Bagian Satu

33 5 2
                                    

Anak perempuanku bernama Sorai. Ia gadis manis yang berhasil membantuku mengarungi dunia yang seolah tanpa pengarah. Anak perempuanku yang berharga, yang mempercayaiku menjadi Ibunya meski saat itu aku masih sangat belia. Yang menolongku memperkuat pijakan di tengah-tengah dunia yang penuh goncangan. Anakku, anak pertamaku yang ikut merasakan hidup yang tak pernah ingin aku cicipkan kepadanya.

Dunia ini sangat indah, dan aku merasa bersalah tak banyak waktu untuk mengenalkannya pada putriku. Ingat sekali waktu itu aku keluar dari tempat kerja ke duaku, sebuah pabrik sepatu besar, lalu aku mendapat tawaran pekerjaan lain. Aku harus sedikit memalsukan identitasku karena salah satu syarat diterima adalah belum menikah dan belum memiliki anak. Aku resah, apa harus aku melakukan ini? Apa harus dengan tega aku membuat seolah diriku ini masih belum bersuami dan memiliki anak? Apa tidak ada pekerjaan lain?

Iseng aku mengajak Sorai mengobrolkan hal itu. Usianya baru menginjak dua tahun, tapi ia sudah pandai berbicara walau masih tak jelas pelafalannya. Aku selalu senang ketika matanya menatapku dan mulut kecilnya berusaha mengatakan sesuatu saat ia mendengarkan aku bercerita.

"Sorai, boleh Mama bekerja? Tapi Sorai jadi tidak bisa panggil Mama kalau teman-teman Mama sedang berkunjung ke rumah?" Kataku waktu itu.

Sebentar-sebentar. Kalian harus tahu, aku menangis ketika berusaha memaparkan dengan lebih jelas bagaimana waktu itu ia mencoba menunjukkan perasaannya padaku. Sorai kecil berkata begini,

"Lalu Sorai harus memanggil apa?"

Ketika aku mengatakan kepada gadis kecil itu untuk memanggilku dengan sebutan Bibi atau tante, matanya membulat tak berkedip. Ia berusaha mencerna segalanya dan menjadikannya lebih memahami hal tersebut. Sembari berpikir, mulutnya terbuka untuk melontarkan sesuatu.

"Mama, tidak apa-apa, kok. Sorai mengerti. Mama jangan bersedih."

Tangannya terulur untuk mengusap pipiku lembut. Hatiku semakin tak karuhan. Tak ada protes, tak ada pertanyaan lanjutan. Ia hanya mengangguk dan berkata demikian, aku sampai heran, apakah Sorai kecil sungguhan mengerti ucapanku? Aku juga heran, bagaimana bisa aku melahirkan seorang malaikat sepertinya? Harusnya tak begini kehidupannya. Harusnya tak begini kisahnya, ia layak mendapatkan dunia dan seisinya.

Benar saja. Ketika aku akhirnya bekerja di perusahaan tersebut, ketika teman-temanku berkunjung. Sorai sama sekali tak menyebut kata mama, ia sama sekali tidak merengeh untuk meminta perhatianku.

Sorai hanya diam, dan berkenalan dengan teman-temanku secara formal. Lalu bermain kembali di kamarnya. Aku serius kaget, rasanya sewaktu aku mengajak Sorai kecil mengobrol, aku menduga ia tak paham apa yang aku katakan.

Nyatanya ia malah begitu mengerti dan patuh. Aku benar-benar melahirkan seorang malaikat rupanya.
......................................................................................................

Sedikit mundur ke belakang, tepatnya ketika aku baru-baru saja keluar dari tempat kerja pertamaku dan akhirnya berhasil masuk dan menjadi pekerja di salah satu pabrik pembuat sepatu. Aku bertemu dengan seorang lelaki yang sepuluh tahun lebih tua, namanya Damai. Begitu banyak orang yang mengaguminya di tempat kerja. Sama-sama menjadi bagian dari Quality Control, menyebabkan kami bertemu setiap hari. Aku biasa saja awalnya, banyak orang akhirnya mengatakan hal-hal yang menurutku aneh.

Waktu itu aku masih delapan belas tahun, perempuan yang lumayan tak paham dengan sistem jatuh cinta dan tetek bengeknya. Aku memilih diam saja ketika semakin banyak yang menjodoh-jodohkanku dengan lelaki itu.

Ah, dasar kurang kerjaan. Aku semakin tak nyaman. Hingga suatu ketika lelaki itu yang terlebih dahulu mendatangiku saat jam makan siang. Jujur saja, aku agak sedikit takut, pengalamanku akan kisah cinta sangat sedikit.

Venenum Amare (Based On True Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang