Bagian Satu #2

22 4 0
                                    

Tak menyangka bahwa hal tersebut sudah berhasil aku lewati. Meski dengan banyak hal yang tak sesuai ekspektasi. Aku bahkan tak menyangka aku masih waras hingga saat ini. mengingat hal tersebut adalah kekacauan besar dalam keluargaku. Kakak perempuan yang berbeda empat tahun denganku bahkan harus menunda pernikahannya demi pernikahanku.

Bisik-bisik tetangga juga tak dapat kuhindari. Berbagai macam spekulasi seakan tumbuh dengan rimbun di kanan-kiri, depan-belakang. Namun, aku berusaha menganggapnya sebagai sebuah konsekuensi. Ini adalah bentuk realitas yang harus aku hadapi, bagaimana pun wujudnya.

"Nikah diam-diam. Sepertinya hamil duluan!"

Apalagi di hari pernikahan sahku, Mas Damai sempat tak mau datang dan melangsungkan akad. Tepat beberapa jam sebelum akad dimulai, ia berkata tak bisa. Tak ingin bertanggungjawab karena merasa dirinya belum mampu. Aku stress memikirkan itu. Hampir putus asa dan membuat rencana untuk menggugurkan saja anak ini jika memang lelaki itu tak datang. Bagaimana bisa aku menghadapi masalah ini seorang diri? Bagaimana bisa aku hidup dengan menanggung ini semua sendirian?

Ditengah-tengah keputus asaanku, ada seorang teman lelakiku yang saat itu hadir, berkata akan bertanggungjawab terhadapku jika Mas Damai tak juga menghadap penghulu. Tentu hal tersebut bukan sebuah solusi yang benar. Aku masih menunggu Mas Damai dengan kepala penuh tanda tanya. Semakin rumit karena sulit sekali memahami alasan Mas Damai saat itu, ketika mengingat sebagaimana yakinnya dia untuk meminangku beberapa waktu sebelumnya.

Namun akhirnya, kakak lelaki ke duaku, anak ke tiga keluargaku menghampiri Mas Damai. Berusaha mengajaknya berbicara sedikit lebih tegas. Dan Mas Damai pun akhirnya–entah secara terpaksa—mau melangsungkan akad.

Hal itu menyebabkan wajahnya nampak tidak begitu gembira di dalam foto-foto pernikahan kami. Ketika ditanya oleh teman-teman mengapa wajah Mas Damai seakan tak bersemangat dalam foto itu, aku hanya bisa menjawab ia sedang lelah karena harus bolak-balik untuk mengurus pernikahan. Tentu itu semua bohong. Pernikahanku tak istimewa, tak banyak ia membawa seserahan juga tak ada mas kawin yang mewah, hanya seperangkat alat sholat. Pernikahanku juga tanpa resepsi, melakukan akad nikah sederhana yang dihadiri kolega saja. Tak lagi banyak berharap, waktu itu rasanya dinikahi saja sudah sangat membahagiakan.

Aku memutuskan untuk berhenti bekerja mengingat perutku yang makin membesar. Banyak hal yang terjadi selama kehamilan. Hal-hal yang dulunya tak pernah aku pikirkan, sesuatu yang paling terakhir ingin aku besitkan di otakku.

Memang benar kata orang-orang, ketika menikah kita akan menghadapi sikap dan sifat pasangan kita yang tak pernah kita tahu sebelumnya. Jarang sekali seseorang akan berterus terang tentang sifat aslinya ketika baru memulai pendekatan, benar saja. Aku sedikit kaget dengan kenyataan bahwa aku tidak terlalu mengenal Damai dengan baik.

Suatu sore yang mulai mendung membawaku menggamit memori-memori di antara lengan dan kepalaku yang tertunduk, aku mendudukkan diri di depan kaca jendela ruang tamu yang lantainya mulai dingin. Berharap segera mendapati kaki-kaki suamiku di antara garis teras dan pintu rumah. Hari semakin sore dan aku semakin lelah menunggu dengan perut bulatku yang menginjak usia enam bulan ini. Ia berkata akan segera pulang ketika mendapatkan ikan yang cukup untuk makan. Ya, alih-alih mencari pekerjaan—karena ia tiba-tiba saja dikeluarkan dari tempat kerja—Mas Damai malah sering keluar untuk sekadar memancing di kolam pancing atau rawa-rawa yang jauh dari rumah. Menghilangkan stress dan melatih sabar, alasannya. Awalnya aku biarkan saja, aku juga masih bisa mendapat uang dengan membantu Ibu berjualan sayur dan lauk di pasar. Kupikir, mungkin sebulan ini otak suamiku sedang nyut-nyutan memikirkan ia baru saja dikeluarkan. Atau sekadar ingin menenangkan pikiran yang mengganggunya

Kenyataannya sekarang, banyak tanya yang dilontarkan oleh orang tuaku perihal sikap Damai yang kelewat santai padahal harusnya sudah mulai mempersiapkan biaya persalinanku. Atau bagaimana sikap tanggungjawabnya yang seolah luntur setelah menikah. Aku juga semakin sadar, bahwa Mas Damai menjadi orang yang terlampau kaku beberapa kali, tak pernah menyanjungku seperti yang dulu selalu ia lakukan, tak pernah mengajakku diskusi atau bahkan hanya sekedar bercanda. Rutinitas kami kian bias, singkat, dan tak bermakna.

Venenum Amare (Based On True Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang