini disela ketidakberdayaannya ia bergumam "Bagaimana pula seorang manusia bertindak seolah ia lebih binatang daripada binatang? Aku memang jalang sialan!"

Kini lain pula yang di lihatnya, teman - teman sepermainannya. Teman ceburan disungai semasa kecil dahulu. Teman kecil yang kemudian menjadi teman seperjuangan juga. Namun, pada akhirnya mereka semua ia khianati. Semuanya ia tipu.

Tak seberapa lamanya datang kembali suara itu, dan kali ini bukan hanya jelas tapi memanglah tepat di gendang telinganya berdentum - dentum sehingga seakan saat itu malaikat izrail lah yang menyerukannya sambil berdiri tepat dihadapannya sembari menyeringai, mengutuk, menyayat kalbunya.


🇮🇩🇮🇩🇮🇩
"Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Dan kali ini Hanta merasa sudah tidak lagi sanggup bertahan namun lagi - lagi urat nadinya belum terputus, nafasnya masih terus berhembus. Dalam suara itu terngiang nasihat dari sang ibu di masa mudanya "Jangan pernah engkau mencoba melupakan bahasamu sendiri nak, bahasa Indonesia. Meski kelak engkau berada di negeri orang." Petuah wajib yang selama 20 tahun lamanya telah ia terapkan dalam kehidupannya yang melanglang buana itu nyatanya hancur lebur oleh ketamakan duniawi.

"Hebatnya engkau ini sungguh pemuda yang sangat pemberani."

"Kami bangga kepada engkau."

"Sungguh engkau memang berjiwa kesatria."

Deretan puja puji dari keluarga, teman, tetangga yang terlontar sungguh manis untuk Hanta kala itu. Namun sekarang apa? Apa jadinya jika nafsu sudah menguasai segala?

Tiba - tiba Hanta tersentak, terduduk ia dengan mata tertutup dan berlinangan air mata juga berbanjir peluh. Lalu meracau lah ia, membuat semua orang terkejut lalu termangu berada pada pikir masing - masing. Kira kira darimana ia kembali mendapat kekuatan itu?

Ia berbicara, dengan gamblang dan jelas.
"Aku telah membela negeriku selama bertahun - tahun, aku tidaklah berkhianat! Ahh tidak, tidak. Aku berkhianat. Iya, aku iya. Aku ini pecundang, bodoh, aku lah disini yang berdosa!" Keluar dari mulutnya kembali bahasa kelahirannya, bahasa Indonesia setelah bertahun ia lupakan, ia tinggalkan dengan angkuhnya.

Diam sejenak, dimulainya kembali perkataannya setelah satu tarikan nafas panjang.

"Aku menjual negeri ku, tanah airku. Aku sunggu serakah akan kemewahan. Aku jatuh terlalu dalam ke lembah yang menyesatkan! Aku menyesal, tolong ampuni aku." Ia menegang.

Bapak Hanta menepis jarak yang ada, memegang pelan bahunya dengan tangan keriputnya yang gemetar. Dengan itu, Ia kembali bersuara.

"Bahkan aku melupakan bahasaku, bahasa orang tuaku, bahasa kelahiranku. Aku menjual adik manisku, menjadikan kedua orang tuaku budak. Semua aku lakukan hanya demi diriku sendiri. Harta dan tahta dunia benar - benar telah membutakan hati dan pikiranku!"

Hanta kembali terdiam, sesaat.

"Tetapi, apakah kalian semua tidak ingat bagaimana perjuanganku untuk negeri ini? Bangsa ini? Aku pernah memerdekakan kehidupan kecil kalian, ingat!?" Sentaknya.

Semua orang yang melihat dan mendengarnya tercengang, masih dalam pikiran mereka masing - masing. Suasana kembali hening. Hanta kembali terbaring. Tiada tanda - tanda ia akan kembali berbicara, bahkan jika bukan karena dadanya yang naik turun mungkin pikir mereka ia telah tiada.

Waktu terus bergulir seiring melemahnya hembusan nafas Hanta. Semua terdiam, menunggu. Entah menunggu kematian Hanta atau malah kematian menjemput mereka lebih dulu. Karena diluar sana jelas terdengar semakin dekat suara senjata berdesing - desing, helikopter bergemuruh. Iya, benar. Manusia - manusia bengis berkulit putih dan berambut pirang itu telah melancarkan serangan sampai ke desa terpencil di negeri Hanta. Bukan tanpa bantuan, Hanta. Ya, Hanta lah penyebab semua ini.

Ditengah kemelut itu, tiba - tiba mulut Hanta terbuka. Semua mendekat dan memasang telinga.

"Aaa.. aku, hanya pe.. perlu ma ma.. maaf ka ka.. li.. an."

"Duarrrrrrrrrr !!!"

Bunyi ledakan yang begitu dahsyatnya itu langsung meluluhlantakkan semua yang tersisa tanpa ampun bersama gubuk reot itu, beserta kenangannya. Lalu bagaimana dengan Hanta? Ia harus rela pergi dengan membawa waktu yang telah ia sia - siakan. Dan bagaimana dengan yang lain? Setidaknya mereka masih masih menyimpan harapan diantara puing - puing yang tersisa. Harapan agar semoga ada benih yang tersisa sehingga sumpah yang dulu diteriakkan Hanta dan teman - temannya dapat kembali terdengar diseluruh penjuru negeri. Harapan yang hanya harapan, semoga kelak menjadi kenyataan.

-Ern-

Short storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang