Kala itu dunia terasa begitu baik padaku. Sorai menjadi bagian paling menyenangkan dari hari-hariku, melihatnya membuka mata dengan tangan-tangan kecilnya yang seakan ingin menggapai sesuatu itu membuatku melambung bahagia. Hatiku berbunga mengingat diriku sekarang adalah seorang ibu. Duniaku sepenuhnya berbeda. Ketika malam datang, aku harus berjaga ketika mendengar rengekan Sorai kecil. Tak pernah ada perasaan kesal karena harus terus menerus begadang. Aku semakin bersyukur diberi waktu lebih banyak untuk menyalurkan cintaku padanya
Setelah ini, perjalananku adalah sebuah tantangan dan karunia. Setelah ini hidupku adalah pembelajaran dan pelarian terbaik. Memang, kuakui. Aku bukan orang tua yang sempurna, bahkan aku tak tahu bagaimana caranya menjadi orang tua. Ini pengalaman pertamaku, Sorai dan Damai adalah hal-hal pertama yang terjadi dalam hidupku. Dan apa pun yang akan terjadi dan pernah terjadi, aku tak pernah menyesal atas semua hal yang kupilih. Seperti kata-kata klasik yang sering diperdengarkan para pujangga, sejatinya yang terjadi dihidupku adalah apa-apa yang telah Tuhan siapkan untukku. Maka dari itu, tak mungkin dan aku memang tak akan menyesal ketika dengan sadar aku memilih jalan itu di antara banyak jalan yang sudah ditunjukkan Tuhan.
Aku menjalani hidup dengan baik, walau beberapa kali tak sesuai perkiraan. Aku sempat kesulitan mengatur emosiku setiap kali melihat Mas Damai yang menganggur tanpa pekerjaan lama sekali, sedangkan kebutuhan hidup kami bertambah dengan kehadiran Sorai kecil. Bagaimana bisa untuk membeli susu berikut popoknya saja, sering mengandalkan uang pemberian kakak-kakakku? Sungguh sangat disayangkan, kesadaran Mas Damai akan hidup keluarga kecilnya sangat kurang.
Emosiku membuncah ketika siang itu aku mendapati Mas Damai tengah bersiap untuk pergi memancing ke rawa yang cukup jauh dari rumah sementara Sorai sedang demam tinggi dan aku tak dapat melakukan apa pun untuk membawanya ke dokter karena tak ada uang sepeser pun yang sedang kupegang. Aku berteriak tepat di depan wajahnya, sembari berserapah apa saja yang dapat keluar dari mulutku. Perasaanku seakan dilukai, ketika melihat Mas Damai dengan santai membawa tas berisi kail dan pancing.
"Kamu gila?! Anakmu sedang sakit, Mas. Dia demam, dia butuh ke dokter! Kamu bukannya cari uang, malah pergi, gak berguna!!!!! Sadar, Mas. Kita tidak ada uang sedikit pun untuk Sorai! Kenapa kamu tidak berusaha mencari kerja saja, hah?!!"
Aku lihat matanya sudah memerah, punggungnya menegang. Seketika itu Mas Damai berbalik menghadapku dan membalas ucapanku tak kalah pedas.
"Kamu pikir selama ini aku diam saja?? Aku juga sedang berusaha!!!! Aku pusing setiap hari mendengarmu cerewet mempermasalahkan hal ini. Kamu menikah denganku, harusnya kamu percaya saja padaku!"
Lalu ia pergi begitu saja. Tangisku pecah ketika aku berjalan ke arah Sorai kecil yang masih pulas tertidur dengan kompres kain di atas kepalanya. Hatiku semakin hancur, kala menyadari aku bukanlah orang tua yang baik untuknya. Bagaimana mungkin, aku bahkan tak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk gadis manis ini?
Percaya? Bagaimana bisa aku percaya padanya, ketika ia sendiri tak menunjukkan sesuatu untuk aku percaya? Bagaimana bisa ia dengan lantang mengatakan ha-hal seperti itu dengan mudah? Bagaimana bisa ia mengabaikan anaknya, mengabaikan kondisi keluarganya?
Seseorang pernah bertanya padaku. Apakah dengan sifat Mas Damai yang seperti itu, aku tetap menginginkannya untuk hidupku? Seketika itu aku merasakan kebimbangan yang luar biasa. Detik ketika nyatanya Mas Damai seringkali acuh terhadapku bahkan Sorai, membuatku berpikir, apakah masih layak hubungan ini dipertahankan? Tetapi sisi lainku berkata bahwa hal-hal semacam itu adalah bagian dari rumah tangga, apalagi rumah tangga kami terhitung masih baru, masih piyik. Mungkin memang wajar mengalami masalah seperti ini. Aku mencoba memahami, mencoba mencari tahu apakah aku juga salah dalam hal ini? Aku mencoba ikhlas dan menganggap semuanya masih sebuah awal. Maka akhirnya aku belajar menerima.
![](https://img.wattpad.com/cover/230792678-288-k941369.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Venenum Amare (Based On True Story)
ChickLitBagi orang-orang, keputusannya dinilai terlalu buru-buru dan egois. Padahal dalam ceritanya, ia tak pernah merasa bersikap egois pada siapa pun. Padahal dibalik pandangan orang-orang tentang betapa gampangnya ia memilih jalan perceraian, terdapat ki...