Jenna mengendap -endap memasuki rumah megah bergaya eropa kuno yang bagi orang lain terlihat mewah, tapi tidak baginya. Rumah itu terasa sangat terlalu....luas. Dan saat ini rumah itu bahkan terasa lebih "terlalu luas" ketika Ia harus terus mengendap-endap menyeberangi taman yang terbentang dari pintu gerbang sampai ke depan pintu rumah. Sial!!! Maki gadis itu ketika mendengar suara langkah seseorang , seraya buru-buru merunduk bersembunyi di balik salah satu tanaman yang dibentuk artistik , diantara banyak tanaman berbentuk artistik yang tersebar dengan penataan spektakuler. Tidak heran mengingat setiap tahunnya si pemilik rumah harus merogoh puluhan juta untuk menjaga kespektakulerannya. Pemborosan!! Masih berjingkat dan mengendap-endap Jenna menuju ke arah samping bangunan rumah itu. Tepatnya di dinding di dibawah jendela sebuah kamar yang terbuka, dimana sebuah tali tambang terjulur keluar ke bawah. Dengan cekatan gadis itu meraih tali dan mulai memanjat naik, menuju jendela yang terbuka. Tidak sia-sia dia ikut klub pecinta alam semasa kuliah dulu, bathin Jenna ketika tak sampai 15 menit dia sudah sampai di dalam kamar. Tepat ketika sebuah ketukan lembut terdengar dari pintu kamar. Dengan kecepatan yang sudah terlatih , Jenna segera membereskan tali melemparkannya di bawah tempat tidur, lalu menutup jendela, melepas bajunya, melemparkan baju itu ke bawah tempat tidur juga, lalu dengan gesit gadis yang hanya memakai celana pendek dan kaos singlet itu melompat ke atas ranjang dan menyusup di balik selimut. Hanya selisih sepersekian detik tepat ketika pintu kamarnya dibuka. Dan suara manis Bibi Nindya , wanita paruh baya yang sudah menjadi pelayan pribadinya sejak jenna masih balita, mengalun merdu membangunkannya.
"Pagi Jenna, saatnya bangun"
Jenna terdiam, menunggu bahkan mengeluarkan dengkur halus buatan ketika Bibi
Nindya mendekat.
"Jenna, dear..."
Jenna masih berrgeming.
"Dear, kau harus bangun, atau Mamamu mu akan mengomel histeris." Suara perempuan itu penuh kasih, sepenuh kasih tepukan lembut di punggung Jenna. Dengan perlahan Jenna membuka mata, memasang wajah sayu , lalu menguap lebar.
"Pagi Bibi Nindya"
"Pagi sayang, nyenyakkah tidurmu? " tanya wanita itu penuh sayang seraya meraih kaca mata tebal di meja rias samping ranjang Jenna dan mengulurkan ke arah gadis itu.
"Nyenyak sekali. Terima kasih bi. " Ucap gadis itu dengan suara sengau khas orang bangun tidur seraya menerima kaca mata yang disodorkan ke arahnya. Dan dengan gaya sempoyongan khas orang masih ngumpulin nyawa gadis itu beranjak ke kamar mandi.
Tanpa sepengetahuan nona mudanya, yang sudah seperti anak perempuannya sendiri, Bibi Nindya menengok ke bawah ranjang dan tersenyum simpul ketika melihat onggokan baju dan tali tambang. Sungguh naif kalau berpikir bahwa dia, wanita yang sudah mengasuh Jenna bahkan sejak menit pertama gadis itu berada di dunia, tidak tahu tentang drama pagi hari yang selalu Jenna mainkan. Juga bahwa kaca mata pantat botol itu sebenarnya tidak ada minusnya sama sekali. Bukan, bukan karena akting Jenna payah, justru sebaliknya, kalau saja dia tidak mengenal Jenna sejak bayi merah, sudah pasti dia akan percaya akting gadis itu. Dan dengan segera wanita separoh baya itu berbalik, berpura-pura sibuk membuka jendela yang dia tahu terbuka lebar semalaman , ketika majikan mudanya keluar dari kamar mandi.
"Cepatlah bersiap, hari ini sarapan keluarga mu istimewa." Celutuk Bibi Nindya yang ditanggapi Jenna dengan mengangkat sebelah alis.
" Kau tidak lupa tentang sarapan bersama keluarga Hamijoyo , khan Jenna? Keluarga calon kakak ipar mu? " lanjut Bibi Nindya, tanpa menoleh. Kali ini wanita itu tampak sibuk membereskan meja rias Jenna yang bahkan tidak tampak berubah sejak terakhir dibersihkan. Jenna menepuk jidat dengan tangannya. Dia lupa!!! Sial!!!! Dengan buru2 dia membuka lemari pakaian. Baju yang harus dia pakai....
KAMU SEDANG MEMBACA
The back up bride
RomanceRien sialan!!!! Wanita manja yang suka seenaknya sendiri, yang merasa dunia berputar di bawah kakinya, yang tidak pernah peduli siapapun selain dirinya sendiri. Dan wanita itu sekarang menghilang entah kemana, meninggalkan kekacauan ini. Sungguh dia...