Menjadi dilema yang sangat besar saat seorang istri dihadapkan pada kata poligami. Ibu mertuaku memaksa Mas Lintang untuk kembali menikah setelah lima tahun pernikahan kami tak kunjung menunjukkan akan adanya buah hati.
Sudah berkali-kali Mas Lintang menolak, akan tetapi ibunya terus saja memaksa. Dengan alasan Mas Lintang adalah anak tunggal jadi dia harus memiliki keturunan agar bisa meneruskan usaha keluarga Amarto Wandoyo.
Meski jelas mendengar mereka bicara, namun aku memilih untuk bersembunyi saat Ibu Nami, nama mertuaku membahas pernikahan kedua suamiku.
Kini akhirnya, aku tak bisa lagi menghindari pembicaraan ini, saat harus bertatap muka dengan ibu dan Mas Lintang, setelah selesai makan malam hari ini.
“Lintang, Ravinka, ibu mau bicara serius dengan kalian berdua,” katanya menatap tajam menantu dan anaknya.
Sedang kami saling pandang, seperti sudah mengerti apa yang akan disampaikan berikutnya.
“Ibu sudah menemukan wanita yang akan menjadi istri kedua Lintang, dia gadis dari desa sebelah. Ibu sudah kenal baik dengan gadis itu, namanya Runi. Jadi kalian bicarakan secepatnya, kapan ibu bisa melamar Runi secara resmi pada keluarganya?" lanjut Ibu Nami mendominasi.
Aku yang mendengarnya mencengkeram rok yang kupakai, mencoba menetralkan perasaan. Bukankah sebenarnya aku sudah sering mendengar tentang ini dari Mas Lintang, namun tetap saja tak kuat saat harus menghadapi ibu mertua seperti ini.
Aku menatap Mas Lintang yang langsung menggenggam tanganku, seperti ingin menguatkanku.
“Ibu, aku tidak pernah setuju menikah lagi. Kenapa Ibu begitu memaksa? Aku tidak ingin menyakiti Ibu dengan terus menerus membahas tentang ini. Masalah anak, nanti juga akan diberi saat sudah waktunya. Toh kami masih sama-sama muda, Bu," jawab Mas Lintang mencoba tetap sabar dengan nada selembut mungkin agar tak menyakiti hati ibunya.
Mas Lintang anak yang sangat penurut, dia sangat mencintai dan menghormati setiap keinginan ibunya, tapi untuk kali ini dia tak mau menurutinya, tentu saja karena dia merasa hal yang konyol untuk menikah lagi padahal dia sangat bahagia denganku, meski kami belum juga dikaruniai buah hati.
“Ravinka, bujuk suamimu! Ibu sudah lelah memberi tahu dia. Tidak ada yang berubah diantara kalian. Kau tetap jadi istrinya dan ibu mendapatkan cucu dari Runi. Semua bahagia bukan? Tidakkah kau bisa berkorban sedikit saja demi keluarga ini, Ravinka?"
Air yang mengenang dimataku akhirnya mengalir juga dengan deras. Bagaimana bisa, Ibu Nami mengatakan semua bahagia, adakah seorang istri yang bahagia saat berbagi segala yang ada pada suaminya, raga, pikiran dan hatinya.
Lidah ini kelu, terdiam, tak tahu harus menjawab apa pada ibu mertua yang menatapku dengan tajam.
“Apa Ibu jahat Ravinka? Jawab?"
Aku semakin menunduk, ingin rasanya aku pergi meninggalkan tempat ini saat ini juga.
"Apa ibu jahat karena menginginkan cucu?” Ibu Nami mulai menangis, entah drama atau memang sungguhan.
“Berapa tahun ibu harus menunggu lagi? Lima tahun ibu menunggu kalian punya anak, ini sudah lima tahun!” teriaknya di depan kami.
“Ibu, kita bisa adopsi bayi jika ibu setuju?" Mas Lintang masih terus membujuk ibunya.
Kali ini, dia melepaskan tangan yang semula menggenggam tangan ini, berdiri dan memeluk ibunya. Dia selalu tak kuasa saat melihat ibunya menangis. Itulah mungkin yang dijadikan air mata sebagai senjata rayuan maut sang ibu.
“Ibu ingin keturunan dari darah dagingmu sendiri, Nak," katanya sambil menangis di dada Mas Lintang. Sambil menatap penuh harap padaku yang masih menunduk pilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravinka
General FictionBagaimana jika seorang istri terpaksa melangkah keluar rumah dan digantikan wanita lain? Ravinka harus merasakan pedihnya hamil sendirian saat percerain merengut kebahagiaannya bersama Lintang- suaminya-. Bisakah mereka kembali bersama demi buah hat...