Seminggu berlalu sejak kejadian pingsan di POM bensin, hari ini badanku sudah terasa lebih segar. Meski menjalani kehamilan ini sendiri, tak akan aku lewatkan setiap hal yang terbaik untuk harapan yang kini mengembalikan semangat hidupku.
Sedikit terlambat, namun tetap berusaha memenuhi setiap nutrisinya. Susu, vitamin, sayur, dan buah, semua selalu menjadi teman untuk membahagiakan yang ada di dalam sini, perutku.
Wanita hamil sangat sensitif, ia benar. Hal-hal kecil sering membuat galau, dan menangis. Namun tekad bulat membesarkannya sendiri, membuat semangat ini harus tetap terus membara.
Aku tetap bekerja seperti biasa. Hanya Asha yang tahu aku sedang hamil, kebetulan perawakan yang kecil mungil membuat perutku tak juga terlihat, bahkan saat memasuki usia empat bulan.
“Hai, Tampan! Sudahkah kau cium ibumu, hari ini?” Asha mengelus perut buncit ini.
“Tentu saja, Auntie! Dia sangat pintar sekarang. Semakin aktif saja setiap harinya.”
“Aaah ... , auntie jadi ingin segera menikah," canda Asha dan kami tertawa bersama.
“Nanti sore, pengen jalan ke babyshop. Mau ikut tidak?" tawarku pada Asha.
“Maaf, aku sudah ada janji dengan Arfian,” jawab Asha dengan nada menyesal.
“Baiklah, tidak masalah. Bisa ikut lain kali, kan?" balasku menenangkannya.
Dia hanya menunjukkan tangan, tanda ok. “Tidakkah sebaiknya kamu beri tahun Mas Lintang, atau Ibu Nami?”
“Entah. Belum terpikirkan untuk saat ini. Aku terlanjur nyaman seperti ini. Akan banyak kemungkinan saat mereka tahu aku hamil. Bisa mereka bahagia, atau malah biasa saja karena anak ini tak lagi diharapkan oleh mereka, karena istri baru Mas Lintang sudah hamil, dan itu akan membuatku kecewa.”
“Tapi mereka punya hak untuk tahu, Vin. Pikirkan lagi, saat kamu siap, sebaiknya beritahu mereka. Setidaknya nanti kamu tak harus berjuang sendiri dalam membesarkannya.”
“Benar juga, akan kupikirkan lagi nanti. Ah, Kamu, merusak suasana hatiku saja."
Asha memeluk dan membisikkan kata maaf, dan kami melanjutkan pekerjaan masing-masing.
Keluar dari tempat parkir kantor, hatiku sudah berbunga-bunga dengan bayangan barang-barang lucu khas milik bayi sudah di pelupuk mata. Bahagia membayangkan sebentar lagi aku akan sungguh-sungguh memiliki anak, yang bisa aku peluk dan cium kapan pun.
Sampai di babyshop, aku memilih melihat pakaian bayi terlebih dahulu, sebelum mencari perlengkapan bayi lainnya. Sebenarnya hari ini aku datang hanya untuk melihat-lihat dulu, kira-kira daftar belanjaan apa saja yang harus kubeli untuk menyambut si buah hati ini.
Tiba-tiba, ingatanku kembali pada awal pernikahan, saat aku diberi kepercayaan hamil untuk yang pertama kali.
“Garis dua, Mas!” teriakku dari dalam kamar mandi.
Rasa bahagia membuncah dalam hatiku, kehamilan yang sudah begitu kami tunggu, akhirnya terjadi juga.
Saat aku keluar dari kamar mandi, Mas Lintang memeluk dengan erat. Ucap syukur Alhamdulillah, berkali-kali terdengar dari mulutnya, air mata bahagia menyelimut pagi kami berdua.
Sungguh kami sangat-sangat bahagia, setelah bulan-bulan sebelumnya kami selalu kecewa saat si merah datang menghampiriku setiap bulannya.
Mas Lintang menemui ibu, memeluk, dan membisikkan. "Alhamdulillah. Selamat, Ibu! Sebentar lagi akan dipanggil Nenek.”
Ibu menatapku seakan memastikan apa yang dibisikkan suamiku, aku mengangguk dan tersenyum pasti.
“Alhamdulillah Ya Allah. Akhirnya, ibu senang sekali. Semoga sehat selalu ibu dan janinnya, ya!" kata ibu sambil mengelus perut yang masih rata ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravinka
Ficción GeneralBagaimana jika seorang istri terpaksa melangkah keluar rumah dan digantikan wanita lain? Ravinka harus merasakan pedihnya hamil sendirian saat percerain merengut kebahagiaannya bersama Lintang- suaminya-. Bisakah mereka kembali bersama demi buah hat...